Senin, 22 September 2014

Pemilihan Kepala (di) Daerah?

Pemilihan Kepala (di) Daerah?

Arya Budi  ;   Peneliti Poltracking Institute
KOMPAS, 19 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEJUMLAH partai dalam Koalisi Merah Putih tengah berkonspirasi mengubah pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat menjadi tidak langsung oleh DPRD. Sasarannya adalah Pasal 18 Ayat (4) dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada, jantung demokrasi lokal ke depan.

Berdasarkan perolehan suara sah nasional Pemilu 2014 dan perolehan kursi partai berdasarkan konversi suara di masing-masing daerah pemilihan, kajian Poltracking Institute menunjukkan bahwa Golkar adalah partai dengan nilai interval persebaran paling tinggi (+1,50), yang hanya absen kursi di dua provinsi, yaitu Kepulauan Riau dan Bengkulu. Sementara partai pemenang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), absen kursi di tiga provinsi, yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara. Dua partai koalisi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla mempunyai nilai interval persebaran minus, yaitu PKB dengan -0,65 persen dan Hanura dengan -2,40 persen. Nilai persebaran minus terjadi karena perolehan suara tak merata, hanya di beberapa daerah.

Akibatnya, PKB dengan 9,04 persen suara dan 47 kursi, perolehan kursinya kalah banyak dengan PAN (49 kursi) walaupun hanya 7,59 persen perolehan suara. Lebih lanjut, beberapa partai Koalisi Merah Putih mempunyai nilai interval persebaran positif di atas 1, yaitu Gerindra (+1,23), Golkar (1,50), dan PAN (1,16). Singkat cerita, partai dengan tingkat persebaran yang tinggi akan lebih diuntungkan dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, karena ketercukupan stock politisi yang dimilikinya.

Terlepas dari peta politik yang mendasari sikap politik partai di parlemen saat ini, pemilihan kepala daerah melalui DPRD harus dikaji dengan banyak aspek dan pengalaman. Kepala daerah dalam konsep desentralisasi mempunyai otonomi luas untuk menjalankan pemerintahan. Sementara itu, kepala daerah dalam konsep dekonsentrasi adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Singkatnya, berdasarkan nalar ini, maka desentralisasi menuntut pertanggungjawaban kepala daerah kepada publik. Prinsip ini melekat pada pemimpin daerah yang inisiatif dan konsekuensi kebijakannya berasal dan sekaligus berdampak pada masyarakat.

Demokrasi lokal tidak bisa hanya diletakkan melalui justifikasi konstitusional: apakah pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau pemilu langsung oleh publik sesuai dengan UUD 1945 atau tidak? Pun demikian, tafsir atas frase ”pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis” pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tidak bisa juga menjadi justifikasi regulatif bahwa hal ini linier dengan semangat sila IV Pancasila: ”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Harus disadari bersama bahwa pemilu adalah sebuah democratic learning process.

Demokrasi abal-abal

Pemilihan kepala daerah melalui DPRD hanya memindahkan nalar pemerintahan parlementer di level nasional pada era 1999- 2004—presiden dipilih oleh MPR—ke level lokal. Ketika semangat pembenahan sistem presidensialisme tengah berlangsung di pusat dengan kursi eksekutif dan legislatif sama- sama berdasarkan pemilihan langsung, upaya parlementerisme di level daerah hanya berakhir dengan pseudo-demokrasi, alias demokrasi abal-abal.

Pertama, kepala daerah hanya akan ”merasa” bertanggung jawab kepada DPRD akibat legitimasi politiknya diperoleh melalui parlemen lokal. Efeknya fatal: program kebijakan daerah diukur berdasarkan tingkat kepuasan para anggota dewan. Kedua, jika bukan kepala daerah yang ”tunduk”, maka parlemen yang akan ”tunduk” kepada kepala daerah. Sudah banyak kajian menjelaskan bahwa kepala daerah adalah ”raja” di level lokal.

Michel Buhler (2012), misalnya, menjelaskan penguasaan klan Limpo di Kabupaten Gowa. Kajian bossisme oleh John Sidel juga mengonfirmasi hal ini. Apalagi fenomena Ratu Atut Chosiyah di mana Banten di bawah bayangan H Tb Chasan Sochib yang beberapa tahun sebelumnya sudah menjadi kajian local strongmen oleh banyak ilmuan (Syamsudin Harris 2007, Michel Buhler, Okamoto Masaaki 2004).

Ketiga, arsitektur politik di parlemen daerah masih sangat rapuh sehingga relasi anggota dewan bersifat nepotisme, kolutif, dan koruptif. Sepanjang 2004-2012, sedikitnya terdapat 2.169 anggota DPRD tersangkut masalah hukum. Di DPRD provinsi, 431 orang dan DPRD kabupaten/kota 1,738 orang (Komite Pemantau Legislatif Indonesia).

Mengutip Vedi Hadiz, dalam Decentralization and Democracy in Indonesia (2004), di level lokal lembaga negara bisa saja dibajak oleh beragam kepentingan. Pemilihan dari oleh publik menjadi oleh politisi parlemen hanya memindahkan vote-buying ke level elite, tetapi dengan volume transaksi berlipat ganda jauh lebih besar. Nankyung Choi (2004), misalnya, dalam Local Elections and Party Politics in Post-Reformasi Indonesia menyimpulkan bahwa vote-selling oleh para anggota Dewan dalam pemilihan kepala daerah pada tahun 2001 menjadi pola aktual bekerjanya politik parlemen multipartai yang ”terevitalisasi” di Indonesia.

Sebaliknya, pemilihan kepala daerah secara langsung telah melahirkan figur-figur yang berprestasi. Sebutlah Herry Zudianto di Yogyakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, Jokowi di Solo, atau Ridwan Kamil di Bandung. Pemilihan kepala daerah melalui parlemen lokal hanya akan menciptakan re-sentralisasi pemerintahan di level lokal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar