Pemilihan
Kepala (di) Daerah?
Arya Budi ;
Peneliti
Poltracking Institute
|
KOMPAS,
19 September 2014
SEJUMLAH
partai dalam Koalisi Merah Putih tengah berkonspirasi mengubah pemilihan
kepala daerah langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung oleh DPRD.
Sasarannya adalah Pasal 18 Ayat (4) dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada,
jantung demokrasi lokal ke depan.
Berdasarkan
perolehan suara sah nasional Pemilu 2014 dan perolehan kursi partai
berdasarkan konversi suara di masing-masing daerah pemilihan, kajian Poltracking Institute menunjukkan
bahwa Golkar adalah partai dengan nilai interval persebaran paling tinggi
(+1,50), yang hanya absen kursi di dua provinsi, yaitu Kepulauan Riau dan
Bengkulu. Sementara partai pemenang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), absen kursi di tiga provinsi, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, dan
Sulawesi Tenggara. Dua partai koalisi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla
mempunyai nilai interval persebaran minus, yaitu PKB dengan -0,65 persen dan
Hanura dengan -2,40 persen. Nilai persebaran minus terjadi karena perolehan
suara tak merata, hanya di beberapa daerah.
Akibatnya,
PKB dengan 9,04 persen suara dan 47 kursi, perolehan kursinya kalah banyak
dengan PAN (49 kursi) walaupun hanya 7,59 persen perolehan suara. Lebih
lanjut, beberapa partai Koalisi Merah Putih mempunyai nilai interval
persebaran positif di atas 1, yaitu Gerindra (+1,23), Golkar (1,50), dan PAN
(1,16). Singkat cerita, partai dengan tingkat persebaran yang tinggi akan
lebih diuntungkan dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, karena
ketercukupan stock politisi yang dimilikinya.
Terlepas
dari peta politik yang mendasari sikap politik partai di parlemen saat ini,
pemilihan kepala daerah melalui DPRD harus dikaji dengan banyak aspek dan
pengalaman. Kepala daerah dalam konsep desentralisasi mempunyai otonomi luas
untuk menjalankan pemerintahan. Sementara itu, kepala daerah dalam konsep
dekonsentrasi adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Singkatnya,
berdasarkan nalar ini, maka desentralisasi menuntut pertanggungjawaban kepala
daerah kepada publik. Prinsip ini melekat pada pemimpin daerah yang inisiatif
dan konsekuensi kebijakannya berasal dan sekaligus berdampak pada masyarakat.
Demokrasi
lokal tidak bisa hanya diletakkan melalui justifikasi konstitusional: apakah
pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau pemilu langsung oleh publik sesuai
dengan UUD 1945 atau tidak? Pun demikian, tafsir atas frase ”pemilihan kepala
daerah dilakukan secara demokratis” pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tidak
bisa juga menjadi justifikasi regulatif bahwa hal ini linier dengan semangat
sila IV Pancasila: ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Harus disadari bersama bahwa pemilu adalah
sebuah democratic learning process.
Demokrasi abal-abal
Pemilihan
kepala daerah melalui DPRD hanya memindahkan nalar pemerintahan parlementer
di level nasional pada era 1999- 2004—presiden dipilih oleh MPR—ke level
lokal. Ketika semangat pembenahan sistem presidensialisme tengah berlangsung
di pusat dengan kursi eksekutif dan legislatif sama- sama berdasarkan
pemilihan langsung, upaya parlementerisme di level daerah hanya berakhir
dengan pseudo-demokrasi, alias demokrasi abal-abal.
Pertama,
kepala daerah hanya akan ”merasa” bertanggung jawab kepada DPRD akibat
legitimasi politiknya diperoleh melalui parlemen lokal. Efeknya fatal:
program kebijakan daerah diukur berdasarkan tingkat kepuasan para anggota
dewan. Kedua, jika bukan kepala daerah yang ”tunduk”, maka parlemen yang akan
”tunduk” kepada kepala daerah. Sudah banyak kajian menjelaskan bahwa kepala
daerah adalah ”raja” di level lokal.
Michel
Buhler (2012), misalnya, menjelaskan penguasaan klan Limpo di Kabupaten Gowa.
Kajian bossisme oleh John Sidel juga mengonfirmasi hal ini. Apalagi fenomena
Ratu Atut Chosiyah di mana Banten di bawah bayangan H Tb Chasan Sochib yang
beberapa tahun sebelumnya sudah menjadi kajian local strongmen oleh banyak
ilmuan (Syamsudin Harris 2007, Michel Buhler,
Okamoto Masaaki 2004).
Ketiga,
arsitektur politik di parlemen daerah masih sangat rapuh sehingga relasi
anggota dewan bersifat nepotisme, kolutif, dan koruptif. Sepanjang 2004-2012,
sedikitnya terdapat 2.169 anggota DPRD tersangkut masalah hukum. Di DPRD
provinsi, 431 orang dan DPRD kabupaten/kota 1,738 orang (Komite Pemantau
Legislatif Indonesia).
Mengutip
Vedi Hadiz, dalam Decentralization and
Democracy in Indonesia (2004), di level lokal lembaga negara bisa saja
dibajak oleh beragam kepentingan. Pemilihan dari oleh publik menjadi oleh
politisi parlemen hanya memindahkan vote-buying
ke level elite, tetapi dengan volume transaksi berlipat ganda jauh lebih
besar. Nankyung Choi (2004), misalnya, dalam Local Elections and Party Politics in Post-Reformasi Indonesia
menyimpulkan bahwa vote-selling
oleh para anggota Dewan dalam pemilihan kepala daerah pada tahun 2001 menjadi
pola aktual bekerjanya politik parlemen multipartai yang ”terevitalisasi” di
Indonesia.
Sebaliknya,
pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan figur-figur yang
berprestasi. Sebutlah Herry Zudianto di Yogyakarta, Tri Rismaharini di
Surabaya, Jokowi di Solo, atau Ridwan Kamil di Bandung. Pemilihan kepala
daerah melalui parlemen lokal hanya akan menciptakan re-sentralisasi pemerintahan
di level lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar