Jumat, 19 September 2014

Penguatan Wilayah Perbatasan

Penguatan Wilayah Perbatasan

Tjoek Suroso Hadi  ;   Urban designer, Dosen Jurusan Planologi Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 19 September 2014


                                                                                                                       
                                                      

ARTIKEL Tjahjo Kumolo bertajuk ’’Menangkap Kegelisahan Publik’’ (SM, 29/8/14) menekankan arti penting 9 butir Nawa Cita pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Program itu mencakup komitmen untuk Indonesia sehat dan cerdas, lebih diutamakan bagi penduduk pedalaman, pembenahan infrastruktur vital di daerah-daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dan revolusi mental. Tiga program itu mengandung konsekuensi konkret terutama bagi masyarakat pedalaman sebagai penghuni wilayah tertinggal.

Salah satu pengidentifikasiannya adalah rakyat negara kita yang mendiami wilayah perbatasan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 17.502 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.900 km. Negara kita memiliki wilayah perbatasan dengan beberapa negara, baik batas darat maupun laut.

Batas darat wilayah RI berimpit dengan batas negara-negara, seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Adapun batas laut Indonesia berbatasan dengan batas Malaysia, Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau (200 km di utara Papua Barat), Timor Leste, dan Papua Nugini.

Persoalan paling krusial adalah menyangkut perbatasan antara Indonesia dan negara yang ’’lebih maju’’. Dalam kondisi itu, negara tetangga yang lebih maju lebih dimungkinkan melakukan penetrasi yang berisiko memengaruhi ideologi dan budaya bangsa.

Tidak mengherankan bila ada rumor perekrutan sejumlah warga kita di Kalimantan oleh Malaysia untuk dijadikan Askar Wathaniyah guna menjaga wilayah perbatasan negara mereka (SM, 15/2/08).

Pemerintah kita membantah sinyalemen itu. Namun ada baiknya pemerintah introspeksi mengingat wilayah perbatasan mengundang beberapa kerawanan. Masih segar dalam ingatan publik ketika Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai wilayah mereka.

Perbatasan wilayah darat dua negara itu terbentang sepanjang 2.001 km, terbagi atas batas wilayah darat antara Kalbar dan Sarawak 966 km serta antara Kaltim dan Sabah 1.035 km. Dalam kesehariannya, warga Ambalat selalu bertransaksi dan termudah dilakukan dengan pedagang di Malaysia.

Apalagi harga jual barang bisa lebih mahal di negeri jiran. Yang lebih merisaukan, dalam transaksi itu, masyarakat kita menggunakan ringgit, bukannya rupiah. Masyarakat kita di Ambalat justru lebih mengenal mata uang Malaysia sebagai alat pembayaran sah. Kedekatan emosional di antara keduanya juga terjaga dengan baik.

Realitas itu mendasarkan kepentingan bersama dan simbiosis mutualisme, terutama berkait perdagangan. Mereka tidak terlalu memedulikan perbedaan kewarganegaraan, dan hal itu pun bukan kendala untuk berinteraksi secara intens.

Penetrasi Budaya

Sebagian dari mereka acap tak peduli bahwa berkait dengan etika pergaulan dua negara, tiap transaksi atau perdagangan harus melalui proses kepabeanan dan peraturan baku. Khusus warga negara kita, yang mereka hadapi secara riil adalah persoalan kesejahteraan dalam upaya menjalani kehidupan sehari-hari.

Persoalan itu makin lama bisa menjadi pemicu terpecahnya soliditas dan tererosinya nasionalisme kita. Tak bisa dimungkiri warga kita lambat laun mengalami akulturasi budaya yang begitu intens lewat periode yang panjang. Contoh pemakaian ringgit dalam transaksi yang makin lama bisa menjauhkan pemahaman mereka, terutama generasi muda, terhadap rupiah.

Dalam berkomunikasi pun mereka lebih sering, bahkan fasih berbahasa Melayu, atau tetap berbahasa Indonesia namun beraksen Malaysia. Belum lagi penetrasi budaya Malaysia lewat media elektronik seperti radio dan televisi. Bisa saja warga kita di sana lebih akrab dan mudah menyetel radio/televisi Malaysia.

De jure WNI tapi de facto ’’warga negara’’ Malaysia karena lebih akrab dan paham budaya serta paham kebangsaan negeri jiran.

Pemerintah semestinya cepat tanggap dengan berlandaskan butir-butir Nawa Cita. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan bisa menjadi prioritas, mendasarkan butir ke-3 Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Bila memungkinan, wiayah itu dijadikan kawasan khusus, sebagaimana amanat Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, ’’untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.’’

Upaya itu bisa dibarengi dengan mendatangkan para pakar, termasuk sarjana baru, guna membantu percepatan pembangunan. Selain itu, membenahi infra dan suprastruktur supaya minimal menyamai kondisi di wilayah negara tetangga.

Dalam konteks itu pula, kita patut mengapresiasi program Sarjana Mendidik Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Para guru membaktikan diri mengajar di ’’daerah terasing’’ yang lebih banyak dukanya. Mereka pahlawan pendidikan yang berjuang dalam keterbatasan fasilitas.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar