Refleksi
Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik, Peserta Community Policing Development Program di Jepang, Penulis
buku ”Polisi [Bukan] Manusia”
|
KORAN
SINDO, 03 September 2014
” ...sepanjang pasien
meyakini bahwa rasa bersalah adalah ketololan, maka ia tidak akan pernah
merasa bersalah. Ia hanya akan merasa ‘sakit’.” (Freud, 1923)
Hakikinya,
manusia adalah makhluk baik nan mulia. Namun, manusia adalah gudangnya alpa.
Jadi ibarat bandul, sepanjang umurnya, seluruh manusia selalu berayun- ayun
antara kutub kebaikan dan kutub keburukan.
Perbedaannya
tatkala sama-sama berbuat keburukan, sensasi hati dua manusia bisa berlainan.
Ada yang diterjang perasaan malu, ada pula yang ditikam perasaan bersalah.
Rasa malu dan rasa bersalah beda-beda tipis. Malu muncul ketika seorang
individu membayangkan bagaimana individu-individu lain memandang ke arah
dirinya akibat perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Sementara rasa bersalah
timbul manakala seorang individu membayangkan betapa tindak-tanduk buruknya
telah menyakiti pihak lain.
Orang
yang didera rasa malu lebih hirau pada dirinya sendiri. Jadi wajar jika
reaksinya cenderung defensif. Alih-alih mengoreksi kesalahannya serta
mengatasi akibatnya terhadap orang lain, orang yang merasa malu lebih
terdorong untuk mencari jalan guna menutup-nutupi kekeliruannya. Berbeda
dengan perasaan bersalah; ini menjadi pijakan bagi individu untuk menemukan
penawar atas kepahitan yang telah diakibatkannya terhadap pihak lain. Orang
malu, kendati dalam hatinya mengaku bersalah, malah bisa marah-marah.
Dia
tak terima dituding. Itulah rasa ”sakit” yang Freud maksud sebagaimana
kutipan di awal tulisan ini. Dan itu artinya, orang tersebut menolak memikul
tanggung jawab atas kelakuan tak semenggahnya. Kalau bisa, ia ujung-ujungnya
malah bisa mendesak pihak yang disakiti untuk meminta maaf. Sementara orang
bersalah, walau di dalam hatinya juga ada endapan perasaan malu, lebih jujur untuk
mengakui kekeliruannya. Ia tanggung risiko atas kealpaannya itu. Ia, di
hilirnya, meminta maaf kepada pihak yang telah dirugikan.
Baik
perasaan malu maupun perasaan bersalah, keduanya dapat dimanfaatkan untuk
keperluan pembangunan karakter. Perasaan bersalah menjadi sasaran yang ingin
dibentuk lewat pendidikan etika, standar perilaku, akhlak, dan sejenisnya.
Unsur preventif terlihat dominan di situ. Unit pendidikan dan pelatihan yang
memberi porsi besar pada pengajaran etika dan tata perilaku, merupakan ujung
tombak dalam program pengembangan diri individu.
Orang-orang
yang dianggap masih bersih adalah target binaan unit tersebut. Dengan
pendekatan sedemikian rupa, adalah individu itu sendiri yang berkedudukan
sebagai penentu dilakukan maupun tidak dilakukannya sesuatu. Dapat dinalar,
individu tersebut nantinya mempunyai ketangguhan lebih kuat untuk menangkal
dorongan-dorongan jahat. Perasaan malu, ketika dijadikan sebagai target
pengembangan diri, dibangun lewat cara penghukuman.
Penindakan
atau pendekatan represif lebih kental di dalamnya. Unit penghukum berperan
sebagai jangkar pembinaan individu. Orang-orang yang dinilai bersalah adalah
kelompok yang disasar unit tersebut. Karena kesadaran bukan isu sentral di
dalam desain tersebut, eksesnya adalah individu malah bisa terkondisikan
(terlatih) untuk mempercanggih kelakuan salahnya semata-mata agar tidak
diketahui pihak lain.
Mempertajam
rasa malu butuh pendekatan lebih instan daripada mengasah rasa bersalah. Itu
karena rasa malu lebih dekat dengan kodrat berpikir manusia saat menyikapi
dunianya, yakni pada saat berada dalam situasi yang positif, manusia akan
cenderung mengklaim dirinya sebagai penyebab situasi tersebut. Sebaliknya,
ketika masuk dalam keadaan yang negatif, ia akan menuding pihak lain sebagai
penyebab keadaan tersebut. Aku harus selalu dibenarkan, dan kalian harus
senantiasa disalahkan.
Mengapa
rasa malu lebih kuat menempel dalam jiwa manusia, boleh jadi karena perasaan
itu sudah lebih dahulu muncul, yakni saat individu berusia sekitar lima belas
bulan. Perasaan bersalah menyusul belakangan, yaitu tatkala individu
menginjak usia tiga tahunan. Buruk muka cermin dibelah, kata pepatah lama
tentang rasa malu. Ragam pertahanan diri semacam itu disebut sebagai bias
atribusi, yaitu kesesatan pikir yang menjangkiti hati hampir setiap umat
manusia.
Memberantasnya
susah luar biasa, karena sudah menjadi sifat bawaan bahwa manusia suka
dielu-elukan dan benci menjadi objek kecaman. Boleh jadi itulah penjelasan
mengapa penjahat semacam koruptor menutup wajah mereka saat digelandang ke
KPK, namun kemudian tersenyum lebar setelah majelis hakim mengetuk palu tanda
akhir persidangan. Vonis bersalah yang hakim jatuhkan tetap tidak mampu
menstimulasi terbitnya perasaan bersalah. Dewi Justisia hanya mengaktifkan
perasaan malu para cecunguk, sehingga ketika mereka sudah terbiasa menjadi
sorotan publik, rasa malu pun pupus.
Ulasan
tentang perbedaan antara rasa malu dan rasa bersalah menjadi relevan untuk
menyoroti pertikaian antara Kapolri Jenderal Sutarman dan Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional Profesor Adrianus Meliala. Siapa yang tergerak oleh
perasaan malu dan siapa pula yang terlecut oleh perasaan bersalah, hanya
mereka berdua dan–tentunya– Allah yang tahu. Dari pengamatan eksternal,
khalayak yang aktif mencermati Polri bisa jadi akan menyebut reaksi Jenderal
Sutarman sebagai ekspresi perasaan malu yang lantas dikompensasikan dengan
reaksi keras ke arah Profesor Adrianus.
Siapa
yang tahu bahwa bisa saja Jenderal Sutarman di ruangan kerjanya justru murka
terhadap para bawahannya. Reaksi itu kemudian diikuti dengan ultimatum kepada
seluruh jajaran korps Tribrata untuk memastikan bahwa Polri di bawah
kepemimpinannya tidak pernah menjadikan unit reserse dan kriminal sebagai
mesin uang para petinggi Polri. Jika itu yang terjadi di Markas Besar Polri,
sahlah bahwa Jenderal Sutarman sesungguhnya juga merasa bersalah apabila
kritik tajam Profesor Adrianus diabaikan.
Perasaan
bersalah yang langsung diikuti aksi berbenah. Begitu pula dengan Profesor
Adrianus. Sebagai ekspresi perasaan bersalah, ia akhirnya secara terbuka
meminta maaf kepada institusi Polri. Namun, siapa yang tahu bahwa di balik
ungkapan bersalah itu barangkali juga terselip perasaan malu. Malu karena
telah sekian kali formasi komisioner Kompolnas berganti, namun tetap belum
signifikan perannya bagi perbaikan lembaga Polri. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar