Kamis, 04 September 2014

Saling Telikung lewat Harga BBM

Saling Telikung lewat Harga BBM

FX Sugiyanto  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SELAMA BBM masih menjadi komoditas politik, selama itu pula isu mengenai bahan bakar selalu menjadi isu publik panas. Posisi sebagai komoditas politik tidak akan berakhir selama harga di pasar adalah harga disubsidi. Hanya dengan menghapus subsidi, wacana kenaikan harga bahan bakar tak lagi jadi isu politik seksi dan menguras energi untuk berdebat.

Pada saat bersamaan, dalam posisi sebagai komoditas politik, rasionalitas atas perlunya menaikkan harga BBM akan dikalahkan oleh pertarungan kepentingan yang saling menelikung antarelite politik untuk mendapatkan rente politik dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Berkait isu bahan bakar yang saat ini masih panas, hal itu tidak terlepas dari saling telikung antarelite politik, yang membuat rakyat jengkel.

Berdasarkan perhitungan secara ekonomi rasional, sudah seharusnya harga BBM dinaikkan bila tak ingin APBN makin kepayahan dan tidak berdaya menyangga kepentingan pelayanan publik, sementara politik anggaran tak berubah. Dari rencana belanja RAPBN 2015 Rp 2019,87 triliun, untuk subsidi BBM saja menghabiskan Rp 291,11 triliun (14,41 %) dan listrik Rp 72,42 triliun (3,58 %), atau total sekitar 18%. Nilai subsidi itu setara dengan pembuatan 65 jembatan Suramadu, atau membangun tiga jembatan di atas Selat Sunda.

Bahkan, bila kemudian asumsi-asumsi RAPBN meleset, misal harga minyak di pasar dunia dan kurs dolar AS lebih tinggi dari yang diasumsikan, dipastikan subsidi makin membengkak. Ringkasnya, defisit RAPBN yang diperkirakan 2,32% terhadap PDB bisa meningkat mendekati batas 3% yang diperbolehkan undang-undang. Ruang fiskal yang sangat sempit itulah yang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK.

Saling Telikung

Dalam ruang fiskal yang sangat sempit itu, hanya 92,37% RAPBN yang dapat dibelanjakan untuk pelayanan publik, sementara 7,63% untuk membayar bunga.

Dengan subsidi energi dan pembayaran bunga begitu besar, multiplier belanja APBN semakin kecil. Karena itu menjadi benar bahwa mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM merupakan kebijakan rasional. Siapa yang harus menanggung beban politik terkait kenaikan harga BBM? Di sinilah saling telikung terjadi.

Menggeser beban politik kenaikan harga BBM kepada Jokowi-JK jelas tidak fair.
Justru mereka merasa ditinggali ”bom waktu”. Hal paling riskan adalah tidak adanya rencana belanja kompensasi dampak kenaikan harga BBM dalam RAPBN 2015. Karena itu bisa dipastikan jika Jokowi-JK menaikkan harga BBM, ”bom waktu” tersebut meledak dan tidak ada alat peredamnya.

Dalam pandangan yang pro-Jokowi-JK, SBY mesti bertanggung jawab karena kemeningkatan konsumsi BBM bersubsidi; yang dikatakan tak mencukupi sampai akhir tahun, juga akibat kebijakannya membebaskan pajak impor LCGC. Kenyataannya, mobil murah dan ramah lingkungan tersebut banyak mengonsumsi BBM bersubsidi, dan Jokowi terang-terangan tidak setuju kebijakan tersebut.

Tapi bagi SBY, menaikkan harga BBM di ujung pemerintahannya sangat tidak menguntungkan dan bisa meninggalkan kesan buruk, sekaligus memberi bonus politik kepada Jokowi-JK. Sangat kecil kemungkinannya SBY bersedia menanggung beban politik itu kecuali ia mendapat ”kompensasi politik” setimpal.

fair adalah SBYmenyediakan ruang yang lebih leluasa bagi tim transisi Jokowi-JK untuk terlibat merevisi dan menyesuaikan RAPBN 2015. Andai SBY tak mau dituduh menelikung Jokowi maka ruang itu harus dibuka supaya Jokowi-JK bisa mulai merancang postur RAPBN 2015 yang disiapkan untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM. Melihat dan membandingkan RAPBN 2015 dengan visi-misi Jokowi-JK, sesungguhnya memungkinkan ruang fiskal yang lebih longgar.

Taruhlah, dengan tanpa mengubah asumsi dan rencana defisit RAPBN, Jokowi-JK bisa merealokasikan rencana anggaran, baik pada sisi belanja maupun pendapatan. Pertama; pengurangan subsidi BBM direalokasikan untuk penambahan rencana belanja pelayanan publik; baik untuk belanja modal seperti infrastruktur ataupun pendidikan, kesehatan, subsidi nonenergi, maupun kompensasi akibat kenaikan harga BBM. Berapa besar pengurangan subsidi, dan untuk apa realokasi itu, biarlah tim Jokowi-JK yang menyimulasikan.

Kedua; penghematan belanja melalui perampingan birokrasi dan e-budgeting. Postur RAPBN 2015 dirancang berdasarkan birokrasi sangat gemuk. Ada 86 kementerian/lembaga (K/L) diberi alokasi anggaran Rp 600,58 triliun. Apabila Jokowi jadi merampingkan dan kembali mengelompokkan tupoksi birokrasi, sangat dimungkinkan menghemat belanja. Tim transisi semestinya diberi ruang menyimulasikan anggaran berdasarkan konsep perampingan dan pengelompokan kembali tupoksi. Perkiraan penghematan inilah yang kemudian direalokasikan untuk penambahan belanja pelayanan publik, program subsidi pangan, subsidi UMKM, dana desa atau kompensasi dampak kenaikan harga BBM.

Ketiga; peningkatan tax ratio. RAPBN 2015 disusun dengan sangat konservatif.
Rasio pajak ditargetkan meningkat hanya 12,32% atau dihitung andai pajak daerah dan lainnya 15,62%. Kepekaan penerimaan pajak relatif konstan. Dengan kenaikan penerimaan pajak 10,01% dan inflasi 4,4%, elastisitas penerimaan pajak hanya 1 (satu). Memang tak mudah menaikkan tapi fakta tax ratio Indonesia saat ini sekitar 12%, jauh lebih rendah dibanding beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand yang sudah sekitar 15%.

Lebih Progresif

Penelitian IMF tahun 2011 menemukan fakta bahwa dengan potensi saat ini, rasio pajak Indonesia mestinya bisa sekitar 21,5%. Itu juga berarti ada tax gap yang besar, hampir sama dengan penerimaan pajak saat ini. Melihat besar potensi penerimaan pajak, mestinya pemerintah lebih progresif menargetkan pendapatan pajak dalam negeri. Jika Jokowi-JK ingin membangun pemerintahan yang bersih, mestinya berani menargetkan rasio pajak lebih tinggi.

Terkait hal ini, pemerintah SBY mestinya membuka ruang untuk menegosiasikan potensi penerimaan pajak dalam RAPBN 2015. Sangat tidak elok para politikus saling menelikung, sementara rakyat justru makin dewasa dan lebih memahami arti bernegara.

Karena itu, cara paling fair mengatasi kemelut BBM adalah dengan menegosiasikan ruang fiskal di RAPBN 2015. Menjadi lebih indah bila bukan hanya Jokowi-JK yang bertemu SBY untuk membuka akses ke RAPBN 2015, melainkan juga para pemimpin partai pendukung presiden-wakil presiden terpilih. Demi rakyat kiranya hal ini bisa dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar