Kamis, 04 September 2014

Jebakan Korupsi DPRD

Jebakan Korupsi DPRD

Thontowi Jauhari  ;   Anggota DPRD Jateng 2004-2009,
Alumnus Magister Ilmu Politik Universits Diponegoro, Tinggal di Boyolali
SUARA MERDEKA, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TAK seorang pun bisa memungkiri bahwa caleg terpilih, baik di DPRD maupun DPR, dalam Pemilu Legislatif 2014 mengeluarkan biaya tinggi. Kemerebakan praktik politik uang telah memaksa uang ’’berbicara”.

Uang menjadi faktor dominan terkait dengan keterpilihan mereka. Sulit menalar, seorang caleg terpilih DPRD kabupaten/kota menghabiskan lebih dari Rp 0,5 miliar, caleg DPRD provinsi di atas Rp 1 miliar, dan caleg DPR bisa sampai Rp 3 miliar.

Bagaimana dan dari mana seorang wakil rakyat bisa mengembalikan dana kampanye ketika dana halal (gaji dan tunjangan) tak mungkin bisa menutup? Tulisan sederhana ini mencoba mengurai beberapa ”peluang”skenario mengembalikan dana politik, khususnya di DPRD kabupaten/ kota dan provinsi. Tentu skenario ini ilegal atau setidak-tidaknya berada di wilayah abu-abu. Skenario korupsi itu mencakup sedikitnya empat modus.

Pertama; korupsi proyek. Era reformasi melahirkan budaya aneh wakil rakyat: berburu proyek. Wakil rakyat tak boleh mengerjakan proyek APBD karena dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan. Fakta wakil rakyat (ikut) ’’mengerjakan’’ proyek itu jadi pemandangan biasa, bahkan menjadi bagian dari keputusan setengah resmi.

Utamanya, sejak budaya politik berbiaya tinggi menggejala, yakni parlemen hasil Pemilu 2009. Ikut mengerjakan proyek tergolong cara gampang cari duit. Caranya? Dalam pembahasan anggaran di tingkat komisi atau badan anggaran (banggar), ada ”negosiasi” nilai proyek yang hendak didistribusikan.

Anggota (yang bersedia) memperoleh semacam ’’voucher’’ untuk melaksanakan proyek fisik. Terkait lelang, semua bisa diatur. Anggota DPRD berlatar belakang kontraktor biasanya cerdas menyikapinya dengan menggunakan ”orang-orangnya”. Fee 5-10% dari pagu proyek dipastikan masuk kantong.

Proposal Fiktif

Kedua; korupsi bantuan sosial (bansos). Modusnya bisa melalui proposal fiktif atau bekerja sama dengan masyarakat yang ingin mendapat bantuan, dan diawali negosiasi fee atas cairnya bantuan. Semua anggota DPRD memperoleh semacam dana aspirasi untuk masyarakat. Warga bisa mencairkannya dengan mengajukan proposal lewat wakil rakyat. Biasanya, persentase potongannya tinggi karena modus korupsi ini tergolong paling mudah. Terjadi semacam simbiosis mutualisme antara masyarakat dan anggota DPRD.

Ketiga; korupsi perjalanan dinas. Sudah jadi rahasia umum, perjalanan dinas di negeri ini menjadi salah satu bagian pendapatan pelaksana negara, termasuk anggota DPRD. Sebenarnya, anggaran perjalanan dinas itu suatu keharusan dan pelaksana negara wajib melakukan berbagai kunjungan guna menunjang kinerja. Sayang selama ini, khususnya di lembaga legislatif, perjalanan dinas sudah tidak proporsional. Kegiatan itu bukan hanya untuk menunjang kinerja, melainkan jadi modus mencari tambahan pendapatan.

Terjadilah korupsi lewat modus perjalanan dinas fiktif, atau memperbanyak kunjungan, bisa di dalam/luar daerah, atau luar negeri. Formatnya pun bermacam-macam, semisal studi banding andai berkunjung ke pemda lain.

Banyak perjalanan dinas ”tidak masuk akal” karena niat awalnya mencari tambahan pendapatan. Ironisnya, seluruh alat kelengkapan DPRD punya rencana perjalanan dinas. Bahkan, badan musyawarah (bamus) yang bertugas hanya membuat agenda kegiatan pun melakukan studi banding. Akibatnya, karena tidak proporsional tadi, anggaran perjalanan dinas membengkak. Bahkan mayoritas agenda DPRD didominasi kunjungan ini, sehingga tak sempat lagi mengontrol pelaksanaan APBD. Rapat dengar pendapat dengan masyarakat juga jarang dilakukan.

Keempat; korupsi anggaran peningkatan kapasitas. Berdasarkan UU tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), salah satu hak anggota DPRD adalah mengikuti orientasi dan pendalaman tugas, dan wujud kegiatan tersebut dinamakan workshop.

Cara memperoleh duit lewat lokakarya antara lain dengan menyelenggarakannya di luar daerah supaya bisa mendapat anggaran perjalanan dinas. Mengingat workshop dilaksanakan oleh pihak ketiga, biasanya anggota DPRD meminta cash back darinya. Besaran cash back yang ditawarkan oleh pihak ketiga akan menentukan pihak ketiga mana yang ditunjuk menyelenggarakan ”proyek” lokakarya.

Dalam satu tahun anggaran, workshop bisa 10 kali kegiatan, dengan berbagai alasan. Anggota DPRD hasil Pileg 2014, khususnya wajah baru, har0us mewaspadai jebakan modus korupsi yang telah melembaga dan volumen dari satu periode ke periode berikutnya, makin bertambah. Saya pesimistis, kualitas anggota DPRD hasil Pileg 2014 bisa makin baik, mengingat biaya politik yang tinggi. Artinya, hasrat untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan juga makin besar. Apakah hasrat untuk korupsi juga makin tinggi? Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar