Tiga
Negara dalam Ingatan
Taufik Ikram Jamil ;
Sastrawan
|
KOMPAS,
17 September 2014
Tak
diketahui pasti mengapa hari kemerdekaan atau kebangsaan tiga negara
bertetangga, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura, sama-sama pada bulan
Agustus. Tak juga dapat dipastikan, apakah dengan demikian ketiga negara akan
senantiasa dipancing ingatannya untuk mengenang bahwa mereka nyaris
dipersatukan dalam sebuah negara yang kalau tak bernama Indonesia Raya adalah
Melayu Raya. Sebuah kenangan yang bernilai ganda, menjadi ancaman atau
sebaliknya, sehingga terkesan senantiasa spesifik.
Ditutup
Malaysia pada tanggal 31 Agustus, peringatan hari amat penting dalam
kehidupan bernegara tersebut, diawali Singapura, 9 Agustus, kemudian
Indonesia delapan hari kemudian, 17 Agustus. Indonesia lebih dulu merdeka, yakni
tahun 1945, sedangkan Malaysia tahun 1957. Singapura dilepas Malaysia tahun
1965 akibat pertentangan ras yang terus-menerus.
Hasrat
berada dalam satu negara telah muncul tahun 1920-an, terutama dari pihak yang
sekarang disebut Malaysia. Hal ini makin ditegaskan dalam pertemuan Soekarno
dengan tokoh-tokoh muda Malaysia—meliputi Malaysia dan Singapura
sekarang—yang dipimpin Ibrahim Jaacob, 14 Agustus 1945. Wacana ini juga
sempat menarik hati tokoh- tokoh Brunei dan Pattani (selatan Thailand).
Oleh
karena berbagai masalah, seperti akan berhadapan dengan kekuatan asing besar,
yakni Inggris serta sekutunya dan Jepang, Soekarno hanya memproklamasikan
Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari hal ini, gagasan tersebut merupakan
suatu realitas peradaban.
Sejak
lama, terutama jika ditarik dari masa Sriwijaya, Majapahit, dan Melaka,
kawasan yang terpecah dalam sejumlah negara modern setelah penjajahan asing
itu, merupakan suatu kesatuan budaya, acapkali disebut Nusantara dan ras
Melayu, bukan sekadar etnis.
Kesan spesifik
Rangkaian
kenangan berupa ringkasan sejarah di atas ternyata bernilai ganda. Berbagai
kesamaan yang terdapat pada masing-masing negara adalah realitas, tetapi
maknanya dapat berbeda-beda dari masing-masing negara.
Hal
ini tidak akan terjadi pada semua negara yang bertetangga, misalnya antara
Indonesia dan Australia, sehingga berbagai permasalahan yang timbul antara
Indonesia, Malaysia, dan Singapura selalu terkesan spesifik.
Contohnya
adalah pengakuan Malaysia terhadap berbagai produk budaya, seperti reog,
rendang, batik, dan gendang sembilan. Tak dinafikan produk-produk budaya
tersebut telah bersebati dengan Malaysia sejak lama, bahkan sebelum sebutan
Malaysia dan Indonesia dikenal secara umum, sejalan dengan sejarah peradaban
yang juga diwarnai migrasi penduduk. Indonesia menolak pengakuan Malaysia
tanpa dapat meniadakan kenyataan tentang keberadaan produk budaya tersebut di
negara jiran itu.
Demikian
pula ketika memasuki tahun 2014, Indonesia bergembira karena memperoleh
tambahan satu kapal perang. Akan tetapi, kelengkapan tersebut diprotes
Singapura karena berkaitan dengan namanya, yakni Usman Harun. Bagi Indonesia,
kedua nama itu amat berjasa, tetapi Singapura justru menghukum gantung mereka
dengan tuduhan peledakan bom pada bulan Maret 1965.
Begitu
pula hal-hal yang berkaitan dengan tapal batas semacam kasus Tanjungdatu,
Sipadan, dan Ligitan, yang melibatkan Indonesia-Malaysia. Catatan sejarah,
amat penting dalam menentukan kepemilikan kawasan yang ternyata tidak semua
berpihak pada satu negara.
Akan
tetapi, sejarah pun hanya dinilai dari sejauh mana bukti-bukti dapat
memperlihatkan keberadaannya. Padahal, sejarah bukan hanya terbatas pada kuasa
tulis, melainkan juga lisan, yang sayangnya bisa teranulir oleh keberadaan
material sejarah semacam tulisan.
Akan
lengkaplah potensi masalah ketiga negara, dengan tidak menolak kemungkinan
masalah dengan negara lain yang bisa juga terjadi pada tiga negara tersebut.
Indonesia dengan Korea Selatan tak akan menghadapi masalah perbatasan, tetapi
mungkin saja berkaitan dengan tenaga kerja. Ihwal terakhir ini juga amat
memungkinkan terjadi antara Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Pada Juni
lalu, misalnya, Kunaenah asal Indonesia dianiaya majikannya di Singapura
sampai patah kaki dan mengalami depresi berat.
Masa depan
Tak
berlebihan kalau berbagai contoh masalah Indonesia, Malaysia, dan Singapura
itu memperlihatkan makin renggangnya hubungan antarnegara, sekaligus seperti
makin melupakan kenangan indah bersama selama berabad-abad. Ini akan berjalan
paralel seiringan dengan berbagai potensi masalah di antara ketiganya,
sehingga berpotensi semakin renggangnya hubungan tiga negara di samping
terlupakan kebersamaan yang sempat wujud.
Dengan
Singapura saja, misalnya, potensi masalah tidak kecil. Selain kasus penamaan
kapal perang Usman Harun, juga berkaitan dengan masalah perbatasan. Ini
seiringan dengan penimbunan laut yang dilakukan oleh negara pulau itu untuk memperlebar
negaranya sampai 100 kilometer persegi, yang pasti berpengaruh pada zona
ekonomi eksklusif (ZEE).
Selain
itu, perasaan sebagai bangsa asing sesama generasi baru pada setiap negara
terhadap negara lainnya, kini makin subur.
Dalam
soal bahasa saja, misalnya, tidak lagi begitu mudah bagi mereka memahami
bahasa dominan di negara tetangganya, menyusul arah perkembangan bahasa
Melayu sebagai sumber bahasa nasional pada masing-masing negara yang berbeda.
Bahasa Melayu Indonesia, misalnya, mengambil serapan dari bahasa Inggris,
sedangkan bahasa Melayu Malaysia cenderung ke bahasa Arab.
Memang,
diperlukan kajian khusus dalam mempertimbangkan hal-hal di atas untuk menjaga
keharmonisan antarnegara terkait. Tulisan ini sekadar mengingatkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar