Jumat, 05 September 2014

Kampus dan Deradikalisasi

Kampus dan Deradikalisasi

Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
KORAN SINDO, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Awalnya banyak pihak menduga bahwa pemberitaan tentang Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) merupakan pengalihan perhatian umat terhadap serangan Israel ke Palestina.

Dugaan itu dapat dimaklumi karena berita media cetak dan elektronik tentang pembantaian warga sipil di Gaza, Palestina oleh pasukan Israel telah mengundang perhatian dunia. Namun, dugaan itu berubah seiring dengan semakin terkuaknya ISIS sebagai gerakan politik yang radikal. ISIS memang lebih tepat disebut gerakan politik, karena konteks kelahirannya merupakan reaksi terhadap situasi sosial politik di Irak dan Suriah.

Sebagai gerakan politik yang mengatasnamakan Islam untuk merebut kekuasaan di Irak dan Suriah, ISIS tampak sangat cerdik tatkala mengampanyekan wacana negara Islam, khilafah, dan semangat anti Barat. Dampaknya, kelompok-kelompok fundamental yang sudah sekian lama bercita- cita mendirikan negara Islam menjadi terpesona. Karena itulah, kita harus memosisikan ISIS sebagai gerakan politik, bukan gerakan Islam.

Apalagi dalam mencapai tujuannya, ISIS telah menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara radikal yang dibumbui dengan spirit jihad. Padahal, substansi ajaran jihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan sebagaimana diperintahkan syariat. Bahkan tokoh Muhammadiyah, Buya AR Sutan Mansur, memaknai jihad dalam arti bekerja dengan sepenuh hati. Perspektif ini penting dikembangkan karena sama sekali tidak mengaitkan jihad dengan perang.

Dalam banyak kasus radikalisme bernuansa agama di Tanah Air, jelas sekali kaum muda selalu menjadi sasaran kaderisasi. Gembong ISIS dan terduga teroris asal Surabaya, Saifuddin Umar alias Abu Fida, mengakui sangat aktif merekrut kader-kader muda terutama dari kampus. Kaum muda yang sedang menuntut ilmu di kampus sengaja disasar karena mereka umumnya masih dalam proses menemukan jati dirinya (becoming). Di tengah proses ”menjadi” itulah, mereka sering kali terpesona dengan ideologi politik yang dikemas dengan simbol-simbol keislaman.

Karena kampus telah menjadi sasaran kelompok radikalis, sivitas perguruan tinggi (PT) harus waspada. Pimpinan PT harus menyelamatkan mahasiswanya dengan menanamkan pendidikan tentang nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Langkah ini penting karena ada peningkatan radikalisme di PT, seperti ditunjukkan dalam berbagai kasus tawuran antarmahasiswa, demonstrasi anarkistis, serta keterlibatan sebagian mahasiswa dalam jaringan terorisme, Negara Islam Indonesia (NII), dan ISIS.

Untuk mencegah penyebaran virus radikalisme di kalangan kaum muda, terutama yang ada di kampus, mahasiswa harus diajak untuk mempelajari nilai-nilai kewarganegaraan. Tentu tidak hanya berhenti pada aspek pengetahuan (civic knowledge), mahasiswa harus didorong untuk mengaktualisasikan pengetahuan mengenai civic values hingga mewujud dalam sikap dan watak (civic disposition),serta perilaku keseharian (civic skill). Melalui cara itulah, nilai-nilai kewarganegaraan menjelma menjadi budaya dalam kehidupan kaum muda di kampus.

Agar nilai-nilai kewarganegaraan menjadi budaya, dibutuhkan ”gerakan” dari seluruh sivitas. Langkah selanjutnya adalah mendorong mahasiswa terlibat aktif dalam program deradikalisasi. Setiap mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendidik untuk teman sebayanya (peer teaching), terkait dengan persoalan radikalisme. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa sesungguhnya kaum muda (pelajar dan mahasiswa) selalu berperan dalam berbagai peristiwa yang menentukan perjalanan bangsa.

Itu dapat diamati dari berbagai peristiwa bersejarah yang menunjukkan peranan kaum muda sebagai pendorong perubahan, seperti Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), dan reformasi (1998). Kiprah kaum muda tersebut menunjukkan bahwa mereka sejatinya memiliki kultur keilmuan dan keterampilan berorganisasi yang hebat.

Mahasiswa seharusnya meneladani figur-figur penting yang berpengaruh dalam dunia pergerakan, diantaranya Ahmad Wahib, seorang mahasiswa yang terus bergulat dalam pencarian jati dirinya. Melalui pergulatannya itulah lahir karya monumental; Pergolakan Pemikiran Islam (1981). Juga ada Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang mewacanakan ”Islam Yes, Partai Islam No”. Gagasan itu merupakan bagian dari cita-cita besar Cak Nur untuk menyegarkan paham keagamaan umat. Pernyataan Cak Nur itu sekaligus menjadi kritik terhadap perilaku politisi muslim yang terhimpun dalam partai-partai Islam.

Kiprah Ahmad Wahib dan Cak Nur dapat menjadi inspirasi mahasiswa untuk mendialogkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Untuk itulah, mahasiswa perlu terlibat dalam program deradikalisasi di kampus. Pelibatan mahasiswa dapat dimulai dengan mengajak mereka mewacanakan tema-tema yang berkaitan dengan civic values, seperti Pancasila, demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme.

Tema demokrasi menarik dibahas terutama dalam kaitan dengan ajaran Islam dan Pancasila. Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi harus dipahami sebagai perwujudan ajaran Islam tentang musyawarah (syura). Karena itu, praktik demokrasi dengan segala kekurangannya harus terus disemai. Sementara pluralisme dan multikulturalisme, juga penting karena berkaitan dengan komitmen bangsa untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Dalam pernyataan penuh hikmah dikatakan bahwa perbedaan di kalangan umat (yang terdidik) adalah rahmat.

Kita juga sering mendengar slogan yang menyatakan bahwa perbedaan itu indah. Meski realitas bangsa menunjukkan ”ber-Bineka”, namun harus tetap ”Tunggal Ika”. Itu berarti perbedaan seharusnya tidak menghalangi kita untuk bersatu sehingga kehidupan terasa penuh rahmat dan indah. Dalam konteks program deradikalisasi di kampus itulah, mahasiswa dapat menjadi pelopor dialog lintas etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan.

Dialog tidak harus dipahami secara formal, melainkan juga dialog-dialog informal melalui pentas seni, budaya, musik, teater, dan olahraga. Melalui perjumpaan- perjumpaan informal itu, orang akan melupakan status sosial, etnis, budaya, dan agama, yang dalam situasi formal dapat menjadi jarak yang membedakan antar individu.

Kini tugas mahasiswa adalah memperbanyak perjumpaan informal demi terwujudnya generasi masa depan bangsa yang terbuka, sehingga tidak mudah terpesona dengan ideologi baru yang radikalis, militan, dan intoleran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar