Kampus
dan Deradikalisasi
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah
Jatim
|
KORAN
SINDO, 03 September 2014
Awalnya
banyak pihak menduga bahwa pemberitaan tentang Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) merupakan pengalihan
perhatian umat terhadap serangan Israel ke Palestina.
Dugaan
itu dapat dimaklumi karena berita media cetak dan elektronik tentang
pembantaian warga sipil di Gaza, Palestina oleh pasukan Israel telah
mengundang perhatian dunia. Namun, dugaan itu berubah seiring dengan semakin
terkuaknya ISIS sebagai gerakan politik yang radikal. ISIS memang lebih tepat
disebut gerakan politik, karena konteks kelahirannya merupakan reaksi
terhadap situasi sosial politik di Irak dan Suriah.
Sebagai
gerakan politik yang mengatasnamakan Islam untuk merebut kekuasaan di Irak
dan Suriah, ISIS tampak sangat cerdik tatkala mengampanyekan wacana negara
Islam, khilafah, dan semangat anti Barat. Dampaknya, kelompok-kelompok
fundamental yang sudah sekian lama bercita- cita mendirikan negara Islam
menjadi terpesona. Karena itulah, kita harus memosisikan ISIS sebagai gerakan
politik, bukan gerakan Islam.
Apalagi
dalam mencapai tujuannya, ISIS telah menghalalkan segala cara, termasuk
cara-cara radikal yang dibumbui dengan spirit jihad. Padahal, substansi
ajaran jihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan
sebagaimana diperintahkan syariat. Bahkan tokoh Muhammadiyah, Buya AR Sutan
Mansur, memaknai jihad dalam arti bekerja dengan sepenuh hati. Perspektif ini
penting dikembangkan karena sama sekali tidak mengaitkan jihad dengan perang.
Dalam
banyak kasus radikalisme bernuansa agama di Tanah Air, jelas sekali kaum muda
selalu menjadi sasaran kaderisasi. Gembong ISIS dan terduga teroris asal
Surabaya, Saifuddin Umar alias Abu Fida, mengakui sangat aktif merekrut
kader-kader muda terutama dari kampus. Kaum muda yang sedang menuntut ilmu di
kampus sengaja disasar karena mereka umumnya masih dalam proses menemukan
jati dirinya (becoming). Di tengah
proses ”menjadi” itulah, mereka sering kali terpesona dengan ideologi politik
yang dikemas dengan simbol-simbol keislaman.
Karena
kampus telah menjadi sasaran kelompok radikalis, sivitas perguruan tinggi
(PT) harus waspada. Pimpinan PT harus menyelamatkan mahasiswanya dengan
menanamkan pendidikan tentang nilai-nilai kewarganegaraan (civic values). Langkah ini penting
karena ada peningkatan radikalisme di PT, seperti ditunjukkan dalam berbagai
kasus tawuran antarmahasiswa, demonstrasi anarkistis, serta keterlibatan
sebagian mahasiswa dalam jaringan terorisme, Negara Islam Indonesia (NII),
dan ISIS.
Untuk
mencegah penyebaran virus radikalisme di kalangan kaum muda, terutama yang
ada di kampus, mahasiswa harus diajak untuk mempelajari nilai-nilai
kewarganegaraan. Tentu tidak hanya berhenti pada aspek pengetahuan (civic knowledge), mahasiswa harus
didorong untuk mengaktualisasikan pengetahuan mengenai civic values hingga
mewujud dalam sikap dan watak (civic
disposition),serta perilaku keseharian (civic skill). Melalui cara itulah, nilai-nilai kewarganegaraan
menjelma menjadi budaya dalam kehidupan kaum muda di kampus.
Agar
nilai-nilai kewarganegaraan menjadi budaya, dibutuhkan ”gerakan” dari seluruh
sivitas. Langkah selanjutnya adalah mendorong mahasiswa terlibat aktif dalam
program deradikalisasi. Setiap mahasiswa dapat berfungsi sebagai pendidik
untuk teman sebayanya (peer teaching),
terkait dengan persoalan radikalisme. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa
sesungguhnya kaum muda (pelajar dan mahasiswa) selalu berperan dalam berbagai
peristiwa yang menentukan perjalanan bangsa.
Itu
dapat diamati dari berbagai peristiwa bersejarah yang menunjukkan peranan
kaum muda sebagai pendorong perubahan, seperti Kebangkitan Nasional (1908),
Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa
(1966), dan reformasi (1998). Kiprah kaum muda tersebut menunjukkan bahwa
mereka sejatinya memiliki kultur keilmuan dan keterampilan berorganisasi yang
hebat.
Mahasiswa
seharusnya meneladani figur-figur penting yang berpengaruh dalam dunia
pergerakan, diantaranya Ahmad Wahib, seorang mahasiswa yang terus bergulat
dalam pencarian jati dirinya. Melalui pergulatannya itulah lahir karya monumental;
Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Juga ada Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang mewacanakan ”Islam Yes, Partai Islam No”. Gagasan itu merupakan bagian dari
cita-cita besar Cak Nur untuk menyegarkan paham keagamaan umat. Pernyataan
Cak Nur itu sekaligus menjadi kritik terhadap perilaku politisi muslim yang
terhimpun dalam partai-partai Islam.
Kiprah
Ahmad Wahib dan Cak Nur dapat menjadi inspirasi mahasiswa untuk mendialogkan
nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Untuk itulah, mahasiswa
perlu terlibat dalam program deradikalisasi di kampus. Pelibatan mahasiswa
dapat dimulai dengan mengajak mereka mewacanakan tema-tema yang berkaitan
dengan civic values, seperti
Pancasila, demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme.
Tema
demokrasi menarik dibahas terutama dalam kaitan dengan ajaran Islam dan
Pancasila. Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi harus dipahami sebagai
perwujudan ajaran Islam tentang musyawarah (syura). Karena itu, praktik demokrasi dengan segala kekurangannya
harus terus disemai. Sementara pluralisme dan multikulturalisme, juga penting
karena berkaitan dengan komitmen bangsa untuk bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Dalam pernyataan
penuh hikmah dikatakan bahwa perbedaan di kalangan umat (yang terdidik)
adalah rahmat.
Kita
juga sering mendengar slogan yang menyatakan bahwa perbedaan itu indah. Meski
realitas bangsa menunjukkan ”ber-Bineka”, namun harus tetap ”Tunggal Ika”.
Itu berarti perbedaan seharusnya tidak menghalangi kita untuk bersatu
sehingga kehidupan terasa penuh rahmat dan indah. Dalam konteks program
deradikalisasi di kampus itulah, mahasiswa dapat menjadi pelopor dialog
lintas etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan.
Dialog
tidak harus dipahami secara formal, melainkan juga dialog-dialog informal
melalui pentas seni, budaya, musik, teater, dan olahraga. Melalui perjumpaan-
perjumpaan informal itu, orang akan melupakan status sosial, etnis, budaya,
dan agama, yang dalam situasi formal dapat menjadi jarak yang membedakan
antar individu.
Kini
tugas mahasiswa adalah memperbanyak perjumpaan informal demi terwujudnya
generasi masa depan bangsa yang terbuka, sehingga tidak mudah terpesona
dengan ideologi baru yang radikalis, militan, dan intoleran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar