Inklusi
Keuangan dan Ekonomi Indonesia
Matthew Driver ;
Presiden MasterCard Asia Tenggara
|
KORAN
SINDO, 23 September 2014
Indonesia
berada di peringkat ke-15 dunia untuk produk domestik bruto, namun hanya 50
juta orang Indonesia yang memiliki akses terhadap rekening bank.
Dengan
mempercepat inklusi keuangan, jutaan orang Indonesia akan mendapatkan akses
layanan dasar seperti menabung dengan aman dan melakukan transaksi,
mengasuransikan properti mereka, dan mendapatkan akses pinjaman untuk usaha
kecil, serta pada akhirnyamempercepatmomentum pertumbuhan ekonomi negara
kepulauan ini. Pengamatan tersebut dilontarkan oleh Presiden Direktur Bank
Mandiri Budi Gunadi Sadikin saat berlangsungnya World Economic Forum on East Asia baru-baru ini di Manila.
Beliau
menggarisbawahi pentingnya penyediaan layanan keuangan mendasar bagi
masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah--sebuah persoalan yang relatif
lebih mudah diatasi dengan adanya teknologi digital. Masa depan ekonomi
Indonesia merupakan salah satu yang paling menjanjikan di dunia. Selain
sebagai negara dengan ekonomi terbesar se-Asia Tenggara, Indonesia juga
merupakan negara yang sangat luas dengan 238 juta penduduk serta diperkirakan
oleh McKinsey akan berada di peringkat ketujuh negara dengan ekonomi terbesar
di dunia pada 2030.
Artinya pada
saat itu negara ini akan ada di depan negara-negara maju lain seperti Jerman
dan Inggris. Namun, hal tersebut masih jauh dan memiliki arti kecil bagi
sebagian penduduk Indonesia yang masih mengalami kesulitan saat ini. Akses
layanan keuangan dasar merupakan hambatan utama Indonesia yang memiliki
17.000 pulau, di mana luas wilayah dan penyebaran penduduk yang tidak merata
merupakan tantangan dalam pembangunan infrastruktur, sehingga membatasi akses
layanan perbankan formal ataupun hubungan sederhana sekalipun dengan sebuah
lembaga keuangan.
Seperti yang
diungkapkan dalam penelitian MasterCard baru-baru ini, ”ROAD TO INCLUSION: A look at the Financially Excluded and
Underserved”, bahwa masih banyak penduduk pinggiran-kota dan pedesaan di
Indonesia lebih memilih metode tradisional dalam menyimpan uang seperti
tabungan di tokoh masyarakat atau sistem arisan. Dan saat sejumlah orang
telah memiliki akses terhadap rekening bank, ternyata masih banyak dari
mereka justru tidak percaya terhadap bank.
Salah satu
contohnya adalah Susi Indah, warga Indonesia berumur 37 tahun, dulu memiliki
rekening bank untuk menyimpan semua tabungannya. Tiga tahun yang lalu, Susi
memiliki uang sebesar Rp 35 juta di bank. Dia lalu menarik hampir semua uang
tersebut ketika membangun rumahnya dan menyisakan sekitar Rp1-2 juta di
rekening. Tidak menyadari akan adanya biaya administrasi bank, dia mengklaim
bahwa ”uangnya mulai menghilang” tanpa ada penjelasan. Kejadian ini
membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap bank dan membuatnya tidak
menggunakan jasa lembaga keuangan lagi.
Telah diakui
bahwa dengan menghantarkan inklusi keuangan yang lebih besar ke Indonesia
akan membantu perkembangan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Gates Foundation, seperti yang
dipublikasikan oleh McKinsey, menunjukkan bahwa ekonomi dengan penetrasi
pembayaran elektronik yang lebih tinggi akan tumbuh lebih cepat dibandingkan
yang tidak. Para pembuat kebijakan semakin menyadari bahwa pasar keuangan
yang dapat menjangkau semua orang akan lebih efektif dan efisien dibandingkan
kebijakan yang lain.
Sejalan dengan
hal ini, pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia baru-baru ini
meluncurkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di Jakarta. Pencanangan
dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis dan juga
lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran nontunai dalam
melakukan transaksi keuangan, yang tentunya mudah, aman, dan efisien (sumber:
http://www.bi.go.id ).
Langkah
pertama dalam inklusi keuangan adalah menyediakan identitas khusus kepada
para pelanggan, berdasarkan pada layanan keuangan mana yang dapat diberikan
serta akhirnya terkait dengan rekening pembayaran. Salah satu contoh manfaat
dari kartu debit prabayar dapat dilihat di Afrika Selatan, di mana mereka
biasa menyalurkan bantuan sosial dan membuat pemerintah setempat dapat
menghemat jutaan dolar. Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara
yang menggunakan sistem identitas nasional terbesar di dunia, yaitu e-KTP,
yang telah sukses mendistribusikan 147 juta kartu identitas ke penduduk.
Melalui kartu
ini, terdapat potensi untuk menghubungkan e-KTP ke berbagai program
pemerintah dengan menjadikannya sebagai alat pembayaran, daripada menyalurkan
dana bantuan dalam bentuk tunai. Hal ini membutuhkan sebuah kartu pembayaran
yang terhubung dengan rekening bank yang memiliki potensi untuk memberikan layanan
keuangan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dari sini kemudian pihak bank
dapat memperkenalkan layanan baru kepada para nasabah, dengan setahap demi
setahap mulai melakukan aktivitas lanjutan seperti membayar tagihan,
mengajukan kredit, menabung, meminjam, dan melakukan investasi.
Perangkat
seluler nampaknya akan memainkan peran penting di negara berkembang seperti
Indonesia, di mana lebih banyak orang memiliki telepon seluler dibandingkan
rekening bank. Teknologi seluler dapat menjadi tulang punggung layanan
keuangan dasar yang sebagian besar dari kita sering meremehkannya. Saat ini
sekitar 2,5 miliar orang di dunia belum memiliki rekening bank. Dari jumlah
tersebut, setidaknya sebanyak 1,5 miliar orang telah memiliki telepon
seluler.
Saat ini hanya
20% dari orang Indonesia yang memiliki akses ke layanan keuangan, dan sangat
banyak orang yang tinggal jauh dari cabang bank terdekat. Penetrasi kartu
debit di Indonesia kurang lebih 30%, namun mayoritas terletak di wilayah
perkotaan, di mana seseorang dapat memiliki lebih dari satu rekening.
Sementara itu, hanya 6% yang memiliki kartu kredit.
Di lain pihak,
lebih dari 90% dari penduduk Indonesia memiliki telepon seluler dan hal
tersebut menunjukkan kesempatan yang besar bagi transaksi elektronik melalui
perangkat seluler (mobile commerce)
dan kemampuan untuk mengakses sarana-sarana keuangan.
Jadi, seperti
apa inklusi keuangan di negara berkembang seperti Indonesia? Pertama-tama
mari kita dari memahami bahwa hal ini bukan mengenai jarak kantor cabang
sebuah bank yang kemungkinan cukup jauh dari tempat tinggal.
Sebaliknya,
hal ini mengenai tempat yang lebih aman untuk menyimpan uang dibandingkan di
lemari dapur atau di bawah bantal serta cara yang lebih baik dalam menelusuri
jejak pengeluaran. Inklusi keuangan adalah bagaimana memperoleh akses yang
lebih aman, tanpa melibatkan uang tunai dan pembayaran dalam bentuk
elektronik seperti kartu debit, kredit, atau prabayar. Inklusi keuangan
adalah bagaimana menciptakan kesempatan bagi banyak orang untuk memanfaatkan
keterampilan dan sumber daya mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.
Inovasi dalam
teknologi pembayaran-prabayar dan perangkat seluler digabung dengan
biometrik--memainkan peran kunci di mana hal tersebut dapat dengan cepat menjembatani
jarak antara sektor formal layanan keuangan dengan jutaan orang
berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses ke layanan keuangan.
Indonesia tentunya akan mendapatkan keuntungan dari cara-cara nontradisional
tersebut untuk memperluas pembayaran nontunai (cashless).
Beberapa
penyedia pembayaran telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi untuk
mengembangkan dompet digital (digital
wallet), walaupun untuk sekarang sistem ini masih terbatas pada
perusahaan yang bekerja sama. Inisiatif lain di Indonesia yaitu program kartu
virtual yang memungkinkan berbagai jenis pembayaran serta upaya-upaya dari
bank untuk mempromosikan penggunaan kartu debit di setiap titik pembayaran (point of sale).
Pada saat yang
sama terdapat banyak kesempatan untuk pengembangan program baru, mulai dari
adopsi pemerintah yang lebih besar terhadap layanan elektronik (e-Services) dan pembayaran, menuju
penerapan program prabayar ”open loop”
yang sudah biasa digunakan di negara-negara ASEAN lain untuk mendukung
perluasan layanan keuangan kepada pengguna telepon seluler yang tidak
memiliki rekening di bank sertajugapelaksanaanprogramprogram pemerintah
termasuk pembayaran gaji. Dengan masa depan ekonomi yang kuat,
program-program ini dapat terus mendukung perkembangan ekonomi dan inklusi di
Indonesia.
Eksklusi
(ketiadaan akses terhadap lembaga) keuangan dapat melanggengkan kemiskinan.
Hal ini juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menyediakan layanan
keuangan dasar bagi orangorang yang selama ini tidak memiliki akses perbankan
akan menciptakan kesempatan yang sangat berarti bagi masyarakat yang tinggal
di negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk memberi sumbangsih bagi
pertumbuhan ekonomi.
Sisi
positifnya adalah hal tersebut diketahui oleh hampir semua pembuat kebijakan
kunci dan pemain pasar bahwa inklusi keuangan merupakan sesuatu yang harus
dijalankan di Indonesia. Tidak ada lagi pertanyaan mengenai ‘apa’ dan ‘jika’,
melainkan pertanyaan mengenai ‘kapan ’. Dengan pemerintah baru yang memiliki
agenda reformasi yang positif, masa depan perkembangan inklusi keuangan di
Indonesia akan sangat menjanjikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar