Petani
di Negeri Pancasila
Junius Fernando S Saragih ;
Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP
Unpad,
Mantan Ketua GMNI cabang Kabupaten
Sumedang
|
KORAN
TEMPO, 25 September 2014
Hari ini, 54
tahun yang lalu lebih sehari, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ditetapkan,
dan tanggal itu dikukuhkan sebagai Hari Tani Nasional. Namun entah mengapa
sudah berkali-kali kita memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September
1960, UUPA justru semakin dipetieskan. Ada kemiskinan yang semakin
menggerogoti para petani.
Mari
perhatikan pada 2012, saat kita dikejutkan oleh data yang melansir bahwa dari
28,6 juta jiwa penduduk miskin, 63,25 persen merupakan penduduk perdesaan
yang sebagian besar bekerja sebagai petani atau buruh tani. Barangkali
kemiskinan inilah yang membuat jumlah keluarga petani kita kian menurun dari
waktu ke waktu. Ini terlihat dalam laporan Badan Pusat Statistik yang
melansir bahwa telah terjadi penurunan jumlah keluarga petani dari 31,17 juta
pada 2003 menjadi 26,13 juta keluarga pada 2013. Walhasil, produksi pangan
kita justru menurun, yang akhirnya dijawab dengan tingkat impor pangan yang
kian memuncak.
UUPA atau
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 sebenarnya merupakan peraturan turunan dari
Pancasila dan UUD 1945 yang lama proses pembahasannya sangat berbeda dengan
peraturan perundang-undangan dewasa ini. Diperlukan waktu 12 tahun untuk bisa
menghasilkan UUPA, yang saat itu juga dibarengi dengan pembuatan UU Nomor 2
Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Tujuannya semata-mata untuk
kemakmuran rakyat, sebagaimana yang tertuang pada sila kelima dan Pasal 33
UUD 1945.
Bila hari ini
UUPA kian dipetieskan, tidak berlebihan bila mencuat kecurigaan bahwa kita
telah menyeleweng dari cita-cita negara yang kita setujui dalam Pancasila.
Betapa tidak, di negara agraris seperti Indonesia pulalah kita temui banyak
petani miskin yang tanpa disadari merupakan penggerak perekonomian negara.
Tidak dapat dipungkiri, kendati industri terus diperkuat, pada kenyataannya
kita masih bergantung pada ekspor bahan mentah, termasuk dalam bidang
pertanian. Bahkan, kini sektor pangan menjadi masalah serius yang sangat
rentan mengganggu perekonomian kita.
Sebagai negara
yang berketuhanan, tidak patut bila kita membiarkan kemiskinan terus
menggelayuti para petani. Apalagi, petani adalah aktor-aktor penggerak
ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung berkaitan sangat erat
dengan kehidupan banyak orang. Di sisi lain, sektor pertanian telah mengurangi
jumlah penganggur. Bila terus dibiarkan seperti ini, alih profesi akan
terjadi secara besar-besaran. Walhasil, beban pemerintah untuk menyediakan
lapangan pekerjaan akan semakin besar.
Kurangnya
perhatian pemerintah terhadap petani juga dapat diartikan sebagai
pengkhianatan terhadap sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemiskinan
petani yang semakin menjadi-jadi tentu tidak lepas dari sistem yang tidak
mendukung. Coba lihat, maraknya alih fungsi lahan produktif tak syak
menggeser para petani dari pekerjaannya memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Sarana dan prasarana di desa tidak memadai akibat ketimpangan pembangunan
yang lebih mementingkan kota dan melupakan pedesaan. Sistem koperasi desa,
yang seharusnya menjadi sumber penyertaan modal bagi para petani, gagal
total. Di sisi lain, akses terhadap teknologi hampir tertutup bagi pedesaan.
Belum lagi, penyuluhan pemerintah di lapangan kerap mendewakan formalitas
yang tidak mampu mencerdaskan para petani. Terakhir, tidak ada sistem
distribusi lahan yang adil, sehingga para petani gurem semakin miskin dan
tertindas.
Lantas,
bagaimana mungkin kita dengan mudahnya berharap persatuan itu terjadi begitu
saja? Padahal, di lapangan, tidak jarang para petani berkonflik dengan para
pengusaha. Bahkan, ada kalanya aparat keamanan ikut tersangkut dalam pusaran
konflik. Menurut data yang dirilis Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada
2013, terdapat peningkatan kuantitas konflik agraria sebesar 86,36 persen
dibanding pada tahun sebelumnya, yang hanya mencatat 198 kasus. Sepanjang
tahun lalu pula konflik ini menewaskan 21 orang, sedangkan 30 orang tertembak
dan 130 lainnya dianiaya.
Keadilan pun
tercerabut. Pemilik modal menguasai ribuan hektare tanah, sementara petani
penggarap direnggut tanahnya tanpa rasa kemanusiaan. Betapa kelirunya
pemerintah tatkala keadilan hanya ditujukan bagi siapa saja yang mampu
memberikan manfaat besar bagi negara-bila tidak dapat disebut bagi sekelompok
elite penguasa.
Setelah semua
ini terjadi, pertanyaannya adalah ke manakah pihak eksekutif, legislatif, dan
yudikatif? Sebagai pengeksekusi undang-undang, mereka seharusnya mampu
menelusuri secara mendalam apa maksud dari sebuah undang-undang, termasuk UU
No.50/1960. Eksekutiflah yang membuat program-program untuk petani yang
sesungguhnya didasari Pancasila, UUD 1945, dan peraturan turunanannya.
Sementara itu, legislatif tidak pantas bila membuat aturan-aturan baru yang
menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Jangan sampai kita masih kerap
mendengar MK menganulir undang-undang karena dianggap bertentangan dengan UUD
1945.
Semoga saja
Hari Tani Nasional kali ini menjadi ajang refleksi, khususnya untuk
pemerintah baru yang akan menentukan arah pertanian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar