Senin, 22 September 2014

Rekonsiliasi Kemajemukan Indonesia

Rekonsiliasi Kemajemukan Indonesia

Rafly Kande  ;   Anggota DPD Terpilih Periode 2014-2019
KOMPAS, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEBAGAI negara kesatuan, bukan tidak mendasar bahwa penamaan atas ”kesatuan” merupakan sebuah konsep penyetaraan yang sangat bersahaja dalam bernegara. Keberagaman Indonesia yang diikat dalam kebinekaan menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki nilai kesatuan tinggi dalam perbedaan culture, budaya dan ras.

Cenderung persatuan beberapa negara lain terbentuk atas penaklukan oleh pendiri bangsa sebelumnya hingga akhirnya terbentuk sebuah negara, tetapi tidak pada Indonesia. Indonesia yang terbentuk atas kenuranian yang sama sebagai pemilih daerah yang terus dijajah oleh penakluk memberi nilai ”plus” untuk Indonesia sebagai negara yang sangat santun dan toleransi.

Sebagai Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno menjadi sosok yang sangat ideal dalam menyatukan perbedaan. Siapa sangka perbedaan yang menyekat keberagaman budaya, warna kulit, ras, dan perbedaan kerajaan/pemerintahan saat itu mampu dipersatukan dalam satu unsur kebangsaan hingga terbentuknya Indonesia. Hal ini merupakan anugerah yang tak terhingga.

Melirik beberapa negara di belahan dunia, warga Jepang, misalnya, merupakan keturunan suku Ainu yang dahulu mendiami Pulau Hokaido. Mereka merupakan satu kesukuan dari daratan Tiongkok kuno beberapa abad sebelum Masehi yang mendiami Pulau Hokaido. Timur Tengah dengan keekstremannya yang suka berperang merupakan ras yang sama meski berbeda kabilah. Afrika dengan keturunan asli, manusianya yang berkulit hitam, berkumpul di satu daerah, yakni Afrika. Meski telah menyebar ke beberapa negara, identitas Afrika terlihat jelas melekat pada diri mereka.

Kumpulan etnis

Menelisik Indonesia, sebuah negara terbesar di Asia Tenggara, merupakan kumpulan ragam etnis dan ras yang menjadi satu dalam kebinekaan. Dari etnis kulit putih sampai hitam serta ras yang hidung mancung sampai pesek mendiami Indonesia. Negara yang telah 69 tahun merdeka ini konon dalam pengetahuan antropologi merupakan imigran dari Tiongkok selatan yang dahulu hidup berpindah-pindah hingga memilih Indonesia sebagai daerah akhir.

Di balik itu, beberapa daerah di Indonesia ternyata didiami oleh ras yang berbeda dan tetap santun dalam berbudaya. Sebagai negara yang berbatasan dengan selat yang menjadi pelintasan dunia, yakni Selat Malaka, sejumlah pedagang dengan keberagaman bangsa dunia memilih tinggal di Indonesia dengan perbedaan dalam kesantunan yang bersahaja. Sejak saat itulah, mungkin sebuah nama ”persatuan” lahir. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ”persatuan” negeri ini lahir dari rahim perbedaan.

Menerawang Indonesia 69 tahun, 17 Agustus 2014 menjadikan Indonesia tentu semakin dewasa dalam segi usia, tetapi belum dari sisi budaya. Tampaknya, semakin tua negeri ini, nilai budaya semakin luntur karena tuanya, bahkan lumpuh untuk sejumlah daerah. Banyak putra putri Indonesia yang hanya mengetahui asal kedaerahannya, tetapi tidak mengetahui nilai budaya yang dimilikinya. Isu penghapusan agama dan suku dari KTP ternyata membuat nilai kebudayaan Indonesia semakin terkikis dalam kurun waktu yang semakin tua. Padahal, dari zaman pemerintahan Bung Karno sampai Pak Harto, nilai kesukuan masih tercantum.

Nasionalisme yang digembar-gemborkan ternyata menyimpan efek samping. Sepantasnya Indonesia dibangun atas nilai keindonesiaan, bukan nilai kebarat-baratan. Kekayaan Indonesia yang kabarnya kian habis ternyata tidak hanya merupakan hasil bumi, tetapi juga kekayaan budaya yang kian hari kian hilang tergadai oleh kapitalisme yang berlebihan.

Keindonesiaan berbudaya

Kini, Indonesia 69 tahun menapaki jejak baru dengan pemimpin yang juga akan baru. Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah yang baru mendapat tugas dan mandat nyata bahwa Indonesia haruslah dibangun dengan keindonesiaan yang berbudaya pula, bukan dengan nilai Barat. Kekayaan Indonesia yang lahir sejak awal adalah warisan budaya. Ditinjau dari segi pariwisata, Indonesia sebagai negara maritim amatlah berpeluang besar menjadi negara seribu budaya nyata.

Indonesia masa depan yang diharapkan tentu tidak hanya merakyat dan berdaulat, tetapi juga berbudaya dengan kebudayaan Indonesia. Identitas keindonesiaan hendaknya menjadi prioritas dalam berbangsa. Kedaulatan negara tentu tidak hanya terletak pada ujung militer, tetapi pada budaya yang kita miliki. Sadar atau tidak, Indonesia merdeka karena diplomasi, bukan karena perang. Sadar juga bahwa kita memiliki kemampuan berdiplomasi yang baik dan ini merupakan budaya kesantunan yang menjadi warisan dari pendahulu dan harus terus diwariskan untuk generasi selanjutnya, generasi muda Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar