Rabu, 03 September 2014

Meliberalisasi Koruptor

Meliberalisasi Koruptor

Siti Marwiyah  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya,
Pengurus IKA UII Jawa Timur
JAWA POS, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

VONIS yang dijatuhkan hakim tindak pidana korupsi (tipikor) terhadap terdakwa Ratu Atut Chosiyah mengundang kecaman. Putusan itu dinilai sebagai eksaminasi negatif terhadap politik pemberantasan korupsi.

Akibat putusan itu, perkara korupsi lain seperti kasus Hambalang dengan terdakwa Anas Urbaningrum pun diragukan publik. Masyarakat khawatir putusan terhadap Anas bisa lebih ringan, bahkan bukan tidak mungkin para hakim akan membebaskannya.

Putusan-putusan hakim pengadilan tipikor pada tahap awal memang tidak sedikit yang mengecewakan publik. Pernah awalnya publik menyesalkan putusan majelis hakim pengadilan tipikor yang memvonis terdakwa Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Angie) lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, serta tanpa perampasan aset dan harta milik Angie. Namun kemudian, publik mengapresiasi kinerja hakim agung ketika Angelina divonis berlapis-lapis, yang mengakibatkan Angie menangis.

Vonis yang dijatuhkan terhadap Atut dapat dikategorikan sebagai vonis irasional dan tidak sensitif terhadap kerinduan masyarakat pada penegakan hukum yang egaliter dan berkeadilan. Kerinduan masyarakat dalam menyaksikan ’’penderitaan’’ koruptor menjadi gagal diperoleh karena putusan yang tidak bersifat istimewa (extraordinary). Tindak pidana istimewa wajib dijawab dengan putusan yang istimewa pula.

Putusan hakim itu juga terbilang menyakiti rasa keadilan masyarakat dan tidak mendukung gerakan nasional pemberantasan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy). Vonis hakim bahkan patut ditempatkan sebagai akar kriminogen yang bukan tidak mungkin dapat mendorong lahirnya dan meliberalisasikan bibit-bibit (kader-kader) koruptor di mana-mana.

Selain itu, hakim layak diperlakukan sebagai sosok yang bertindak inkonstitusional. Pasalnya, hakim tidak benar-benar memahami dan menghormati substansi konstitusi. Jika saja hakim menggunakan payung konstitusi untuk membangun kinerja, putusan yang dijatuhkan akan memenuhi aspirasi masyarakat.

Prinsip konstitusional (UUD 1945) di negeri ini sudah menggariskan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Prinsip ini dikenal dengan equality before the law. Dalam prinsip ini, setiap warga negara, tanpa kecuali, harus diperlakukan sama dalam ranah pertanggungjawaban hukum. Kata ’’setiap’’ bermakna tanpa membedakan, tanpa kenal stratifikasi sosial, dan tanpa kenal perbedaan gender.

Pertanggungjawaban yuridis egaliter itu membawa konsekuensi bahwa Angie, siapa pun dia orangnya, wajib diperlakukan sederajat dengan terdakwa lain. Ketika terdakwa kasus korupsi lain menjalani proses hukum dengan cara-cara fair, transparan, dan objektif, Angie pun demikian. Praktik pengistimewaan dapat dikategorikan sebagai bentuk pencederaan konstitusional yang serius dan penodaan keadilan.

Kejanggalan utama yang membedakan dengan putusan hakim dalam kasus korupsi adalah soal perampasan atau pengembalian kekayaan negara. Semangat pasal 18 UU Tipikor yang berorientasi pada pengembalian harta negara sebanyak-banyaknya dan memiskinkan koruptor sehingga menimbulkan efek jera tidak termuat dalam putusannya.

Semangat pasal 18 itu seharusnya menjadi orientasi privilitas di kalangan hakim. Pasalnya, negeri ini sarat dengan tindak pidana korupsi. Korupsi oleh Bung Hatta disebut sudah membudaya. Oleh sang pejuang keadilan Baharuddin Lopa (almarhum), pernah disebut bahwa lebih dari 40 persen keuangan negara dijadikan objek ’’bancaan’’ koruptor.

Kinerja KPK harus mendapatkan dukungan dari hakim tipikor. Dukungannya dalam bentuk penjatuhan vonis yang memberatkan. Kalau dari kinerja KPK, kekayaan negara yang ’’dijarah’’ koruptor bisa dikembalikan sebagian, vonis hakim pun idealitasnya signifikan dengan politik pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK itu. Upaya pengembalian kekayaan negara ini memang bisa berdampak memiskinkan koruptor. Pasalnya, koruptor yang semula berstrata elite karena keberhasilannya menimbun kekayaan dari korupsi bisa bergeser menjadi ’’orang alit’’ mendadak.

Hakim melalui vonis yang dijatuhkan bisa memberikan jalan bagi pengembalian kekayaan negara maupun dapat mencegah berulangnya praktik ’’penjarahan’’ uang rakyat.

Selain itu, faktanya, sebagaimana disampaikan M. Busyro Muqoddas, bahwa aset/kekayaan negara yang berhasil diselamatkan KPK pada 2011 sebanyak Rp 152,9 triliun. Sebanyak 99,65 persen berasal dari sektor hulu migas (aset-aset migas milik negara yang tidak pernah tercatat oleh pemerintah), kemudian 0,35 persen dari pengalihan hak barang milik negara. Kerugian negara yang berhasil diselamatkan KPK pada 2011 sebesar Rp 134,7 miliar berasal dari penanganan perkara tindak pidana korupsi (TPK), uang pengganti, uang rampasan, uang sitaan, penjualan hasil lelang TPK, serta penerimaan negara bukan pajak dan disetorkan ke rekening kas negara/daerah.

Kondisi disparitasnya antara jumlah kerugian negara karena koruptor dengan kekayaan negara yang bisa diselamatkan sudah seharusnya membuat hakim tidak mengeliminasi tanggung jawab koruptor untuk mengembalikan kekayaan negara melalui putusan yang dijatuhkannya.

Dalam logika koruptor, mereka menumpuk dan mengamankan hasil jarahan dari APBN maupun APBD bukan semata-mata untuk memperkaya diri sendiri, tetapi juga memperkaya orang lain. Khususnya aparat penegak hukum (hakim) yang bisa diajak berkolaborasi dan meliberalisasi aksi kriminalitas ’’kerah putihnya’’ ini.

Sudah banyak hakim di negeri ini yang terjerumus melakukan malapraktik profesi atau ’’menyelingkuhi’’ kode etik jabatannya, seperti tertangkap basah (heterdaad) karena mengadakan pertemuan dengan terdakwa, menerima suap atau gratifikasi, atau memanggil penasihat hukum terdakwa atau keluarganya. Hakim-hakim nakal ini menjanjikan akan memberikan putusan yang meringankan atau membebaskan jika apa yang ditawarkan (diminta) bisa dipenuhinya. Inilah yang pernah dikritik Aristoteles, ’’semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan’’.

Vonis yang dijatuhkan hakim, jika vonisnya ini berjenis membebaskan atau memberikan sanksi hukuman yang sangat ringan, dapat ’’dituduh’’ sebagai vonis yang dimainkan yang berelasi dengan pihak-pihak yang memesannya itu, yang bisa bersumber dari tersangka/terdakwa kasus korupsi atau pihak lain yang merasa diuntungkan dengan putusan hakim yang berpihak pada koruptor.

Dalam kasus Atut pun demikian. Diduga, hakim yang menjatuhkan putusan tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan rasionalitas hukum, serta prinsip egalitarianisme, juga logis. Pasalnya, hakim telah melawan arus yang sedang disuarakan publik yang menuntut setiap elemen penegak hukum supaya menempatkan koruptor sebagai musuh bersama yang dimiskinkan.

Putusan hakim yang tidak memberatkan berarti memberikan kesempatan bagi koruptor untuk mengembangkan dan menikmati kekayaan yang diperolehnya dari korupsi, di samping tidak menciptakan eskalasi rasa takut bagi siapa pun yang berkeinginan melakukan korupsi. Putusan hakim yang tidak adil juga dapat mendorong seseorang yang berkecenderungan jahat untuk mewujudkan dan mengeksplorasi kriminalisasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar