Nasionalisme
dalam Perilaku Patriotik
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
03 September 2014
SETELAH
17 tahun menjadi wilayah kedaulatan Tiongkok dalam semangat yiguo liangce
(satu negara dua sistem), Hongkong menjadi kota metropolitan unik. Tidak ada
yang berubah setelah bekas koloni Inggris sejak era Perang Candu (1839-1842)
itu, yang kemudian meliputi Pulau Hongkong, Semenanjung Kowloon, dan kawasan New
Territories, habis masa sewanya pada tahun 1997.
Sebagai
koloni Inggris, Hongkong sangat berbeda dengan pusat-pusat perdagangan dan
keuangan dunia lainnya, seperti Tokyo, Singapura, London, atau New York.
Kinerja Hongkong di bawah pemerintahan kolonial Inggris, dan kemudian RRT,
bisa diurut secara mengagumkan. Di bawah Inggris, intervensi pemerintah
sangat minim sesuai etos politik berasaskan non-intervensionisme positif.
Melalui
konstitusi mini yang disebut Hukum Dasar (Basic Law), Hongkong menikmati otonomi
derajat tinggi dengan sistem politik dan peradilan terpisah dari sistem yang
dianut RRT. Hanya sektor pertahanan dan kebijakan luar negeri yang dikontrol
Beijing. Status Hukum Dasar Hongkong sendiri sudah lama menjadi perdebatan,
terutama menyangkut pemilihan umum langsung Ketua Eksekutif Hongkong tahun
2017.
Reaksi
yang muncul adalah gerakan pembangkangan sipil, membentuk gerakan yang
dinamakan dalam bahasa Kanton (bahas populer di Hongkong) sebagai zim ling
zing waan (Pendudukan Kawasan Central). Gerakan ini menjadi mirip Occupy Wall Street, gerakan protes
melumpuhkan sentra keuangan dunia karena kekacauan setelah krisis keuangan
2008.
Keseluruhan
protes kelompok pro demokrasi sejak tahun 2002 meluas karena ada persepsi
bahwa Beijing melakukan pengekangan terhadap kebebasan yang selama ini
dinikmati Hongkong dan dijamin secara hukum selama 50 tahun.
Ini
menjadi masalah baru karena dua hal. Pertama, munculnya perubahan pandangan
atas masalah keamanan kawasan di dalam dan di luar RRT. Kedua, persoalan
pengejawantahan yurisdiksi dan kedaulatan dalam perspektif Mimpi Tiongkok
yang menjadi tema sentral kekuasaan Presiden Xi Jinping.
Ada
beberapa faktor yang ikut menentukan perubahan politik domestik Hongkong
terkait kebangkitan Tiongkok. Pertama, negara menjadi pemain penting di
tengah desakan perubahan dinamis di kawasan Asia. Kedua, tata kedaulatan
hukum menjadi dasar perilaku hubungan domestik. Ketiga, terjadi desakan
perubahan internal untuk membangun mekanisme akuntabilitas bagi kesetimbangan
pembangunan politik domestik.
Di
Beijing muncul pandangan bahwa Hongkong bukan Ukraina, dan kelompok pro
demokrasi adalah macan kertas yang tak mewakili arus utama 7,2 juta rakyat
Hongkong. Harus disadari bahwa ”satu negara dua sistem” perlu sinkronisasi
terus-menerus dalam menghadapi arus perubahan.
Di
sisi lain, pertumbuhan nasionalisme di Tiongkok menyajikan situasi yang
sangat sensitif bagi Hongkong karena nasionalisme pasti akan menggugah emosi
patriotik para pemimpin dan rakyat Tiongkok pada umumnya. Keputusan Beijing
akan berdampak luas ketika upaya mengembangkan sistem modern yang utuh harus
berhadapan dengan keberhasilan modernisasi Hongkong sebagai model di wilayah
pinggirannya.
Bagi
Hongkong, Hukum Dasar mampu menyejahterakan tak hanya penduduknya, tetapi
juga bagi menjaga iklim bisnis dan sentra keuangannya selama 17 tahun
terakhir ini. Mungkin benar apa yang dikatakan mendiang Deng Xiaoping, Fazhan cai shi ying daoli, tentang
pembangunan sebagai kata akhir pegangan patriotik setelah ideologi yang sekarang
harus berhadapan dengan keadilan situasi antara masyarakat yang tidak
berpunya dan yang punya berkelebihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar