Jumat, 19 September 2014

Tiga Negara dalam Ingatan

Tiga Negara dalam Ingatan

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
KOMPAS, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Tak diketahui pasti mengapa hari kemerdekaan atau kebangsaan tiga negara bertetangga, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura, sama-sama pada bulan Agustus. Tak juga dapat dipastikan, apakah dengan demikian ketiga negara akan senantiasa dipancing ingatannya untuk mengenang bahwa mereka nyaris dipersatukan dalam sebuah negara yang kalau tak bernama Indonesia Raya adalah Melayu Raya. Sebuah kenangan yang bernilai ganda, menjadi ancaman atau sebaliknya, sehingga terkesan senantiasa spesifik.

Ditutup Malaysia pada tanggal 31 Agustus, peringatan hari amat penting dalam kehidupan bernegara tersebut, diawali Singapura, 9 Agustus, kemudian Indonesia delapan hari kemudian, 17 Agustus. Indonesia lebih dulu merdeka, yakni tahun 1945, sedangkan Malaysia tahun 1957. Singapura dilepas Malaysia tahun 1965 akibat pertentangan ras yang terus-menerus.

Hasrat berada dalam satu negara telah muncul tahun 1920-an, terutama dari pihak yang sekarang disebut Malaysia. Hal ini makin ditegaskan dalam pertemuan Soekarno dengan tokoh-tokoh muda Malaysia—meliputi Malaysia dan Singapura sekarang—yang dipimpin Ibrahim Jaacob, 14 Agustus 1945. Wacana ini juga sempat menarik hati tokoh- tokoh Brunei dan Pattani (selatan Thailand).

Oleh karena berbagai masalah, seperti akan berhadapan dengan kekuatan asing besar, yakni Inggris serta sekutunya dan Jepang, Soekarno hanya memproklamasikan Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari hal ini, gagasan tersebut merupakan suatu realitas peradaban.

Sejak lama, terutama jika ditarik dari masa Sriwijaya, Majapahit, dan Melaka, kawasan yang terpecah dalam sejumlah negara modern setelah penjajahan asing itu, merupakan suatu kesatuan budaya, acapkali disebut Nusantara dan ras Melayu, bukan sekadar etnis.

Kesan spesifik

Rangkaian kenangan berupa ringkasan sejarah di atas ternyata bernilai ganda. Berbagai kesamaan yang terdapat pada masing-masing negara adalah realitas, tetapi maknanya dapat berbeda-beda dari masing-masing negara.

Hal ini tidak akan terjadi pada semua negara yang bertetangga, misalnya antara Indonesia dan Australia, sehingga berbagai permasalahan yang timbul antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura selalu terkesan spesifik.

Contohnya adalah pengakuan Malaysia terhadap berbagai produk budaya, seperti reog, rendang, batik, dan gendang sembilan. Tak dinafikan produk-produk budaya tersebut telah bersebati dengan Malaysia sejak lama, bahkan sebelum sebutan Malaysia dan Indonesia dikenal secara umum, sejalan dengan sejarah peradaban yang juga diwarnai migrasi penduduk. Indonesia menolak pengakuan Malaysia tanpa dapat meniadakan kenyataan tentang keberadaan produk budaya tersebut di negara jiran itu.

Demikian pula ketika memasuki tahun 2014, Indonesia bergembira karena memperoleh tambahan satu kapal perang. Akan tetapi, kelengkapan tersebut diprotes Singapura karena berkaitan dengan namanya, yakni Usman Harun. Bagi Indonesia, kedua nama itu amat berjasa, tetapi Singapura justru menghukum gantung mereka dengan tuduhan peledakan bom pada bulan Maret 1965.

Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan tapal batas semacam kasus Tanjungdatu, Sipadan, dan Ligitan, yang melibatkan Indonesia-Malaysia. Catatan sejarah, amat penting dalam menentukan kepemilikan kawasan yang ternyata tidak semua berpihak pada satu negara.

Akan tetapi, sejarah pun hanya dinilai dari sejauh mana bukti-bukti dapat memperlihatkan keberadaannya. Padahal, sejarah bukan hanya terbatas pada kuasa tulis, melainkan juga lisan, yang sayangnya bisa teranulir oleh keberadaan material sejarah semacam tulisan.

Akan lengkaplah potensi masalah ketiga negara, dengan tidak menolak kemungkinan masalah dengan negara lain yang bisa juga terjadi pada tiga negara tersebut. Indonesia dengan Korea Selatan tak akan menghadapi masalah perbatasan, tetapi mungkin saja berkaitan dengan tenaga kerja. Ihwal terakhir ini juga amat memungkinkan terjadi antara Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Pada Juni lalu, misalnya, Kunaenah asal Indonesia dianiaya majikannya di Singapura sampai patah kaki dan mengalami depresi berat.

Masa depan

Tak berlebihan kalau berbagai contoh masalah Indonesia, Malaysia, dan Singapura itu memperlihatkan makin renggangnya hubungan antarnegara, sekaligus seperti makin melupakan kenangan indah bersama selama berabad-abad. Ini akan berjalan paralel seiringan dengan berbagai potensi masalah di antara ketiganya, sehingga berpotensi semakin renggangnya hubungan tiga negara di samping terlupakan kebersamaan yang sempat wujud.

Dengan Singapura saja, misalnya, potensi masalah tidak kecil. Selain kasus penamaan kapal perang Usman Harun, juga berkaitan dengan masalah perbatasan. Ini seiringan dengan penimbunan laut yang dilakukan oleh negara pulau itu untuk memperlebar negaranya sampai 100 kilometer persegi, yang pasti berpengaruh pada zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Selain itu, perasaan sebagai bangsa asing sesama generasi baru pada setiap negara terhadap negara lainnya, kini makin subur.

Dalam soal bahasa saja, misalnya, tidak lagi begitu mudah bagi mereka memahami bahasa dominan di negara tetangganya, menyusul arah perkembangan bahasa Melayu sebagai sumber bahasa nasional pada masing-masing negara yang berbeda. Bahasa Melayu Indonesia, misalnya, mengambil serapan dari bahasa Inggris, sedangkan bahasa Melayu Malaysia cenderung ke bahasa Arab.

Memang, diperlukan kajian khusus dalam mempertimbangkan hal-hal di atas untuk menjaga keharmonisan antarnegara terkait. Tulisan ini sekadar mengingatkannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar