Ketika
Anggota DPRD Gadaikan SK
Laode M Syarif ;
Penasihat Senior Bidang Hukum dan Lingkungan di Kemitraan;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
|
KOMPAS,
22 September 2014
DUA minggu terakhir ini kita dikagetkan
berita miris dan menyedihkan tentang sejumlah anggota DPRD yang baru saja
terpilih ketahuan menggadaikan SK untuk bayar utang selama kampanye dan
kelangsungan hidup mereka.
Kita juga geram sebab kita semua tahu mereka
berutang sampai ratusan juta bahkan miliaran rupiah karena saat kampanye
mereka berusaha menarik simpati masyarakat dengan membeli suara dan bukan
menawarkan program kerja yang baik dan disenangi masyarakat. Kita berhak
marah dan kecewa karena anggota DPRD yang terlilit utang akan sulit
berkonsentrasi untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya, sebab
mereka akan lebih banyak memperhatikan diri-sendiri untuk melunasi
utang-utangnya.
Sudah rahasia umum, pemilu kita penuh
kecurangan dan permainan uang, tapi para petinggi parpol yang jadi tempat
bernaung para wakil rakyat menutup mata, bahkan menyuburkan kecurangan dan
permainan uang yang terjadi di parpol mereka.
Survei Kemitraan tahun 2001 dengan jelas
menempatkan parpol sebagai salah satu lembaga publik terkorup. Kondisi ini
tak berubah pada survei sepuluh tahun kemudian, bahkan makin mengukuhkan
posisi parpol sebagai salah satu lembaga publik terkorup di Indonesia. Hasil
kedua survei diperkuat survei-survei terbaru yang dilakukan lembaga lain,
seperti Political Communication
Institute (Polcomm Institute)
yang menyatakan mayoritas penduduk Indonesia tak percaya pada parpol (Kompas, 9/2/2014). Transparency International Indonesia
melalui Survei Global Barometer 2013
mengungkapkan parpol adalah lembaga terkorup keempat di Indonesia setelah
kepolisian, parlemen, dan peradilan.
Intinya, parpol adalah lembaga publik yang
masih penuh dengan korupsi. Anggota DPRD yang menggadaikan SK mereka adalah
produk dari lingkungan yang sangat korup. Maraknya korupsi pada parpol
disebabkan banyak hal, tetapi yang paling dominan adalah ketidakjelasan
sumber dan pengelolaan keuangan parpol. UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2/2011
tentang Partai Politik menyatakan bahwa sumber keuangan partai politik
berasal dari: (a) iuran anggota; (b) sumbangan yang sah menurut hukum; dan
(c) bantuan keuangan dari APBN/APBD.
Kenyataannya, hampir semua parpol tak dapat
berharap dari iuran anggota, sedangkan yang berasal dari APBN/APBD hanya 5
persen dari total keuangan parpol. Dapat disimpulkan, sumber utama keuangan
politik adalah sumbangan ”siluman” karena sering tak diketahui asal-usul dan
jumlahnya. Jangan heran dengan sistem pemilu yang transaksional karena uang
yang jadi mesin parpol tak jelas asal-usulnya.
Usulan
perbaikan
Untuk mencegah kejadian serupa di masa
mendatang, tak cukup dengan hanya menghujat dan menyalahkan para anggota DPRD
yang menggadaikan SK mereka, tanpa mengatasi akar permasalahan yang
menimbulkan fenomena ini. Salah satu cara yang diyakini dapat memitigasi praktik
jual beli suara ialah dengan memperbaiki sistem keuangan parpol di Indonesia.
Kajian yang kami lakukan di Kemitraan,
perbaikan sistem keuangan parpol dapat dilakukan dengan memperbaiki ”empat
pilar” keuangan parpol yang meliputi: (i) pemasukan, (ii) pengelolaan, (iii)
pengeluaran, dan (iv) pengawasan (Kemitraan, ”Anomali Keuangan Partai
Politik”).
Dari segi pemasukan, parpol harus
transparan dalam pencatatan sumber keuangan mereka. Sampai hari ini, tak ada
satu parpol pun yang memiliki catatan lengkap dan transparan tentang
asal-muasal keuangan mereka, khususnya yang berasal dari sumbangan pihak
lain. Ketiadaan catatan yang baik pasti akan menyuburkan praktik korupsi
dalam parpol tersebut.
Dari segi manajemen keuangan, parpol harus
memiliki sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, agar
pengelolaan keuangan mereka sesuai standar-standar sistem akuntansi modern
yang baik. Adalah ironis jika sebuah parpol yang salah satu fungsinya
menentukan arah politik berbangsa dan bernegara, dia sendiri tak memiliki
sistem keuangan yang baik. Kajian Kemitraan menunjukkan, tak ada satu parpol
pun yang memiliki sistem manajemen keuangan yang baik.
Kenyataan ini harus dilihat sebagai
”lonceng kematian demokrasi” dan masyarakat Indonesia tak boleh membiarkan
hal ini berlangsung terus-menerus. Sudah saatnya kita menggunakan suara kita
untuk menuntut elite parpol memperbaiki sistem manajemen keuangan mereka
karena sistem keuangan mereka sekarang lebih mirip sistem keuangan organisasi
terlarang yang penuh rahasia dan kegelapan.
Ketidakberesan dari segi pengeluaran dan
belanja parpol dapat dilihat pada tingginya selisih antara keuangan yang
mereka laporkan dan belanja iklan yang mereka keluarkan. Sebagai contoh, pada
kuartal I-2014, belanja iklan Partai Golkar untuk pemilu mencapai Rp 170
miliar, disusul Gerindra Rp 147 miliar, Partai Demokrat Rp 135 miliar, dan
Partai Nasdem Rp 115 miliar (Bisnis
Indonesia, 7/5/2014).
Tingginya belanja iklan ini tak mungkin
diambil dari bantuan APBN/APBD dan dapat dipastikan berasal dari sumbangan
yang tak dikenal asal-usulnya. Tingginya selisih laporan keuangan dan belanja
parpol seharusnya bisa dijadikan pintu masuk oleh kejaksaan dan KPK untuk
meneliti sistem akuntansi parpol agar ”pembodohan publik” ini tidak berlanjut.
Audit
dan pengawasan
Faktor lain yang perlu diperbaiki adalah
sistem pengawasan dan audit keuangan parpol. Sampai kini, BPK tak bisa
mengaudit keseluruhan keuangan parpol karena hanya diberi kewenangan
mengaudit keuangan parpol yang berasal dari APBN/APBD yang jumlahnya berkisar
5 persen dari total keuangan parpol. Lembaga publik seharusnya jauh lebih
transparan dan akuntabel dibandingkan dengan lembaga lain.
Pendeknya kita tak boleh lagi membiarkan
parpol kita hidup dalam kegelapan dan menutup dirinya dari jangkauan lembaga
audit negara. Praktik semacam ini tidak saja bertentangan dengan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good
governance) yang mengutamakan transparansi dan akuntabilitas, tapi juga
melanggar norma-norma dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Jika elite parpol masih enggan terbuka, masyarakat bisa bergerak maju
menuntut hak-hak mereka melalui UU Keterbukaan Informasi Publik dan sejumlah
bentuk pengawasan lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar