Senin, 22 September 2014

Museum ARMA, Ubud, Bali. Tanggal 19 Juni.

Museum ARMA, Ubud, Bali. Tanggal 19 Juni.

Jean Couteau  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 21 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Malam telah tiba. Aku berdiri tegak, berhadapan 300-an orang yang duduk nyaman di depanku ini. Riuh rendah suara para hadirin sudah mulai surut. Mereka sudah diam, siap mendengar, mendengarkan aku. Ya! Aku.

Aku berdehem. Cewek pembawa acara baru memanggil namaku. Aku melangkah, mengambil mike, siap berbicara. Aku tahu bahwa suaraku, yang dalam itu, akan bergema, mengisi ruang terbuka hingga ke puncak pohon kelapa di ujung taman yang indah nun sana. Wah!

Namun, aku merasa kikuk. Posisiku memang tidak semudah biasanya. Pada galibnya, apa pun yang aku katakan, suaraku bagaimanapun akan bergemuruh, suku-katanya akan kulafalkan dengan baik satu per satu, demi memberikan kesan arti yang dahsyat, meskipun belum tentu.

Tetapi kali ini tantangan untukku lebih sulit. Tadi, aku diajak duduk di kursi terdepan, di samping sederet penglingsir (tetua) puri. Maka aku terus mengangguk-angguk, sok berwibawa. Lebih berat lagi, tokoh yang baru memberikan sambutan sebelum aku, adalah GM. Ya, Mas Gun itu sendiri, esais tersohor negeri ini, yang telah kuundang khusus agar menjadi sainganku. Saingan dalam menyanjung keadiluhungan seniman I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), yang bukunya malam ini kami luncurkan.

Aku berdehem lagi. Puncak ujianku telah tiba. Aku angkat bicara. ”Bapak-Bapak, Ibu-Ibu”. Aku tahu pidatoku tak ada isinya: Aku tengah menyatakan betapa aku menghormati semua tokoh yang berkenan hadir pada acara ini. Mereka tetap diam. Bahkan seorang pejabat, sebut saja IGP, di depanku, masih terlihat menggaruk-garuk dagunya. Sebentar lagi dia pasti menguap. Yang pokok, pidatoku ini dapat mendistribusi gengsi dengan tepat, yaitu mempertegas status sosial para hadirin: pertama para pejabat, lalu para penglingsir puri, para bule agung, para profesor, hingga akhirnya kaum kroco-kroco yang terus berkicau di belakang sana. Tak perlu sebut jelatanya.

Kini sudah tiba saatnya aku masuk ke pokok sambutanku ini: kebesaran I Gusti Nyoman Lempad. Lempad—aku menghela napas—adalah sosok seniman yang tidak ada duanya di dalam sejarah seni rupa Bali. Berakar pada tradisi, dia mampu melampaui tradisi tersebut—suaraku melantun. Aku teruskan, ”Tarikan pensilnya mengikuti logika garis itu sendiri….” Bak deruan mesin, kalimat-kalimatku terus mengalir lancar. Cuma, yang aku katakan memang tepat, tetapi banal. Kalah dibandingkan dengan GM tadi, yang telah mempertentangkan lekuk garisnya Lempad dengan ”patah”nya garis Picasso. Betul-betul jago si GM!! Meskipun demikian aku teruskan, ”Berkat pertemuan dengan Walter Spies, bla-bla-bla….”

Suaraku tiba-tiba terputus. Dari pojok benakku telah muncul bermacam-macam pertanyaan: ngapain aku di sini, menggurui kaum ”pribumi” tentang keindahan seninya, seakan-akan aku berhak menahbiskan seorang seniman Bali menjadi maestro internasional. Atas nama apa kulakukan ini? Apakah atas nama ”universalisme”, ditopang oleh talentaku? Tanyakan saja kepada Foucault, Derrida, dan Edward Said! Sudah lama mereka membuktikan bahwa universalisme itu semu. Adapun talentaku, izinkanlah aku untuk meragukannya (???).

Tetapi, kalau begitu, kenapa aku kerap diminta berpendapat tentang ini atau itu di aneka media? Jangan-jangan lantaran aku ”bule”, atau, di dalam bahasa orang-orang pintar, lantaran ”dominasi struktural” Barat? Bisa jadi! Tetapi, jika Anda mengira hal ini mempermudah posisiku, Anda keliru: aku menjadi—atau dijadikan—penyebar dari suatu ”(pseudo) universalisme global” yang aku sendiri tidak meyakini kemaslahatan.

Denpasar, tanggal 18 September. Anda bisa menduga betapa aku sulit menutup pidatoku tanggal 19 Juni lalu itu, dengan aneka ide yang bertabrakan di otakku seperti di atas itu, sedangkan aku harus terus berbicara. Kalau tidak salah mengingat, aku akhirnya menganjurkan agar dianggap sebagai manusia ”pasca kolonial” yang sudah pantas mundur untuk digantikan oleh cendekiawan pribumi yang muda…

Tetapi apakah anak-anak muda itu akan berani mengatakan bahwa pidato mereka berfungsi mempertegas jarak sosial, atau bahwa diri mereka telah dijadikan alat dari dominasi struktural ini atau itu tanpa mereka sadari? Mudah-mudahan mereka bukan hanya sadar, tetapi juga berani. Sementara ini, biar aku terus merajalela. He-he-he. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar