Kamis, 25 September 2014

Nafsu Berkuasa dan Anomali Publik

Nafsu Berkuasa dan Anomali Publik

Jonas KGD Gobang  ;   Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Pengajar Filsafat Komunikasi di Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores, NTT
SINAR HARAPAN, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Rakyat adalah istilah klise untuk mereka yang memiliki “libido dominandi” besar. Mereka inilah para komunikator politik yang teridentifikasi dalam peran-peran sebagai kaum pemilik modal, para politikus busuk, para birokrat yang berlumuran dosa korupsi, serta para aktivis politik yang “berselingkuh” dengan para pemilik modal besar.

Anomali publik dalam komunikasi politik akan menjadi fatalisme jika rakyat menjadi objek penderita. Rakyat hanya menjadi “pendengar” pesan-pesan palsu para komunikator politik, biasanya saat-saat kampanye atau pidato-pidato. Itu lips service semata.

Tulisan ini mengulas lebih jauh tentang publik di Indonesia, bagaimana anomali publik dalam komunikasi politik di Indonesia, Semua itu akan ditinjau lebih jauh dalam tulisan ini.

Publik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni publik pasif dan aktif. Pengelompokan ini tentu saja didasarkan pemahaman tentang partisipasi publik, budaya politik, dan demokrasi yang terjadi di Indonesia.

Partisipasi publik pada dasarnya merupakan bagian partisipasi pada umumnya. Merujuk pada The 1995-1997 World Value Survey, Charles Andrian dan James Smith (Marijan, 2010: 111) mengelompokkan tiga bentuk partisipasi.

Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan teman.

Kedua adalah partisipasi yang lebih aktif. Hal yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat di organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations), seperti kelompok-kelompok keagamaan, olahraga, pencinta lingkungan, organisasi profesi, dan organisasi buruh.

Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes, seperti ikut menandatangani petisi, memboikot, dan berdemonstrasi.

Di sistem demokrasi seperti yang dianut di Indonesia, partisipasi publik atau khalayak lebih dilihat ke sejauh mana publik turut serta dalam setiap pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada). Joseph Schumpeter dalam Marijan (2010: 113) menjelaskan, peran politik warga negara adalah saat pemilu, sementara para pemimpin yang terpilih merupakan orang-orang kunci di pembuatan keputusan-keputusan.

Dalam pandangan seperti itu, keterlibatan warga negara dalam proses politik memang lebih banyak berhenti saat pemilihan. Perumusan kebijakan-kebijakan publik lebih banyak menjadi arena tugas para wakil, bukan terwakil.

Sebagaimana dikemukakan di atas, makna hakiki yang terkandung dalam demokrasi tidaklah sebatas konsepsi abstrak klasik kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi lebih menukik ke terlibat aktifnya rakyat dalam pengambilan kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan hajat hidupnya. Sementara itu, pemerintah bekerja di bawah kontrol publik untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Naluri kekuasaan kerap menjebak para penguasa (pemerintah) untuk menetapkan berbagai kebijakan dan keputusan publik di “ruang-ruang gelap kekuasaannya”, serta memperlakukan rakyat sebagai penerima dan pelaksana taken for granted. Itu sudah waktunya ditinggalkan karena telah mereduksi dan mendegradasi hak-hak dan martabat rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Setiap keputusan dan kebijakan terkait hajat hidup rakyat harus merupakan hasil dari sebuah proses partisipasi aktifnya rakyat melalui diskusi argumentatif dan rasional melalui komunikasi egaliter, tanpa represi dan dominasi. Jadi, keputusan dan kebijakan itu sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat (deliberative and participatory democracy).

Ketika saya membaca kembali catatan sejarah yang dihimpun dan dibukukan oleh Muhammad Yamin (1963), saya mencoba merasakan semangat dan keberanian Bung Karno dkk dalam menyatakan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari cengkeraman penjajah. Kita memang sudah merdeka!

Tetapi sekarang, meskipun sudah 69 tahun merdeka, kita masih memaknai kemerdekaan sebagai sekadar lomba makan kerupuk, panjat pinang, dan lain-lain. Padahal, masih banyak rakyat bangsa Indonesia yang mengantre bantuan tunas langsung (BLT) dan beras untuk orang miskin (raskin).

Masih banyak juga balita bergizi buruk di hampir semua pelosok negeri yang kaya akan sampah kemasan makanan instan dari berbagai produk kapitalis. Masih banyak pula subsidi bagi rakyat kecil di desa yang dinikmati pejabat kaya di kota. Masih banyak contoh lain lagi, bukan?

Survei Persepsi

Menurut MNC Media Research (Seputar Indonesia, 25 Oktober 2012) yang melakukan jajak pendapat (polling) untuk mengetahui persepsi publik tentang kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah pembangunan yang dilakukan di 10 kota di Indonesia, upaya pemerintah memberantas korupsi mendapat sorotan paling tajam.

Sebesar 71 persen responden menyatakan, kinerja pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono buruk. Penanganan kekerasan massa juga menempati peringkat kedua sebagai isu yang meresahkan, dengan pernyataan dari 62 persen responden yang menjawab buruk. Upaya pemerataan lapangan kerja juga dianggap buruk (59 persen). Demikian pula upaya memberantas narkoba (52 persen).

Kita pantas belajar dari sejarah agar tidak jatuh ke lubang yang sama, seperti keledai dungu. Kita butuh sikap orientasi yang khas Indonesia terhadap sistem politik Indonesia. Kita tidak boleh menjadi “negara bongkar pasang”. Kita harus memiliki suatu budaya politik yang pasti.

Struktur kenegaraan kita masih selalu berubah-ubah di segala bidang. Ganti kepala negara, ganti struktur. Kita belum menemukan bentuk negara yang kita tak mau mengubahnya lagi.

Ibarat dalam tembang, struktur lagu adalah frasa, pengaturannya tetap. Di sini ada bentuk atau format negara. Sementara itu, melodi adalah perubahan-perubahan yang didasari motivasi rasa. Perubahan sebagai alamiah kehidupan tak terelakkan jika negara dan bangsa ini tetap ingin berlanjut. Namun, perubahan liar ini, melodi yang menggelora ini, perlu dikendalikan oleh stuktur yang tetap (Sumardjo dalam “Negara Bongkar Pasang”, Kompas, 20 Oktober 2012).

Indonesia sepertinya masih mencari-cari budaya politik yang relatif tidak berubah-ubah ataupun latah meniru Amerika ataupun negara-negara Eropa. Budaya politik Indonesia harus menjadi suatu bentuk sikap orientasi yang khas warga negara Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, terhadap sistem politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar