Penguatan
Wilayah Perbatasan
|
ARTIKEL Tjahjo Kumolo bertajuk ’’Menangkap Kegelisahan Publik’’ (SM,
29/8/14) menekankan arti penting 9 butir Nawa Cita pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla.
Program itu mencakup komitmen untuk
Indonesia sehat dan cerdas, lebih diutamakan bagi penduduk pedalaman,
pembenahan infrastruktur vital di daerah-daerah yang bersentuhan langsung
dengan masyarakat, dan revolusi mental. Tiga program itu mengandung
konsekuensi konkret terutama bagi masyarakat pedalaman sebagai penghuni
wilayah tertinggal.
Salah satu pengidentifikasiannya adalah
rakyat negara kita yang mendiami wilayah perbatasan. Sebagai negara
kepulauan, Indonesia memiliki 17.502 pulau besar dan kecil dengan panjang
garis pantai 81.900 km. Negara kita memiliki wilayah perbatasan dengan beberapa
negara, baik batas darat maupun laut.
Batas darat wilayah RI berimpit dengan
batas negara-negara, seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Adapun
batas laut Indonesia berbatasan dengan batas Malaysia, Singapura, India,
Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau (200 km di utara Papua Barat),
Timor Leste, dan Papua Nugini.
Persoalan paling krusial adalah menyangkut
perbatasan antara Indonesia dan negara yang ’’lebih maju’’. Dalam kondisi
itu, negara tetangga yang lebih maju lebih dimungkinkan melakukan penetrasi
yang berisiko memengaruhi ideologi dan budaya bangsa.
Tidak mengherankan bila ada rumor
perekrutan sejumlah warga kita di Kalimantan oleh Malaysia untuk dijadikan
Askar Wathaniyah guna menjaga wilayah perbatasan negara mereka (SM, 15/2/08).
Pemerintah kita membantah sinyalemen itu.
Namun ada baiknya pemerintah introspeksi mengingat wilayah perbatasan
mengundang beberapa kerawanan. Masih segar dalam ingatan publik ketika
Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai wilayah mereka.
Perbatasan wilayah darat dua negara itu
terbentang sepanjang 2.001 km, terbagi atas batas wilayah darat antara Kalbar
dan Sarawak 966 km serta antara Kaltim dan Sabah 1.035 km. Dalam
kesehariannya, warga Ambalat selalu bertransaksi dan termudah dilakukan
dengan pedagang di Malaysia.
Apalagi harga jual barang bisa lebih mahal
di negeri jiran. Yang lebih merisaukan, dalam transaksi itu, masyarakat kita
menggunakan ringgit, bukannya rupiah. Masyarakat kita di Ambalat justru lebih
mengenal mata uang Malaysia sebagai alat pembayaran sah. Kedekatan emosional
di antara keduanya juga terjaga dengan baik.
Realitas itu mendasarkan kepentingan
bersama dan simbiosis mutualisme, terutama berkait perdagangan. Mereka tidak
terlalu memedulikan perbedaan kewarganegaraan, dan hal itu pun bukan kendala
untuk berinteraksi secara intens.
Penetrasi
Budaya
Sebagian dari mereka acap tak peduli bahwa
berkait dengan etika pergaulan dua negara, tiap transaksi atau perdagangan
harus melalui proses kepabeanan dan peraturan baku. Khusus warga negara kita,
yang mereka hadapi secara riil adalah persoalan kesejahteraan dalam upaya
menjalani kehidupan sehari-hari.
Persoalan itu makin lama bisa menjadi
pemicu terpecahnya soliditas dan tererosinya nasionalisme kita. Tak bisa
dimungkiri warga kita lambat laun mengalami akulturasi budaya yang begitu
intens lewat periode yang panjang. Contoh pemakaian ringgit dalam transaksi
yang makin lama bisa menjauhkan pemahaman mereka, terutama generasi muda,
terhadap rupiah.
Dalam berkomunikasi pun mereka lebih sering,
bahkan fasih berbahasa Melayu, atau tetap berbahasa Indonesia namun beraksen
Malaysia. Belum lagi penetrasi budaya Malaysia lewat media elektronik seperti
radio dan televisi. Bisa saja warga kita di sana lebih akrab dan mudah
menyetel radio/televisi Malaysia.
De
jure WNI tapi de
facto ’’warga negara’’ Malaysia karena lebih akrab dan paham budaya serta
paham kebangsaan negeri jiran.
Pemerintah semestinya cepat tanggap dengan
berlandaskan butir-butir Nawa Cita. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan
bisa menjadi prioritas, mendasarkan butir ke-3 Nawa Cita, yakni membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan. Bila memungkinan, wiayah itu dijadikan kawasan khusus,
sebagaimana amanat Pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, ’’untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional,
pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.’’
Upaya itu bisa dibarengi dengan
mendatangkan para pakar, termasuk sarjana baru, guna membantu percepatan
pembangunan. Selain itu, membenahi infra dan suprastruktur supaya minimal
menyamai kondisi di wilayah negara tetangga.
Dalam konteks itu pula, kita patut
mengapresiasi program Sarjana Mendidik
Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Para guru membaktikan
diri mengajar di ’’daerah terasing’’ yang lebih banyak dukanya. Mereka
pahlawan pendidikan yang berjuang dalam keterbatasan fasilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar