Rabu, 03 September 2014

Menanggung Beban Bersama

Menanggung Beban Bersama

Airlangga Pribadi Kusman  ;   Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University; Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan
KOMPAS, 03 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEBUAH pantun Nusantara berbunyi: ”berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” patut kita renungkan bersama pada hari-hari menjelang terbentuknya pemerintahan baru di Indonesia. Dalam konstruksi statecraft (bina negara), pantun di atas menggemakan ajaran moral mendalam bahwa kehidupan bernegara membutuhkan tumbuhnya komitmen atas solidaritas kewargaan yang kuat. Prinsip menanggung beban bersama sebenarnya bukan hal asing bagi kehidupan bernegara kita.

Sang proklamator, Soekarno, berpesan bahwa esensi Pancasila sendiri adalah semangat gotong royong. Semangat yang mengajarkan kita untuk saling membantu, rela memberi, dan berkorban bagi kemaslahatan bersama.

Sehubungan dengan tantangan hidup bersama, kepemimpinan Indonesia akan menghadapi ujian publik bahkan sebelum Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dilantik menjadi pasangan presiden dan wakil presiden. Tantangan bernegara ini muncul dalam bentuk tekanan terhadap pemerintah mendatang untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) ketika RAPBN 2015 yang dirumuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalokasikan subsidi sosial untuk BBM dalam jumlah yang begitu besar: Rp 363,5 triliun. Bandingkanlah dengan subsidi non-BBM seperti pangan, pupuk, dan benih, yang nilainya ”hanya” Rp 69,9 triliun (Enny Sri Hartati 2014).

Dalam kondisi demikian, pasangan Jokowi-JK agaknya menghadapi masalah sulit, pemerintah mendatang menghadapi dilema  catch 22 (maju kena, mundur kena). Pilihan antara mengalihkan subsidi atau tetap pada RAPBN 2015 rancangan pemerintah sekarang yang sama-sama berisiko. Pemerintah ke depan terjebak antara pilihan populis tidak merasionalisasi RAPBN 2015 untuk memperpanjang musim semi kehangatannya dengan rakyat atau siap menderita bersama rakyat. Yang jelas, popularitas yang diraih dengan langkah seperti di atas sebenarnya tidak akan berlangsung lama. Perlahan-lahan pemerintahan Jokowi akan terbelenggu oleh beban besarnya subsidi BBM. Jokowi tidak dapat secara fleksibel menjalankan kebijakan pro rakyat miskin lainnya.

Sementara apabila pemerintahan Jokowi mengambil langkah politik non-populer dengan melakukan rasionalisasi dan pengalihan subsidi BBM secara drastis untuk dialokasikan pada anggaran lainnya, pemerintah dapat bergerak lebih cekatan. Namun, pilihan kebijakan itu memang berisiko besar, bisa membuat masa bulan madu hubungan romantik antara Jokowi dan rakyat layu sebelum berkembang.

Dengan merenggangnya hubungan antara Jokowi dan rakyat, akan terdapat celah ruangan yang begitu besar bagi pihak oposisi untuk menekan pemerintahan. Stigma pemerintahan Jokowi sebagai pemerintahan neoliberal akan tersebar dan pemerintah kembali tersandera politisi dengan kepentingannya.

Jalan ketiga

Di antara dua pilihan sulit di atas, harus ada jalan ketiga (third way). Apabila pemerintahan Jokowi ingin menghadapi ujian awal pemerintahan dengan baik terkait dilema persoalan subsidi BBM, formula kebijakan yang harus diambil adalah kebijakan bernapaskan semangat menanggung beban bersama. Artinya, pengalihan subsidi tidak hanya untuk mereka kaum papa.

Sebelum kita masuk pada strategi kebijakan alternatif di antara  pilihan dilematis di atas, satu hal patut dipertimbangkan. Pilihan mengalihkan subsidi BBM kepada sektor-sektor publik lain tidak selalu identik dengan kebijakan neoliberal. Beberapa ekonom progresif dunia mengkritik kebijakan pemotongan subsidi publik besar-besaran di Amerika Serikat (sebesar 2,1 triliun dollar AS) dan negara-negara Eropa pada tahun 2011 yang berujung kegagalan. Ini terjadi dalam konteks negara memotong besar-besaran subsidi rakyat demi penyehatan ekonomi segelintir pelaku ekonomi teratas di negara-negara tersebut (Chang 2014, Blyth 2013, Krugman 2012).

Kritik atas pencabutan subsidi sosial sebagai kesalahan kebijakan neoliberal ini tak berlaku apabila pemerintah mendatang melakukannya untuk meredistribusi subsidi sosial pada sektor-sektor ekonomi produktif kelas bawah yang lebih membutuhkan dukungan subsidi selain BBM dari negara.

Berbagi pengorbanan

Pada awal pemerintahan, hendaknya pemimpin harus memiliki rangkaian strategi kebijakan yang dapat membagi rasa pengorbanan kepada seluruh elemen bangsa. Formulasi kebijakan tersebut dapat dimulai terlebih dahulu dengan langkah-langkah berikut.

Pertama, melakukan rasionalisasi atas tunjangan presiden, menteri, kepala daerah, dan anggota legislatif seluruh Indonesia. Langkah rasionalisasi tunjangan elite ini besar pengaruhnya bagi suasana kebatinan kita berbangsa.

Apabila pemimpin ke depan mau mengambil kebijakan berkeadilan dengan memangkas jumlah gaji dan tunjangan presiden sebesar Rp 85 juta/bulan (terbesar ketiga dunia menurut majalah The Economist 2010 jika dibandingkan antara besaran gaji dan rasio pendapatan per kapita manusia Indonesia) serta  take home pay  DPR sebesar minimal Rp 51 juta/bulan, publik menjadi saksi bahwa pemimpin dan elite politik yang selama ini hidup mewah bersedia berkorban dan membagi beban bersama mereka.

Sepertinya adalah baik kita merenungkan wasiat politik Mohammad Hatta ketika tahun 1965 menulis surat kepada Bung Karno bahwa salah satu prinsip kehidupan bernegara yang sehat adalah jangan sampai hanya karena keinginan para elite politik untuk hidup royal, rakyat justru menjadi obyek penderita yang harus menanggungnya karena kebijakan ekonomi yang salah sasaran (M Hatta 2001). 

Langkah kedua yang harus diambil adalah tidak langsung menaikkan subsidi BBM secara masif, tetapi menerapkan pengalihan subsidi BBM secara selektif. Pemberlakuan pencabutan subsidi dilakukan hanya pada kendaraan pribadi mobil berpelat hitam yang sebagian besar dimiliki oleh kalangan kelas menengah ke atas dan kendaraan dinas.

Kendaraan transportasi publik maupun kendaraan yang berperan sebagai sarana distribusi ekonomi rakyat masih mendapat subsidi BBM. Kebijaksanaan seperti ini dapat mengurangi konsumsi BBM bersubsidi secara signifikan dan menaikkan penerimaan dari penjualan BBM non-subsidi yang besar.

Melalui kebijakan transisi dengan tidak lagi menyubsidi mobil pribadi berpelat hitam dan dinas, ke depan pemerintah hanya akan menyesuaikan subsidi BBM bagi transportasi publik, angkutan distribusi, dan motor bagi kelas menengah bawah. Langkah ini penting diambil agar publik, terutama mereka yang terpinggirkan, sadar bahwa bukanlah mereka yang ditempatkan sebagai tumbal utama di altar pengorbanan dari kebijakan rasionalisasi anggaran pemerintah.

Sebaliknya, mereka yang mampu juga harus menyadari bahwa merekalah yang harus berkorban lebih ketika pemerintah terpaksa harus mengambil kebijakan non-populis bagi kehidupan republik yang lebih sehat pada masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar