Jebakan
Korupsi DPRD
Thontowi Jauhari ; Anggota
DPRD Jateng 2004-2009,
Alumnus Magister Ilmu Politik Universits
Diponegoro, Tinggal di Boyolali
|
SUARA
MERDEKA, 03 September 2014
TAK
seorang pun bisa memungkiri bahwa caleg terpilih, baik di DPRD maupun DPR,
dalam Pemilu Legislatif 2014 mengeluarkan biaya tinggi. Kemerebakan praktik
politik uang telah memaksa uang ’’berbicara”.
Uang
menjadi faktor dominan terkait dengan keterpilihan mereka. Sulit menalar,
seorang caleg terpilih DPRD kabupaten/kota menghabiskan lebih dari Rp 0,5
miliar, caleg DPRD provinsi di atas Rp 1 miliar, dan caleg DPR bisa sampai Rp
3 miliar.
Bagaimana
dan dari mana seorang wakil rakyat bisa mengembalikan dana kampanye ketika
dana halal (gaji dan tunjangan) tak mungkin bisa menutup? Tulisan sederhana
ini mencoba mengurai beberapa ”peluang”skenario mengembalikan dana politik,
khususnya di DPRD kabupaten/ kota dan provinsi. Tentu skenario ini ilegal
atau setidak-tidaknya berada di wilayah abu-abu. Skenario korupsi itu
mencakup sedikitnya empat modus.
Pertama;
korupsi proyek. Era reformasi melahirkan budaya aneh wakil rakyat: berburu
proyek. Wakil rakyat tak boleh mengerjakan proyek APBD karena dikhawatirkan
menimbulkan konflik kepentingan. Fakta wakil rakyat (ikut) ’’mengerjakan’’ proyek
itu jadi pemandangan biasa, bahkan menjadi bagian dari keputusan setengah
resmi.
Utamanya,
sejak budaya politik berbiaya tinggi menggejala, yakni parlemen hasil Pemilu
2009. Ikut mengerjakan proyek tergolong cara gampang cari duit. Caranya?
Dalam pembahasan anggaran di tingkat komisi atau badan anggaran (banggar),
ada ”negosiasi” nilai proyek yang hendak didistribusikan.
Anggota
(yang bersedia) memperoleh semacam ’’voucher’’ untuk melaksanakan proyek
fisik. Terkait lelang, semua bisa diatur. Anggota DPRD berlatar belakang
kontraktor biasanya cerdas menyikapinya dengan menggunakan ”orang-orangnya”.
Fee 5-10% dari pagu proyek dipastikan masuk kantong.
Proposal Fiktif
Kedua;
korupsi bantuan sosial (bansos). Modusnya bisa melalui proposal fiktif atau
bekerja sama dengan masyarakat yang ingin mendapat bantuan, dan diawali
negosiasi fee atas cairnya bantuan. Semua anggota DPRD memperoleh semacam
dana aspirasi untuk masyarakat. Warga bisa mencairkannya dengan mengajukan
proposal lewat wakil rakyat. Biasanya, persentase potongannya tinggi karena
modus korupsi ini tergolong paling mudah. Terjadi semacam simbiosis
mutualisme antara masyarakat dan anggota DPRD.
Ketiga;
korupsi perjalanan dinas. Sudah jadi rahasia umum, perjalanan dinas di negeri
ini menjadi salah satu bagian pendapatan pelaksana negara, termasuk anggota
DPRD. Sebenarnya, anggaran perjalanan dinas itu suatu keharusan dan pelaksana
negara wajib melakukan berbagai kunjungan guna menunjang kinerja. Sayang
selama ini, khususnya di lembaga legislatif, perjalanan dinas sudah tidak
proporsional. Kegiatan itu bukan hanya untuk menunjang kinerja, melainkan
jadi modus mencari tambahan pendapatan.
Terjadilah
korupsi lewat modus perjalanan dinas fiktif, atau memperbanyak kunjungan,
bisa di dalam/luar daerah, atau luar negeri. Formatnya pun bermacam-macam,
semisal studi banding andai berkunjung ke pemda lain.
Banyak
perjalanan dinas ”tidak masuk akal” karena niat awalnya mencari tambahan
pendapatan. Ironisnya, seluruh alat kelengkapan DPRD punya rencana perjalanan
dinas. Bahkan, badan musyawarah (bamus) yang bertugas hanya membuat agenda
kegiatan pun melakukan studi banding. Akibatnya, karena tidak proporsional
tadi, anggaran perjalanan dinas membengkak. Bahkan mayoritas agenda DPRD
didominasi kunjungan ini, sehingga tak sempat lagi mengontrol pelaksanaan
APBD. Rapat dengar pendapat dengan masyarakat juga jarang dilakukan.
Keempat;
korupsi anggaran peningkatan kapasitas. Berdasarkan UU tentang MD3 (MPR, DPR,
DPD dan DPRD), salah satu hak anggota DPRD adalah mengikuti orientasi dan
pendalaman tugas, dan wujud kegiatan tersebut dinamakan workshop.
Cara
memperoleh duit lewat lokakarya antara lain dengan menyelenggarakannya di
luar daerah supaya bisa mendapat anggaran perjalanan dinas. Mengingat workshop dilaksanakan oleh pihak
ketiga, biasanya anggota DPRD meminta cash
back darinya. Besaran cash back
yang ditawarkan oleh pihak ketiga akan menentukan pihak ketiga mana yang
ditunjuk menyelenggarakan ”proyek” lokakarya.
Dalam
satu tahun anggaran, workshop bisa
10 kali kegiatan, dengan berbagai alasan. Anggota DPRD hasil Pileg 2014,
khususnya wajah baru, har0us mewaspadai jebakan modus korupsi yang telah melembaga dan volumen dari satu periode ke
periode berikutnya, makin bertambah. Saya pesimistis, kualitas anggota DPRD
hasil Pileg 2014 bisa makin baik, mengingat biaya politik yang tinggi.
Artinya, hasrat untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan juga makin
besar. Apakah hasrat untuk korupsi juga makin tinggi? Wallahu’alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar