Saling
Telikung lewat Harga BBM
FX Sugiyanto ; Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 03 September 2014
SELAMA
BBM masih menjadi komoditas politik, selama itu pula isu mengenai bahan bakar
selalu menjadi isu publik panas. Posisi sebagai komoditas politik tidak akan
berakhir selama harga di pasar adalah harga disubsidi. Hanya dengan menghapus
subsidi, wacana kenaikan harga bahan bakar tak lagi jadi isu politik seksi
dan menguras energi untuk berdebat.
Pada
saat bersamaan, dalam posisi sebagai komoditas politik, rasionalitas atas
perlunya menaikkan harga BBM akan dikalahkan oleh pertarungan kepentingan
yang saling menelikung antarelite politik untuk mendapatkan rente politik
dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Berkait isu bahan bakar yang saat
ini masih panas, hal itu tidak terlepas dari saling telikung antarelite
politik, yang membuat rakyat jengkel.
Berdasarkan
perhitungan secara ekonomi rasional, sudah seharusnya harga BBM dinaikkan
bila tak ingin APBN makin kepayahan dan tidak berdaya menyangga kepentingan
pelayanan publik, sementara politik anggaran tak berubah. Dari rencana
belanja RAPBN 2015 Rp 2019,87 triliun, untuk subsidi BBM saja menghabiskan Rp
291,11 triliun (14,41 %) dan listrik Rp 72,42 triliun (3,58 %), atau total
sekitar 18%. Nilai subsidi itu setara dengan pembuatan 65 jembatan Suramadu,
atau membangun tiga jembatan di atas Selat Sunda.
Bahkan,
bila kemudian asumsi-asumsi RAPBN meleset, misal harga minyak di pasar dunia
dan kurs dolar AS lebih tinggi dari yang diasumsikan, dipastikan subsidi
makin membengkak. Ringkasnya, defisit RAPBN yang diperkirakan 2,32% terhadap
PDB bisa meningkat mendekati batas 3% yang diperbolehkan undang-undang. Ruang
fiskal yang sangat sempit itulah yang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK.
Saling Telikung
Dalam
ruang fiskal yang sangat sempit itu, hanya 92,37% RAPBN yang dapat
dibelanjakan untuk pelayanan publik, sementara 7,63% untuk membayar bunga.
Dengan
subsidi energi dan pembayaran bunga begitu besar, multiplier belanja APBN semakin kecil. Karena itu menjadi benar
bahwa mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM merupakan kebijakan
rasional. Siapa yang harus menanggung beban politik terkait kenaikan harga
BBM? Di sinilah saling telikung terjadi.
Menggeser
beban politik kenaikan harga BBM kepada Jokowi-JK jelas tidak fair.
Justru
mereka merasa ditinggali ”bom waktu”. Hal paling riskan adalah tidak adanya
rencana belanja kompensasi dampak kenaikan harga BBM dalam RAPBN 2015. Karena
itu bisa dipastikan jika Jokowi-JK menaikkan harga BBM, ”bom waktu” tersebut
meledak dan tidak ada alat peredamnya.
Dalam
pandangan yang pro-Jokowi-JK, SBY mesti bertanggung jawab karena
kemeningkatan konsumsi BBM bersubsidi; yang dikatakan tak mencukupi sampai
akhir tahun, juga akibat kebijakannya membebaskan pajak impor LCGC.
Kenyataannya, mobil murah dan ramah lingkungan tersebut banyak mengonsumsi
BBM bersubsidi, dan Jokowi terang-terangan tidak setuju kebijakan tersebut.
Tapi
bagi SBY, menaikkan harga BBM di ujung pemerintahannya sangat tidak
menguntungkan dan bisa meninggalkan kesan buruk, sekaligus memberi bonus
politik kepada Jokowi-JK. Sangat kecil kemungkinannya SBY bersedia menanggung
beban politik itu kecuali ia mendapat ”kompensasi politik” setimpal.
fair
adalah SBYmenyediakan
ruang yang lebih leluasa bagi tim transisi Jokowi-JK untuk terlibat merevisi
dan menyesuaikan RAPBN 2015. Andai SBY tak mau dituduh menelikung Jokowi maka
ruang itu harus dibuka supaya Jokowi-JK bisa mulai merancang postur RAPBN
2015 yang disiapkan untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM. Melihat dan
membandingkan RAPBN 2015 dengan visi-misi Jokowi-JK, sesungguhnya
memungkinkan ruang fiskal yang lebih longgar.
Taruhlah,
dengan tanpa mengubah asumsi dan rencana defisit RAPBN, Jokowi-JK bisa
merealokasikan rencana anggaran, baik pada sisi belanja maupun pendapatan.
Pertama; pengurangan subsidi BBM direalokasikan untuk penambahan rencana
belanja pelayanan publik; baik untuk belanja modal seperti infrastruktur
ataupun pendidikan, kesehatan, subsidi nonenergi, maupun kompensasi akibat
kenaikan harga BBM. Berapa besar pengurangan subsidi, dan untuk apa realokasi
itu, biarlah tim Jokowi-JK yang menyimulasikan.
Kedua;
penghematan belanja melalui perampingan birokrasi dan e-budgeting. Postur RAPBN 2015 dirancang berdasarkan birokrasi
sangat gemuk. Ada 86 kementerian/lembaga (K/L) diberi alokasi anggaran Rp
600,58 triliun. Apabila Jokowi jadi merampingkan dan kembali mengelompokkan
tupoksi birokrasi, sangat dimungkinkan menghemat belanja. Tim transisi
semestinya diberi ruang menyimulasikan anggaran berdasarkan konsep
perampingan dan pengelompokan kembali tupoksi. Perkiraan penghematan inilah
yang kemudian direalokasikan untuk penambahan belanja pelayanan publik,
program subsidi pangan, subsidi UMKM, dana desa atau kompensasi dampak
kenaikan harga BBM.
Ketiga;
peningkatan tax ratio. RAPBN 2015 disusun dengan sangat konservatif.
Rasio
pajak ditargetkan meningkat hanya 12,32% atau dihitung andai pajak daerah dan
lainnya 15,62%. Kepekaan penerimaan pajak relatif konstan. Dengan kenaikan
penerimaan pajak 10,01% dan inflasi 4,4%, elastisitas penerimaan pajak hanya
1 (satu). Memang tak mudah menaikkan tapi fakta tax ratio Indonesia saat ini
sekitar 12%, jauh lebih rendah dibanding beberapa negara ASEAN, seperti
Malaysia dan Thailand yang sudah sekitar 15%.
Lebih Progresif
Penelitian
IMF tahun 2011 menemukan fakta bahwa dengan potensi saat ini, rasio pajak
Indonesia mestinya bisa sekitar 21,5%. Itu juga berarti ada tax gap yang
besar, hampir sama dengan penerimaan pajak saat ini. Melihat besar potensi
penerimaan pajak, mestinya pemerintah lebih progresif menargetkan pendapatan
pajak dalam negeri. Jika Jokowi-JK ingin membangun pemerintahan yang bersih,
mestinya berani menargetkan rasio pajak lebih tinggi.
Terkait
hal ini, pemerintah SBY mestinya membuka ruang untuk menegosiasikan potensi
penerimaan pajak dalam RAPBN 2015. Sangat tidak elok para politikus saling
menelikung, sementara rakyat justru makin dewasa dan lebih memahami arti
bernegara.
Karena
itu, cara paling fair mengatasi kemelut BBM adalah dengan menegosiasikan
ruang fiskal di RAPBN 2015. Menjadi lebih indah bila bukan hanya Jokowi-JK
yang bertemu SBY untuk membuka akses ke RAPBN 2015, melainkan juga para
pemimpin partai pendukung presiden-wakil presiden terpilih. Demi rakyat
kiranya hal ini bisa dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar