Kembali
ke Rupiah dan Menyikapi Pergerakannya
Untoro Kayatnan ; Doktor
Akuntansi dari Universitas Indonesia,
Peneliti Senior pada Pusat Riset dan
Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 September 2014
Fluktuasi
nilai tukar rupiah tidak terlepas dari permasalahan struktural, baik dilihat
dari skala makro maupun mikro. Pembentukan kurs rupiah di pasar uang juga
hasil dari mekanisme penawaran dan permintaan valuta asing (valas).
Kecenderungan
pasar sangat dipengaruhi sentimen sebagian besar pelaku pasar. Saat
kecenderungan nilai tukar rupiah menguat, pada umumnya pelaku pasar akan
menjual mata uang asing yang mereka miliki. Demikian pula sebaliknya, ketika
rupiah mengalami pelemahan, pelaku pasar akan mengambil posisi melepas
rupiah. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan
memengaruhi arus kas perusahaan.
Perusahaan
dengan kegiatan utama sebagai importir akan mengalami kesulitan ketika
penerimaan mereka dalam bentuk rupiah yang menjadi sumber penerimaannya
terdepresiasi. Ketika penerimaan mereka dalam rupiah di konversi ke mata uang
asing, penerimaan mereka akan turun. Di pihak lain kewajiban dalam mata uang
asing mereka akan meningkat ketika dikonversi ke dalam rupiah. Beberapa perusahaan
mengantisipasiitudenganmelakukan kontrak dalam mata uang asing (baca: dolar
AS) meskipun transaksi dilakukan di wilayah Republik Indonesia.
Transaksi
dalam mata uang dolar AS ini dilakukan pula oleh beberapa badan usaha milik
negara (BUMN) dalam melakukan transaksi dengan mitra bisnisnya. Di sisi lain,
sebagai eksportir, perusahaan akan menghadapi risiko penguatan nilai tukar
rupiah karena atas dasar sales contract dalam dolar AS, sedangkan ongkos
produksi didasarkan pada rupiah. Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan
perusahaan bila dikonversi ke dolar AS akan lebih mahal. Saat ini Indonesia
menganut sistem devisa bebas dengan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
Konsekuensinya,
pergerakan nilai tukar rupiah sangat dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran valuta asing (valas) di pasar. Bila tanpa campur tangan bank
sentral melalui tindakan intervensi di pasar valas, pembentukan nilai tukar
rupiah akan benar-benar terbentuk dari kekuatan permintaan dan penawaran valas
di pasar. Hanya, sesuai amanat undangundang, di mana dinyatakan bahwa tugas
Bank Indonesia menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, baik stabilitas nilai
tukar rupiah terhadap barang dan jasa (inflasi) maupun stabilitas nilai tukar
rupiah terhadap mata uang negara lainnya, Bank Indonesia cukup aktif berada
di pasar guna menjalankan amanat undang-undang tersebut.
Tugas
yang diemban oleh Bank Indonesia terkait nilai tukar tersebut kurang
memperoleh dukungan perusahaan di dalam negeri. Banyak perusahaan baik domestik
maupun asing yang sering membuat ”kejutan” di pasar valas melalui permintaan
valas dalam jumlah yang besar melalui transaksi spot . Untuk menghindari
risiko nilai tukar tersebut, beberapa transaksi di dalam negeri misalnya sewa
ruang usaha dilakukan dengan menggunakan denominasi mata uang asing.
Kejutan
ini dimeriahkan pula dengan berbagai sentimen terkait perkembangan politik
dalam negeri, di samping pengaruh global lain. Akibat itu, kita sering
mendengar keluhan berbagai perusahaan yang mengalami kerugian usaha akibat
kerugian kurs. Pertanyaannya, bisakah ini kita antisipasi bersama? Dalam
dunia usaha cash flow perusahaan pada dasarnya sudah dapat diprediksi sesuai
rencana kegiatan bisnis mereka. Karena itu, terjadi risiko nilai tukar yang
timbul dari bisnis mereka seharusnya dapat diatasi.
Transaksi
spot valas harus diminimalisasi karena transaksi spot akan memengaruhi
ketersediaan valas di pasar yang akan berakibat pada gejolak nilai tukar.
Memenuhi kewajiban dalam mata uang asing harus dapat direncanakan dan
dikontrol melalui tindakan lindung nilai (hedging)
transaksi derivatif valas. Pada level operasional, transaksi derivatif dapat
menggunakan konsep lindung nilai (hedging)
sebagai bentuk pengamanan dan dapat dilakukan dengan basis tujuan untuk
spekulasi.
Transaksi
derivatif valas dilakukan antaraperusahaandanperbankan, khususnya bank
devisa. Pada umumnya perusahaan melakukan transaksi derivatif valas sebagai
tindakan manajemen risiko perubahan nilai tukar, untuk mengurangi borrowing
cost , atau untuk memperoleh keuntungan melalui tindakan trading atau
spekulasi. Transaksi derivatif dibedakan dalam dua kelompok yaitu forward-type derivatives dan option-type derivatives (Pearl Tan dan Peter Lee, 2009 hal 437).
Di
dunia perbankan, transaksi derivatif valas sering dilakukan selain untuk
tindakan lindung nilai untuk memenuhi kebutuhan nasabahnya, dilakukan pula
untuk tindakan spekulasi dengan tujuan memperoleh laba. Beberapa kasus bahkan
laba dari transaksi derivatif tersebut menyumbangkan laba yang signifikan
bagi bank. Pada saat yang bersamaan posisi transaksi derivatif yang dicatat
di posisi off balance sheet memberikan ”stimulus” bagi bank dalam pembentukan
laba dengan tanpa memengaruhi total aset yang tercatat dalam bank.
Kondisi
ini makin terlihat bila dilihat pada rasio antara posisi off balance sheet transaksi derivatif baik posisi beli maupun
posisi jual. Walaupun sudah ada aturan pembatasan transaksi derivatif untuk
tindakan spekulasi, dalam kasus seperti ini diperlukan kejelian dari
otoritas. Apabila posisi jual transaksi derivatif dengan posisi beli
transaksi derivatif menunjukkan seimbang, dapat diindikasikan bahwa transaksi
derivatif yang dilakukan bertujuan untuk tindakan lindung nilai.
Namun,
apabila menunjukkan ketidakseimbangan, dapat diindikasikan ada kecenderungan
untuk tindakan spekulatif. Indikasi ini dapat pula dilihat dari laba
potensial transaksi derivatif yang dilaporkan di laporan keuangan bank
sebagai akibat dari kewajiban penyampaian nilai wajar aset yang dimiliki.
Sesuai PSAK 50 dan PSAK 55, bank di Indonesia wajib melakukan tindakan fair
value atas aset valas yang dimiliki, termasuk dalam hal ini posisi hak dan
kewajiban valas yang dicatat pada off
balance sheet berupa transaksi derivatif.
Di
beberapa negara, kontrak derivatif valas dipakai oleh bank sentral sebagai
peranti kebijakan moneter dalam pengendalian nilai tukar (Kohlscheen Emanuel dan Andrade C Sandro,
2013). Transaksi derivatif valas tidak memengaruhi jumlah valas di pasar
sehingga tidak menimbulkan gejolak harga spot-nya. Otoritas melakukan
intervensi di pasar derivatif valas dengan tanpa memengaruhi jumlah uang
beredar dan tanpa mengganggu cadangan devisa (Blejer and Schumacher, 2000).
Dengan
memperhatikan hal diatas, tampaknya bisnis di dalam negeri selalu menggunakan
rupiah bukan sesuatu yang merugikan. Semua risiko nilai tukar dapat
diantisipasi melalui tindakan hedging
valas. Maraknya tindakan hedging
perusahaan akan mengembangkan pasar derivatif dalam negeri dan tentu harus diikuti
kedisiplinan dari perbankan untuk tidak melakukan tindakan spekulatif di
pasar derivatif.
Makin
tinggi pasar derivatif, akan membantu bank sentral dalam mengemban tugas
pengendalian nilai tukar rupiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar