Menegakkan
Politik Moralitas
Abdul Ghopur ;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian
Strategis Bangsa,
Intelektual muda Nadhlatul Ulama
|
SINAR
HARAPAN, 24 September 2014
Di mana dan apa
sejatinya yang harus dilakukan pegiat gerakan masyarakat sipil (civil social movement) di tengah
munculnya distrust society dan
keputusasaan terhadap kaum (elite) tua yang diangap tidak mampu menyelesaikan
krisis bangsa ini? Apakah itu harus memilih gerakan “moral” atau “politik”.
Ini adalah dua
pertanyaan yang menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang moralitas dan
politik. Penghadapan kedua istilah tersebut mengesankan (seolah-olah) gerakan
politik tidak mengandung muatan moral. Sementara itu, gerakan moral tak
mengandung muatan politik (M Yudhie Haryono, 2007).
Sejatinya,
politik adalah suatu karsa menegakkan moralitas dan rasionalitas publik.
Berpolitik adalah tindakan kalkulatif yang berdasar logika ilmiah; bersifat
dari, oleh, dan untuk manusia. Inilah yang membedakannya dari kehidupan hewan
atau binatang.
Keutamaan
manusia adalah karena nalar dan rasionya. Kecenderungan membelah istilah
“politik” dan “moral” juga sering terjadi ketika orang Indonesia berbicara
tentang legitimasi. Dikatakan bahwa Si Pulan sudah tidak memiliki legitimasi
“politik” dan legitimasi “moral”. Padahal dalam literatur ilmu politik
moralitas, aktor politik merupakan salah satu bantalan vital dari legitimasi
politik selain faktor ideologis, kuantitas dukungan, serta kapasitas
menjalankan efektivitas pemerintahan.
Inilah dua
pertanyaan penting yang harus segera dijawab, berkenaan dengan “kematian
gerakan masyarakat sipil”. Ini karena proses transisi demokrasi, yang
seakan-akan telah memberikan “tiket gratis” bagi partai politik (parpol)
untuk menyelesaikan agenda reformasi.
Mengasah nalar
politik (political instinc) dan
memotivasi gerakan sosial masyarakat di Tanah Air dengan demikian menjadi
sangat relevan dan penting. Hal ini memerlukan pembacaan naluri publik yang
tajam.
Untuk
membangun nalar politik publik yang tajam, diandaikan ada pembelajaran
politik (civic education) bagi
masyarakat. Dengan begitu, tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973),
merupakan salah satu human condition
yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara
berkeadaban (civic).
Menurut Hannah
Arendt (1977), human condition
terdiri atas tiga hal, yaitu work,
labor, dan action. Work merujuk ke pengoperasian
sarana-sarana indrawi baik dalam bentuk “kerja mental” ataupun “kerja fisik”.
Labor merujuk ke tindakan manusia
sebagai homo faber (pembuat alat)
yang berbasis keterampilan. Sementara itu, action merujuk ke tindakan bersama sebagai konsekuensi dari
manusia sebagai zoon politicon.
Arendt
menuliskan, “Menjadi warga politik
berarti hidup di dalam suatu polis, tempat segala sesuatu diselesaikan lewat
argumentasi dan persuasi, bukan lewat kekerasan dan paksaan.”
Dalam tradisi
Yunani, memaksa orang lewat kekerasan—kebiasaan mengomando ketimbang
membujuk—dinilai sebagai cara prapolitik yang dinisbatkan kepada
karakterisitik orang-orang yang hidup di luar polis. Kata “politik” dengan
demikian menyiratkan kehidupan ideal yang diimpikan. Bila saat ini politik
menjadi kata yang berlumuran caci–maki dan terkesan hampa moralitas, pastilah
ada yang tidak beres dalam sejarah kehidupan politik kita.
Oleh karena
itu, pembelajaran politik bisa dimulai dari membangun kesadaran moral (moral consciousness atau moral conscience) terhadap hak
individu dan hak publik. Tentu saja hak itu disertai kewajiban yang harus
dilaksanakan dalam bermasyarakat dan bernegara. Hak individu merupakan hak
setiap individu yang wajib dilindungi dan dijamin negara melalui
undang-undang (UU) yang berlaku.
Hak individu,
misalkan, hak dasar mendapatkan sandang, pangan, dan papan secara layak.
Sementara itu, hak publik seperti hak mendapatkan pendidikan yang layak,
persamaan di mata hukum, berkumpul dan berserikat, mengemukakan pendapat baik
lisan maupun tulisan yang dijamin UU, memperoleh serta mengakses informasi
publik secara luas, memperoleh bantuan dalam bentuk subsidi bagi rakyat yang
kurang mampu, termasuk hak mendapatkan berbagai sarana dan prasarana/fasilitas
publik secara mudah.
Namun untuk
mewujudkan itu semua, pertama, masyarakat terutama lapisan sosial paling
bawah mesti dibangkitkan memori kolektifnya (collective memory) akan peran dan fungsi dalam kehidupan
sosial/komunitas sosial (social community).
Kedua, memori kolektif masyarakat dibangun guna mengonstruksi kesadaran
individu menjadi kesadaran kolektif (from
individual conciousness to collective consciousness).
Studi dari
Eyerman dan Jamison (1991: 56) menemukan, ada beberapa pola perkembangan
gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial tumbuh melalui semacam siklus hidup (life cycle) dari tahap persiapan (gestation), disusul tahap pembentukan
(formation), menuju tahap
konsolidasi (consolidation).
Gerakan sosial jarang muncul secara spontan, tetapi memerlukan jangka waktu
persiapan.
Kedua, tidak
ada gerakan sosial yang berhasil tanpa tersedianya “kesempatan politik” (political opportunity), konteks
ketertampungan masalah-masalah sosial, serta konteks komunikasi yang membuka
kemungkinan bagi artikulasi masalah dan penyebarluasan gagasan.
Ketiga,
gerakan sosial tidak dapat hadir, kecuali ada individu-individu yang siap
mengambil bagian di dalamnya, yang bersedia mentransformasikan masalah
pribadi menjadi masalah publik dan mau terlibat dalam pembentukan identitas
kolektif.
Akan tetapi,
memasifkan gerakan sosial tersebut tidak cukup mengandalkan kesadaran sosial
kolektif, apalagi hanya mengandalkan kesalehan sosial (social cincerity). Masyarakat harus berkesadaran politik (political consciousness), di samping
berkesadaran hukum.
Apalagi di
tengah maraknya kasus korupsi dan penegakan hukum yang setengah hati,
kesadaran politik maupun hukum bagi masyarakat menjadi sangat penting.
Masyarakat yang berkesadaran politik tinggi dan diiringi kesadaran mematuhi
aturan hukum akan mampu menjalankan fungsi serta peran sosialnya (social function).
Keadaan harus
segera diubah demi terciptanya masyarakat sipil yang kuat dan berkeadaban (strong and civic society). Nalar
politik rakyat juga harus semakin diasah dan dipertajam.
Pendidikan
yang mencerahkan (aufklarung) dan
membebaskan merupakan jawaban dalam mengasah nalar politik dan membaca naluri
publik. Pendidikan politik (civic
education) harus dimulai sedini mungkin dari usia dini, di mana tiap
orang memahami hak dan tanggung jawabnya masing-masing.
Hak dan
tanggung jawab bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan satu
sama lain. Keduanya merupakan satu pertautan dan kesatuan yang saling
bersinergi. Tidak ada kebebasan yang satu mengganggu kebebasan yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar