Rekonsiliasi
Kemajemukan Indonesia
Rafly Kande ;
Anggota
DPD Terpilih Periode 2014-2019
|
KOMPAS,
20 September 2014
SEBAGAI
negara kesatuan, bukan tidak mendasar bahwa penamaan atas ”kesatuan”
merupakan sebuah konsep penyetaraan yang sangat bersahaja dalam bernegara.
Keberagaman Indonesia yang diikat dalam kebinekaan menjadikan Indonesia
sebagai satu-satunya negara di dunia yang memiliki nilai kesatuan tinggi
dalam perbedaan culture, budaya dan
ras.
Cenderung
persatuan beberapa negara lain terbentuk atas penaklukan oleh pendiri bangsa
sebelumnya hingga akhirnya terbentuk sebuah negara, tetapi tidak pada
Indonesia. Indonesia yang terbentuk atas kenuranian yang sama sebagai pemilih
daerah yang terus dijajah oleh penakluk memberi nilai ”plus” untuk Indonesia
sebagai negara yang sangat santun dan toleransi.
Sebagai
Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno menjadi sosok yang sangat ideal dalam
menyatukan perbedaan. Siapa sangka perbedaan yang menyekat keberagaman
budaya, warna kulit, ras, dan perbedaan kerajaan/pemerintahan saat itu mampu
dipersatukan dalam satu unsur kebangsaan hingga terbentuknya Indonesia. Hal
ini merupakan anugerah yang tak terhingga.
Melirik
beberapa negara di belahan dunia, warga Jepang, misalnya, merupakan keturunan
suku Ainu yang dahulu mendiami Pulau Hokaido. Mereka merupakan satu kesukuan
dari daratan Tiongkok kuno beberapa abad sebelum Masehi yang mendiami Pulau
Hokaido. Timur Tengah dengan keekstremannya yang suka berperang merupakan ras
yang sama meski berbeda kabilah. Afrika dengan keturunan asli, manusianya
yang berkulit hitam, berkumpul di satu daerah, yakni Afrika. Meski telah
menyebar ke beberapa negara, identitas Afrika terlihat jelas melekat pada
diri mereka.
Kumpulan etnis
Menelisik
Indonesia, sebuah negara terbesar di Asia Tenggara, merupakan kumpulan ragam
etnis dan ras yang menjadi satu dalam kebinekaan. Dari etnis kulit putih
sampai hitam serta ras yang hidung mancung sampai pesek mendiami Indonesia.
Negara yang telah 69 tahun merdeka ini konon dalam pengetahuan antropologi
merupakan imigran dari Tiongkok selatan yang dahulu hidup berpindah-pindah
hingga memilih Indonesia sebagai daerah akhir.
Di
balik itu, beberapa daerah di Indonesia ternyata didiami oleh ras yang
berbeda dan tetap santun dalam berbudaya. Sebagai negara yang berbatasan
dengan selat yang menjadi pelintasan dunia, yakni Selat Malaka, sejumlah
pedagang dengan keberagaman bangsa dunia memilih tinggal di Indonesia dengan
perbedaan dalam kesantunan yang bersahaja. Sejak saat itulah, mungkin sebuah
nama ”persatuan” lahir. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ”persatuan”
negeri ini lahir dari rahim perbedaan.
Menerawang
Indonesia 69 tahun, 17 Agustus 2014 menjadikan Indonesia tentu semakin dewasa
dalam segi usia, tetapi belum dari sisi budaya. Tampaknya, semakin tua negeri
ini, nilai budaya semakin luntur karena tuanya, bahkan lumpuh untuk sejumlah
daerah. Banyak putra putri Indonesia yang hanya mengetahui asal
kedaerahannya, tetapi tidak mengetahui nilai budaya yang dimilikinya. Isu
penghapusan agama dan suku dari KTP ternyata membuat nilai kebudayaan
Indonesia semakin terkikis dalam kurun waktu yang semakin tua. Padahal, dari
zaman pemerintahan Bung Karno sampai Pak Harto, nilai kesukuan masih
tercantum.
Nasionalisme
yang digembar-gemborkan ternyata menyimpan efek samping. Sepantasnya
Indonesia dibangun atas nilai keindonesiaan, bukan nilai kebarat-baratan.
Kekayaan Indonesia yang kabarnya kian habis ternyata tidak hanya merupakan
hasil bumi, tetapi juga kekayaan budaya yang kian hari kian hilang tergadai
oleh kapitalisme yang berlebihan.
Keindonesiaan berbudaya
Kini,
Indonesia 69 tahun menapaki jejak baru dengan pemimpin yang juga akan baru.
Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah yang baru mendapat tugas
dan mandat nyata bahwa Indonesia haruslah dibangun dengan keindonesiaan yang
berbudaya pula, bukan dengan nilai Barat. Kekayaan Indonesia yang lahir sejak
awal adalah warisan budaya. Ditinjau dari segi pariwisata, Indonesia sebagai
negara maritim amatlah berpeluang besar menjadi negara seribu budaya nyata.
Indonesia
masa depan yang diharapkan tentu tidak hanya merakyat dan berdaulat, tetapi
juga berbudaya dengan kebudayaan Indonesia. Identitas keindonesiaan hendaknya
menjadi prioritas dalam berbangsa. Kedaulatan negara tentu tidak hanya
terletak pada ujung militer, tetapi pada budaya yang kita miliki. Sadar atau
tidak, Indonesia merdeka karena diplomasi, bukan karena perang. Sadar juga
bahwa kita memiliki kemampuan berdiplomasi yang baik dan ini merupakan budaya
kesantunan yang menjadi warisan dari pendahulu dan harus terus diwariskan
untuk generasi selanjutnya, generasi muda Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar