Museum
ARMA, Ubud, Bali. Tanggal 19 Juni.
Jean Couteau ;
Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2014
Malam telah tiba. Aku berdiri tegak,
berhadapan 300-an orang yang duduk nyaman di depanku ini. Riuh rendah suara
para hadirin sudah mulai surut. Mereka sudah diam, siap mendengar,
mendengarkan aku. Ya! Aku.
Aku berdehem. Cewek pembawa acara baru
memanggil namaku. Aku melangkah, mengambil mike,
siap berbicara. Aku tahu bahwa suaraku, yang dalam itu, akan bergema, mengisi
ruang terbuka hingga ke puncak pohon kelapa di ujung taman yang indah nun
sana. Wah!
Namun, aku merasa kikuk. Posisiku memang
tidak semudah biasanya. Pada galibnya, apa pun yang aku katakan, suaraku
bagaimanapun akan bergemuruh, suku-katanya akan kulafalkan dengan baik satu
per satu, demi memberikan kesan arti yang dahsyat, meskipun belum tentu.
Tetapi kali ini tantangan untukku lebih
sulit. Tadi, aku diajak duduk di kursi terdepan, di samping sederet
penglingsir (tetua) puri. Maka aku terus mengangguk-angguk, sok berwibawa.
Lebih berat lagi, tokoh yang baru memberikan sambutan sebelum aku, adalah GM.
Ya, Mas Gun itu sendiri, esais tersohor negeri ini, yang telah kuundang
khusus agar menjadi sainganku. Saingan dalam menyanjung keadiluhungan seniman
I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978), yang bukunya malam ini kami luncurkan.
Aku berdehem lagi. Puncak ujianku telah
tiba. Aku angkat bicara. ”Bapak-Bapak, Ibu-Ibu”. Aku tahu pidatoku tak ada
isinya: Aku tengah menyatakan betapa aku menghormati semua tokoh yang
berkenan hadir pada acara ini. Mereka tetap diam. Bahkan seorang pejabat,
sebut saja IGP, di depanku, masih terlihat menggaruk-garuk dagunya. Sebentar
lagi dia pasti menguap. Yang pokok, pidatoku ini dapat mendistribusi gengsi
dengan tepat, yaitu mempertegas status sosial para hadirin: pertama para
pejabat, lalu para penglingsir puri, para bule agung, para profesor, hingga
akhirnya kaum kroco-kroco yang terus berkicau di belakang sana. Tak perlu
sebut jelatanya.
Kini sudah tiba saatnya aku masuk ke pokok
sambutanku ini: kebesaran I Gusti Nyoman Lempad. Lempad—aku menghela
napas—adalah sosok seniman yang tidak ada duanya di dalam sejarah seni rupa
Bali. Berakar pada tradisi, dia mampu melampaui tradisi tersebut—suaraku
melantun. Aku teruskan, ”Tarikan pensilnya mengikuti logika garis itu
sendiri….” Bak deruan mesin, kalimat-kalimatku terus mengalir lancar. Cuma,
yang aku katakan memang tepat, tetapi banal. Kalah dibandingkan dengan GM
tadi, yang telah mempertentangkan lekuk garisnya Lempad dengan ”patah”nya
garis Picasso. Betul-betul jago si GM!! Meskipun demikian aku teruskan,
”Berkat pertemuan dengan Walter Spies, bla-bla-bla….”
Suaraku tiba-tiba terputus. Dari pojok
benakku telah muncul bermacam-macam pertanyaan: ngapain aku di sini,
menggurui kaum ”pribumi” tentang keindahan seninya, seakan-akan aku berhak
menahbiskan seorang seniman Bali menjadi maestro internasional. Atas nama apa
kulakukan ini? Apakah atas nama ”universalisme”, ditopang oleh talentaku?
Tanyakan saja kepada Foucault, Derrida, dan Edward Said! Sudah lama mereka
membuktikan bahwa universalisme itu semu. Adapun talentaku, izinkanlah aku
untuk meragukannya (???).
Tetapi, kalau begitu, kenapa aku kerap
diminta berpendapat tentang ini atau itu di aneka media? Jangan-jangan
lantaran aku ”bule”, atau, di dalam bahasa orang-orang pintar, lantaran
”dominasi struktural” Barat? Bisa jadi! Tetapi, jika Anda mengira hal ini
mempermudah posisiku, Anda keliru: aku menjadi—atau dijadikan—penyebar dari suatu
”(pseudo) universalisme global” yang aku sendiri tidak meyakini kemaslahatan.
Denpasar, tanggal 18 September. Anda bisa
menduga betapa aku sulit menutup pidatoku tanggal 19 Juni lalu itu, dengan
aneka ide yang bertabrakan di otakku seperti di atas itu, sedangkan aku harus
terus berbicara. Kalau tidak salah mengingat, aku akhirnya menganjurkan agar
dianggap sebagai manusia ”pasca kolonial” yang sudah pantas mundur untuk
digantikan oleh cendekiawan pribumi yang muda…
Tetapi apakah anak-anak muda itu akan
berani mengatakan bahwa pidato mereka berfungsi mempertegas jarak sosial,
atau bahwa diri mereka telah dijadikan alat dari dominasi struktural ini atau
itu tanpa mereka sadari? Mudah-mudahan mereka bukan hanya sadar, tetapi juga
berani. Sementara ini, biar aku terus merajalela. He-he-he. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar