Nafsu
Berkuasa dan Anomali Publik
Jonas KGD Gobang ;
Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
dan Pengajar Filsafat Komunikasi di Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores,
NTT
|
SINAR
HARAPAN, 24 September 2014
Rakyat adalah
istilah klise untuk mereka yang memiliki “libido
dominandi” besar. Mereka inilah para komunikator politik yang
teridentifikasi dalam peran-peran sebagai kaum pemilik modal, para politikus
busuk, para birokrat yang berlumuran dosa korupsi, serta para aktivis politik
yang “berselingkuh” dengan para
pemilik modal besar.
Anomali publik
dalam komunikasi politik akan menjadi fatalisme jika rakyat menjadi objek
penderita. Rakyat hanya menjadi “pendengar” pesan-pesan palsu para
komunikator politik, biasanya saat-saat kampanye atau pidato-pidato. Itu lips
service semata.
Tulisan ini
mengulas lebih jauh tentang publik di Indonesia, bagaimana anomali publik
dalam komunikasi politik di Indonesia, Semua itu akan ditinjau lebih jauh
dalam tulisan ini.
Publik di
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni publik pasif dan
aktif. Pengelompokan ini tentu saja didasarkan pemahaman tentang partisipasi
publik, budaya politik, dan demokrasi yang terjadi di Indonesia.
Partisipasi
publik pada dasarnya merupakan bagian partisipasi pada umumnya. Merujuk pada The 1995-1997 World Value Survey,
Charles Andrian dan James Smith (Marijan,
2010: 111) mengelompokkan tiga bentuk partisipasi.
Pertama adalah
partisipasi yang lebih pasif. Dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat
dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat
politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan
sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan teman.
Kedua adalah
partisipasi yang lebih aktif. Hal yang menjadi perhatian adalah sejauh mana
orang itu terlibat di organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations), seperti
kelompok-kelompok keagamaan, olahraga, pencinta lingkungan, organisasi
profesi, dan organisasi buruh.
Ketiga adalah
partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes, seperti ikut menandatangani
petisi, memboikot, dan berdemonstrasi.
Di sistem
demokrasi seperti yang dianut di Indonesia, partisipasi publik atau khalayak
lebih dilihat ke sejauh mana publik turut serta dalam setiap pemilu atau
pemilihan kepala daerah (pilkada). Joseph Schumpeter dalam Marijan (2010:
113) menjelaskan, peran politik warga negara adalah saat pemilu, sementara
para pemimpin yang terpilih merupakan orang-orang kunci di pembuatan
keputusan-keputusan.
Dalam
pandangan seperti itu, keterlibatan warga negara dalam proses politik memang
lebih banyak berhenti saat pemilihan. Perumusan kebijakan-kebijakan publik
lebih banyak menjadi arena tugas para wakil, bukan terwakil.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, makna hakiki yang terkandung dalam demokrasi tidaklah
sebatas konsepsi abstrak klasik kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi
lebih menukik ke terlibat aktifnya rakyat dalam pengambilan kebijakan dan
keputusan yang berkaitan dengan hajat hidupnya. Sementara itu, pemerintah
bekerja di bawah kontrol publik untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan kekuasaan.
Naluri
kekuasaan kerap menjebak para penguasa (pemerintah) untuk menetapkan berbagai
kebijakan dan keputusan publik di “ruang-ruang gelap kekuasaannya”, serta
memperlakukan rakyat sebagai penerima dan pelaksana taken for granted. Itu sudah waktunya ditinggalkan karena telah
mereduksi dan mendegradasi hak-hak dan martabat rakyat sebagai pemegang
kedaulatan.
Setiap
keputusan dan kebijakan terkait hajat hidup rakyat harus merupakan hasil dari
sebuah proses partisipasi aktifnya rakyat melalui diskusi argumentatif dan
rasional melalui komunikasi egaliter, tanpa represi dan dominasi. Jadi,
keputusan dan kebijakan itu sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat (deliberative and participatory democracy).
Ketika saya
membaca kembali catatan sejarah yang dihimpun dan dibukukan oleh Muhammad
Yamin (1963), saya mencoba merasakan semangat dan keberanian Bung Karno dkk
dalam menyatakan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari
cengkeraman penjajah. Kita memang sudah merdeka!
Tetapi
sekarang, meskipun sudah 69 tahun merdeka, kita masih memaknai kemerdekaan
sebagai sekadar lomba makan kerupuk, panjat pinang, dan lain-lain. Padahal,
masih banyak rakyat bangsa Indonesia yang mengantre bantuan tunas langsung
(BLT) dan beras untuk orang miskin (raskin).
Masih banyak
juga balita bergizi buruk di hampir semua pelosok negeri yang kaya akan
sampah kemasan makanan instan dari berbagai produk kapitalis. Masih banyak
pula subsidi bagi rakyat kecil di desa yang dinikmati pejabat kaya di kota.
Masih banyak contoh lain lagi, bukan?
Survei Persepsi
Menurut MNC
Media Research (Seputar Indonesia, 25 Oktober 2012) yang melakukan jajak
pendapat (polling) untuk mengetahui
persepsi publik tentang kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah
pembangunan yang dilakukan di 10 kota di Indonesia, upaya pemerintah
memberantas korupsi mendapat sorotan paling tajam.
Sebesar 71
persen responden menyatakan, kinerja pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY)-Boediono buruk. Penanganan kekerasan massa juga menempati peringkat
kedua sebagai isu yang meresahkan, dengan pernyataan dari 62 persen responden
yang menjawab buruk. Upaya pemerataan lapangan kerja juga dianggap buruk (59
persen). Demikian pula upaya memberantas narkoba (52 persen).
Kita pantas
belajar dari sejarah agar tidak jatuh ke lubang yang sama, seperti keledai
dungu. Kita butuh sikap orientasi yang khas Indonesia terhadap sistem politik
Indonesia. Kita tidak boleh menjadi “negara bongkar pasang”. Kita harus
memiliki suatu budaya politik yang pasti.
Struktur
kenegaraan kita masih selalu berubah-ubah di segala bidang. Ganti kepala
negara, ganti struktur. Kita belum menemukan bentuk negara yang kita tak mau
mengubahnya lagi.
Ibarat dalam
tembang, struktur lagu adalah frasa, pengaturannya tetap. Di sini ada bentuk
atau format negara. Sementara itu, melodi adalah perubahan-perubahan yang
didasari motivasi rasa. Perubahan sebagai alamiah kehidupan tak terelakkan
jika negara dan bangsa ini tetap ingin berlanjut. Namun, perubahan liar ini,
melodi yang menggelora ini, perlu dikendalikan oleh stuktur yang tetap
(Sumardjo dalam “Negara Bongkar
Pasang”, Kompas, 20 Oktober 2012).
Indonesia
sepertinya masih mencari-cari budaya politik yang relatif tidak berubah-ubah
ataupun latah meniru Amerika ataupun negara-negara Eropa. Budaya politik
Indonesia harus menjadi suatu bentuk sikap orientasi yang khas warga negara
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, terhadap sistem politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar