Jumat, 05 September 2014

Kembali ke Rupiah dan Menyikapi Pergerakannya

Kembali ke Rupiah dan Menyikapi Pergerakannya

Untoro Kayatnan  ;   Doktor Akuntansi dari Universitas Indonesia,
Peneliti Senior pada Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia
KORAN SINDO, 04 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Fluktuasi nilai tukar rupiah tidak terlepas dari permasalahan struktural, baik dilihat dari skala makro maupun mikro. Pembentukan kurs rupiah di pasar uang juga hasil dari mekanisme penawaran dan permintaan valuta asing (valas).

Kecenderungan pasar sangat dipengaruhi sentimen sebagian besar pelaku pasar. Saat kecenderungan nilai tukar rupiah menguat, pada umumnya pelaku pasar akan menjual mata uang asing yang mereka miliki. Demikian pula sebaliknya, ketika rupiah mengalami pelemahan, pelaku pasar akan mengambil posisi melepas rupiah. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan memengaruhi arus kas perusahaan.

Perusahaan dengan kegiatan utama sebagai importir akan mengalami kesulitan ketika penerimaan mereka dalam bentuk rupiah yang menjadi sumber penerimaannya terdepresiasi. Ketika penerimaan mereka dalam rupiah di konversi ke mata uang asing, penerimaan mereka akan turun. Di pihak lain kewajiban dalam mata uang asing mereka akan meningkat ketika dikonversi ke dalam rupiah. Beberapa perusahaan mengantisipasiitudenganmelakukan kontrak dalam mata uang asing (baca: dolar AS) meskipun transaksi dilakukan di wilayah Republik Indonesia.

Transaksi dalam mata uang dolar AS ini dilakukan pula oleh beberapa badan usaha milik negara (BUMN) dalam melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya. Di sisi lain, sebagai eksportir, perusahaan akan menghadapi risiko penguatan nilai tukar rupiah karena atas dasar sales contract dalam dolar AS, sedangkan ongkos produksi didasarkan pada rupiah. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan perusahaan bila dikonversi ke dolar AS akan lebih mahal. Saat ini Indonesia menganut sistem devisa bebas dengan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).

Konsekuensinya, pergerakan nilai tukar rupiah sangat dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran valuta asing (valas) di pasar. Bila tanpa campur tangan bank sentral melalui tindakan intervensi di pasar valas, pembentukan nilai tukar rupiah akan benar-benar terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran valas di pasar. Hanya, sesuai amanat undangundang, di mana dinyatakan bahwa tugas Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, baik stabilitas nilai tukar rupiah terhadap barang dan jasa (inflasi) maupun stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lainnya, Bank Indonesia cukup aktif berada di pasar guna menjalankan amanat undang-undang tersebut.

Tugas yang diemban oleh Bank Indonesia terkait nilai tukar tersebut kurang memperoleh dukungan perusahaan di dalam negeri. Banyak perusahaan baik domestik maupun asing yang sering membuat ”kejutan” di pasar valas melalui permintaan valas dalam jumlah yang besar melalui transaksi spot . Untuk menghindari risiko nilai tukar tersebut, beberapa transaksi di dalam negeri misalnya sewa ruang usaha dilakukan dengan menggunakan denominasi mata uang asing.

Kejutan ini dimeriahkan pula dengan berbagai sentimen terkait perkembangan politik dalam negeri, di samping pengaruh global lain. Akibat itu, kita sering mendengar keluhan berbagai perusahaan yang mengalami kerugian usaha akibat kerugian kurs. Pertanyaannya, bisakah ini kita antisipasi bersama? Dalam dunia usaha cash flow perusahaan pada dasarnya sudah dapat diprediksi sesuai rencana kegiatan bisnis mereka. Karena itu, terjadi risiko nilai tukar yang timbul dari bisnis mereka seharusnya dapat diatasi.

Transaksi spot valas harus diminimalisasi karena transaksi spot akan memengaruhi ketersediaan valas di pasar yang akan berakibat pada gejolak nilai tukar. Memenuhi kewajiban dalam mata uang asing harus dapat direncanakan dan dikontrol melalui tindakan lindung nilai (hedging) transaksi derivatif valas. Pada level operasional, transaksi derivatif dapat menggunakan konsep lindung nilai (hedging) sebagai bentuk pengamanan dan dapat dilakukan dengan basis tujuan untuk spekulasi.

Transaksi derivatif valas dilakukan antaraperusahaandanperbankan, khususnya bank devisa. Pada umumnya perusahaan melakukan transaksi derivatif valas sebagai tindakan manajemen risiko perubahan nilai tukar, untuk mengurangi borrowing cost , atau untuk memperoleh keuntungan melalui tindakan trading atau spekulasi. Transaksi derivatif dibedakan dalam dua kelompok yaitu forward-type derivatives dan option-type derivatives (Pearl Tan dan Peter Lee, 2009 hal 437).

Di dunia perbankan, transaksi derivatif valas sering dilakukan selain untuk tindakan lindung nilai untuk memenuhi kebutuhan nasabahnya, dilakukan pula untuk tindakan spekulasi dengan tujuan memperoleh laba. Beberapa kasus bahkan laba dari transaksi derivatif tersebut menyumbangkan laba yang signifikan bagi bank. Pada saat yang bersamaan posisi transaksi derivatif yang dicatat di posisi off balance sheet memberikan ”stimulus” bagi bank dalam pembentukan laba dengan tanpa memengaruhi total aset yang tercatat dalam bank.

Kondisi ini makin terlihat bila dilihat pada rasio antara posisi off balance sheet transaksi derivatif baik posisi beli maupun posisi jual. Walaupun sudah ada aturan pembatasan transaksi derivatif untuk tindakan spekulasi, dalam kasus seperti ini diperlukan kejelian dari otoritas. Apabila posisi jual transaksi derivatif dengan posisi beli transaksi derivatif menunjukkan seimbang, dapat diindikasikan bahwa transaksi derivatif yang dilakukan bertujuan untuk tindakan lindung nilai.

Namun, apabila menunjukkan ketidakseimbangan, dapat diindikasikan ada kecenderungan untuk tindakan spekulatif. Indikasi ini dapat pula dilihat dari laba potensial transaksi derivatif yang dilaporkan di laporan keuangan bank sebagai akibat dari kewajiban penyampaian nilai wajar aset yang dimiliki. Sesuai PSAK 50 dan PSAK 55, bank di Indonesia wajib melakukan tindakan fair value atas aset valas yang dimiliki, termasuk dalam hal ini posisi hak dan kewajiban valas yang dicatat pada off balance sheet berupa transaksi derivatif.

Di beberapa negara, kontrak derivatif valas dipakai oleh bank sentral sebagai peranti kebijakan moneter dalam pengendalian nilai tukar (Kohlscheen Emanuel dan Andrade C Sandro, 2013). Transaksi derivatif valas tidak memengaruhi jumlah valas di pasar sehingga tidak menimbulkan gejolak harga spot-nya. Otoritas melakukan intervensi di pasar derivatif valas dengan tanpa memengaruhi jumlah uang beredar dan tanpa mengganggu cadangan devisa (Blejer and Schumacher, 2000).

Dengan memperhatikan hal diatas, tampaknya bisnis di dalam negeri selalu menggunakan rupiah bukan sesuatu yang merugikan. Semua risiko nilai tukar dapat diantisipasi melalui tindakan hedging valas. Maraknya tindakan hedging perusahaan akan mengembangkan pasar derivatif dalam negeri dan tentu harus diikuti kedisiplinan dari perbankan untuk tidak melakukan tindakan spekulatif di pasar derivatif.

Makin tinggi pasar derivatif, akan membantu bank sentral dalam mengemban tugas pengendalian nilai tukar rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar