Jumat, 05 September 2014

Refleksi Rasa Malu dan Rasa Bersalah

Refleksi Rasa Malu dan Rasa Bersalah

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik, Peserta Community Policing Development Program di Jepang, Penulis buku ”Polisi [Bukan] Manusia”
KORAN SINDO, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

” ...sepanjang pasien meyakini bahwa rasa bersalah adalah ketololan, maka ia tidak akan pernah merasa bersalah. Ia hanya akan merasa ‘sakit’.” (Freud, 1923)

Hakikinya, manusia adalah makhluk baik nan mulia. Namun, manusia adalah gudangnya alpa. Jadi ibarat bandul, sepanjang umurnya, seluruh manusia selalu berayun- ayun antara kutub kebaikan dan kutub keburukan.

Perbedaannya tatkala sama-sama berbuat keburukan, sensasi hati dua manusia bisa berlainan. Ada yang diterjang perasaan malu, ada pula yang ditikam perasaan bersalah. Rasa malu dan rasa bersalah beda-beda tipis. Malu muncul ketika seorang individu membayangkan bagaimana individu-individu lain memandang ke arah dirinya akibat perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Sementara rasa bersalah timbul manakala seorang individu membayangkan betapa tindak-tanduk buruknya telah menyakiti pihak lain.

Orang yang didera rasa malu lebih hirau pada dirinya sendiri. Jadi wajar jika reaksinya cenderung defensif. Alih-alih mengoreksi kesalahannya serta mengatasi akibatnya terhadap orang lain, orang yang merasa malu lebih terdorong untuk mencari jalan guna menutup-nutupi kekeliruannya. Berbeda dengan perasaan bersalah; ini menjadi pijakan bagi individu untuk menemukan penawar atas kepahitan yang telah diakibatkannya terhadap pihak lain. Orang malu, kendati dalam hatinya mengaku bersalah, malah bisa marah-marah.

Dia tak terima dituding. Itulah rasa ”sakit” yang Freud maksud sebagaimana kutipan di awal tulisan ini. Dan itu artinya, orang tersebut menolak memikul tanggung jawab atas kelakuan tak semenggahnya. Kalau bisa, ia ujung-ujungnya malah bisa mendesak pihak yang disakiti untuk meminta maaf. Sementara orang bersalah, walau di dalam hatinya juga ada endapan perasaan malu, lebih jujur untuk mengakui kekeliruannya. Ia tanggung risiko atas kealpaannya itu. Ia, di hilirnya, meminta maaf kepada pihak yang telah dirugikan.

Baik perasaan malu maupun perasaan bersalah, keduanya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan karakter. Perasaan bersalah menjadi sasaran yang ingin dibentuk lewat pendidikan etika, standar perilaku, akhlak, dan sejenisnya. Unsur preventif terlihat dominan di situ. Unit pendidikan dan pelatihan yang memberi porsi besar pada pengajaran etika dan tata perilaku, merupakan ujung tombak dalam program pengembangan diri individu.

Orang-orang yang dianggap masih bersih adalah target binaan unit tersebut. Dengan pendekatan sedemikian rupa, adalah individu itu sendiri yang berkedudukan sebagai penentu dilakukan maupun tidak dilakukannya sesuatu. Dapat dinalar, individu tersebut nantinya mempunyai ketangguhan lebih kuat untuk menangkal dorongan-dorongan jahat. Perasaan malu, ketika dijadikan sebagai target pengembangan diri, dibangun lewat cara penghukuman.

Penindakan atau pendekatan represif lebih kental di dalamnya. Unit penghukum berperan sebagai jangkar pembinaan individu. Orang-orang yang dinilai bersalah adalah kelompok yang disasar unit tersebut. Karena kesadaran bukan isu sentral di dalam desain tersebut, eksesnya adalah individu malah bisa terkondisikan (terlatih) untuk mempercanggih kelakuan salahnya semata-mata agar tidak diketahui pihak lain.

Mempertajam rasa malu butuh pendekatan lebih instan daripada mengasah rasa bersalah. Itu karena rasa malu lebih dekat dengan kodrat berpikir manusia saat menyikapi dunianya, yakni pada saat berada dalam situasi yang positif, manusia akan cenderung mengklaim dirinya sebagai penyebab situasi tersebut. Sebaliknya, ketika masuk dalam keadaan yang negatif, ia akan menuding pihak lain sebagai penyebab keadaan tersebut. Aku harus selalu dibenarkan, dan kalian harus senantiasa disalahkan.

Mengapa rasa malu lebih kuat menempel dalam jiwa manusia, boleh jadi karena perasaan itu sudah lebih dahulu muncul, yakni saat individu berusia sekitar lima belas bulan. Perasaan bersalah menyusul belakangan, yaitu tatkala individu menginjak usia tiga tahunan. Buruk muka cermin dibelah, kata pepatah lama tentang rasa malu. Ragam pertahanan diri semacam itu disebut sebagai bias atribusi, yaitu kesesatan pikir yang menjangkiti hati hampir setiap umat manusia.

Memberantasnya susah luar biasa, karena sudah menjadi sifat bawaan bahwa manusia suka dielu-elukan dan benci menjadi objek kecaman. Boleh jadi itulah penjelasan mengapa penjahat semacam koruptor menutup wajah mereka saat digelandang ke KPK, namun kemudian tersenyum lebar setelah majelis hakim mengetuk palu tanda akhir persidangan. Vonis bersalah yang hakim jatuhkan tetap tidak mampu menstimulasi terbitnya perasaan bersalah. Dewi Justisia hanya mengaktifkan perasaan malu para cecunguk, sehingga ketika mereka sudah terbiasa menjadi sorotan publik, rasa malu pun pupus.

Ulasan tentang perbedaan antara rasa malu dan rasa bersalah menjadi relevan untuk menyoroti pertikaian antara Kapolri Jenderal Sutarman dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Profesor Adrianus Meliala. Siapa yang tergerak oleh perasaan malu dan siapa pula yang terlecut oleh perasaan bersalah, hanya mereka berdua dan–tentunya– Allah yang tahu. Dari pengamatan eksternal, khalayak yang aktif mencermati Polri bisa jadi akan menyebut reaksi Jenderal Sutarman sebagai ekspresi perasaan malu yang lantas dikompensasikan dengan reaksi keras ke arah Profesor Adrianus.

Siapa yang tahu bahwa bisa saja Jenderal Sutarman di ruangan kerjanya justru murka terhadap para bawahannya. Reaksi itu kemudian diikuti dengan ultimatum kepada seluruh jajaran korps Tribrata untuk memastikan bahwa Polri di bawah kepemimpinannya tidak pernah menjadikan unit reserse dan kriminal sebagai mesin uang para petinggi Polri. Jika itu yang terjadi di Markas Besar Polri, sahlah bahwa Jenderal Sutarman sesungguhnya juga merasa bersalah apabila kritik tajam Profesor Adrianus diabaikan.

Perasaan bersalah yang langsung diikuti aksi berbenah. Begitu pula dengan Profesor Adrianus. Sebagai ekspresi perasaan bersalah, ia akhirnya secara terbuka meminta maaf kepada institusi Polri. Namun, siapa yang tahu bahwa di balik ungkapan bersalah itu barangkali juga terselip perasaan malu. Malu karena telah sekian kali formasi komisioner Kompolnas berganti, namun tetap belum signifikan perannya bagi perbaikan lembaga Polri. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar