Senin, 22 September 2014

Rupiah, The Fed, dan BBM

Rupiah, The Fed, dan BBM

A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

RUPIAH kembali melemah ke kisaran Rp 12.000 per dollar AS sehingga dalam seminggu terakhir terdepresiasi 1,4 persen terhadap dollar AS. Namun, sesungguhnya rupiah tak melemah sendirian. Banyak mata uang lain juga melemah terhadap dollar AS, misalnya euro yang melemah 1 persen dan yen Jepang yang bahkan melemah 1,6 persen dalam seminggu. Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah dan banyak mata uang lain terhadap dollar AS disebabkan membaiknya perekonomian AS.

Dalam enam bulan terakhir hingga Juli 2014, tercipta lebih dari 200.000 lapangan kerja baru. Bahkan, April 2014 tercipta 300.000 lapangan kerja baru sehingga pengangguran di AS terpangkas menjadi 6 persen, jauh lebih rendah daripada saat krisis memuncak April 2009 setinggi 10 persen. Perekonomian AS juga tumbuh mengesankan 2,5 persen triwulan II-2014, naik signifikan dari 1,7 persen triwulan I-2014 karena gangguan cuaca dingin.

Semua fakta ini menggiring opini bahwa Gubernur Bank Sentral AS (The Fed, Federal Reserve) akan segera menaikkan suku bunganya dari posisi sekarang 0,25 persen. Kebijakan suku bunga rendah ini sudah dilakukan sejak Desember 2008. Jika suku bunga di AS naik, otomatis kurs dollar AS akan menguat terhadap mata uang seluruh dunia, termasuk rupiah.

Banyak investor global mengonversikan kekayaannya menjadi aset-aset berdenominasi dollar AS. Itulah sebabnya, selain dollar AS menguat, bursa efek New York juga panen pembalikan dana yang tiba-tiba mengalir masuk (sudden reversal). Indeks Dow Jones pun naik ke 17.200 atau sudah melebihi level sebelum meledaknya krisis September 2008.

Peristiwa ”balik kandang” modal global ke New York ini juga dipicu kian agresifnya pemotongan (tapering off) kebijakan stimulus pembelian surat berharga pemerintah Federal AS (quantitative easing/QE), yang kini mendekati berakhir. The Fed telah memangkas kebijakan QE menjadi hanya 15 miliar dollar AS per bulan. Kebijakan QE direncanakan dihentikan QE pada pertemuan The Fed berikutnya, 28-29 Oktober 2014. Ditambah keberhasilan Pemerintah AS menjinakkan inflasi menjadi 1,9 persen, pasar menyambutnya dengan euforia apresiasi dollar.

Namun, sesungguhnya cerita belum berakhir. Data terbaru tenaga kerja AS menunjukkan pada Juli 2014 hanya tercipta 142.000 lapangan kerja baru, jauh di bawah ekspektasi 230.000. Hal inilah yang saya duga mengubah pikiran Janet Yellen untuk tidak segera menaikkan suku bunga Fed Rate, seperti yang diduga pasar. Semula pasar memperkirakan suku bunga naik dari 0,25 persen ke 0,5 persen pada Federal Open Market Committee (FOMC) pekan lalu. Bloomberg dalam rilis terbarunya (19/9) memprediksikan kenaikan suku bunga AS menjadi setidaknya 0,5 persen baru akan dilakukan The Fed pada Juli 2015.

Momentum rupiah untuk menguat

Di pasar modal, euforia Wall Street juga mulai terkoreksi. Indeks Dow Jones masih tetap tinggi, tetapi tak lagi di level 17.200. Semua ini mengingatkan saya pada artikel Paul Krugman di New York Times tahun lalu, yang berpendapat sebaiknya stimulus ekonomi AS jangan segera dihapus meski perekonomian AS mulai menunjukkan tanda-tanda membaik sejak Mei 2013. Sejak saat itu dollar AS cenderung menguat sehingga The Fed berancang-ancang menurunkan stimulus. Krugman berbeda pendapat dengan Yellen. Stimulus masih tetap diperlukan karena kita sebenarnya tak pernah benar-benar tahu, apakah perekonomian AS akan terus mulus atau masih menghadapi ancaman krisis lagi jangka menengah ke depan? Tak satu orang pun bisa memastikannya.

Berdasarkan kenyataan ini, penguatan dollar AS dan indeks Dow Jones tampaknya bakal tertahan atau terkoreksi. Sebaliknya, rupiah diperkirakan masih akan memiliki momentum untuk kembali menguat. Meski demikian, harus diakui Indonesia masih memiliki tiga persoalan domestik yang ikut andil memperlemah rupiah. Ketiganya adalah: (1) defisit transaksi berjalan yang masih besar, (2) utang luar negeri yang terus meningkat, serta (3) subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar dan belum ada kepastian kapan bakal dipangkas.

Masalah defisit transaksi berjalan pernah mencapai puncaknya 27 miliar dollar AS (year on year), tetapi sebenarnya sekarang sudah mulai terpangkas jadi 26 miliar dollar AS. Kinerja neraca perdagangan kita juga mulai membaik, di mana sepanjang tahun ini diperkirakan defisit hanya sekitar 1 miliar dollar AS. Melemahnya rupiah saya duga cukup membantu kinerja ekspor dan mengurangi hasrat mengimpor.

Kebijakan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk menekan pertumbuhan kredit di sektor perbankan menjadi maksimal 17 persen saya duga juga ikut memperbaiki neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Permintaan impor, khususnya terhadap barang modal dan barang antara, bisa dipastikan berkorelasi kuat dengan pertumbuhan kredit di bank. Jika kredit sedikit direm, permintaan impor juga rela sedikit berkorban tahun ini (kinerjanya stagnan) agar membantu kinerja ekonomi makro. Adapun isu utang luar negeri memang terjadi peningkatan. Saat ini utang luar negeri kita telah mencapai 290 miliar dollar AS, di mana utang luar negeri oleh sektor swasta sudah melampaui pemerintah, 156 miliar dollar AS. Utang luar negeri swasta meningkat cepat seiring agresivitas mereka yang lebih tinggi daripada pemerintah. Saat krisis 1998, utang swasta dan pemerintah besarannya sama, masing-masing 65 miliar dollar AS.

Yang harus ekstra diwaspadai adalah utang luar negeri jangka pendek, yang saat ini berjumlah hampir 60 miliar dollar AS (Kompas, 19/9). Angka ini masih dalam batas toleransi, tetapi pertumbuhan 12 persen setahun harus dikendalikan oleh BI. Namun, secara keseluruhan, postur utang luar negeri kita sudah jauh lebih baik daripada 1998. Saat itu utang luar negeri total 130 miliar dollar AS, berbanding cadangan devisa hanya 21 miliar dollar AS. Kini utang luar negeri 290 miliar dollar AS, berbanding cadangan devisa 111 miliar dollar AS. Jika dibuat rasio, hasilnya adalah 6 (1998) dan 2,6 (2014). Berarti postur 2014 jauh lebih baik daripada 1998. Dengan kata lain, mestinya isu utang luar negeri bukanlah kontributor yang terlalu besar bagi depresiasi rupiah kali ini.

Isu BBM

Isu domestik yang paling mungkin mengganggu rupiah adalah subsidi energi (BBM dan listrik) yang terlampau besar Rp 350 triliun serta kuota BBM bersubsidi yang bakal jebol sebelum akhir tahun. Karena pemerintah sekarang tidak berani menaikkan harga BBM bersubsidi, harapan satu-satunya tinggal pada pemerintah baru. Opsi terbaik dilakukan pada November 2014. Mengapa? Pertama, kenaikan harga BBM seyogianya dilakukan saat inflasi rendah supaya tak menambah beban. Karakteristik November biasanya ditandai inflasi rendah menjelang inflasi tinggi Desember (liburan Natal dan Tahun Baru). Jika November dilewatkan, pemerintah baru harus menunggu paling cepat Februari atau Maret 2015. Januari biasanya sering banjir, distribusi barang terhambat, sehingga inflasi selalu tinggi. Februari pun sering kali masih terjadi banjir dan inflasi tinggi.

Kedua, jika kenaikan harga BBM dilakukan November 2014, inflasi 2014 memang bakal tinggi, di atas 6 persen. Namun, sesudah itu, inflasi 2015 akan reda, mungkin hanya 5 persen. Karakteristik inflasi kita yang didorong oleh kenaikan harga BBM biasanya one shot inflation, yang berarti inflasi hanya membubung sekali, kemudian kembali normal. Beberapa tahun terakhir, sensitivitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi yang sedemikian tinggi pernah terjadi pada 2005, saat inflasi mencapai 17,1 persen. Namun, dalam kasus kenaikan harga BBM berikutnya, sensitivitasnya lebih rendah, yakni inflasi 8,38 persen pada 2013. Saya menduga sensitivitas ini akan lebih rendah lagi jika dilakukan pada 2014. Inflasi 2014 saya perkirakan maksimal 7 persen.

Mengapa sensitivitas inflasi menurun? Pada masa lalu, para produsen biasanya menaikkan harga produknya secara tak proporsional. Mereka melakukan moral hazard: menaikkan harga produk melebihi proporsi kenaikan harga BBM. Namun, perilaku ini tampaknya berubah. Kalau mereka menaikkan harga secara tak proporsional, produknya bakal kalah bersaing dengan kompetitor. Lebih baik bersikap konservatif dengan tak menaikkan harga terlalu tinggi, yang bisa memangkas margin labanya. Pada industri perbankan, banyak bank kini melakukannya. Ketika likuiditas mengetat, suku bunga deposito memang serta-merta naik, tetapi tak otomatis diikuti kenaikan suku bunga kredit secara proporsional. Akibatnya margin bunga menurun, profitabilitas berkurang. Opsi ini dipilih daripada menaikkan suku bunga kredit, tetapi berisiko besar menaikkan kredit bermasalah.

Akhirnya, rupiah kini menunggu sentimen positif yang bakal berembus dari pembentukan pemerintahan baru Jokowi. Ketika presiden baru dilantik 20 Oktober 2014, sentimen positif akan merebak. Selanjutnya jika susunan kabinet kuat, pasar finansial pun akan menyambut positif. Namun, ”bulan madu” ini tampaknya bakal singkat karena akan segera dihadapkan pada sentimen positif dollar AS, tatkala kebijakan QE dihentikan The Fed pada 29 Oktober 2014. Jadi, ”adu sedot” likuiditas tampaknya akan terjadi secara seru pekan terakhir Oktober 2014. Efek Jokowi akan menyedot modal masuk ke Jakarta, sementara efek kebijakan The Fed juga akan menyedot modal global ”pulang kandang” ke New York. Siapa bakal menang?

Bisa saja faktor penentunya kebijakan kenaikan harga BBM November 2014, yang akan memberikan ruang fiskal APBN 2015. Pasar akan menyambut positif karena pemerintah bisa merealokasikan subsidi BBM, taruhlah Rp 70 triliun, untuk kegiatan produktif, seperti membangun infrastruktur. Satu-satunya masalah adalah Jokowi harus cepat dan tepat melakukan sosialisasi untuk dapat meredam resistensi para politisi dan masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar