Tentang
Manusia dan Kebudayaan
Bre Redana ;
Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2014
Menerima undangan dari perusahaan ternama
di Swedia, sejak pertama yang menggelitik adalah pertanyaan: bagaimana relasi
antara individu dan perusahaan. Atau lebih rinci: bagaimana hubungan antara
pendiri dan perusahaan sampai perusahaannya sanggup membesar? Bagaimana
nilai, visi, dan pandangan hidup si pendiri ditularkan? Kemudian diwariskan?
Itu yang sebagian ada di otak ketika
bersama sejumlah wartawan mengunjungi kota kecil bernama Almhult, Swedia,
yang menjadi jantung perusahaan furnitur Ikea. Setelah membuka tokonya di
beberapa kota besar di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Bangkok, tidak
lama lagi mereka akan membuka toko di Jakarta.
Sebagai kota kecil— Anda bisa berjalan
sepanjang 5 kilometer tanpa ketemu orang— praktis Almhult hanya hidup karena
perusahaan itu. Oleh penulis biografi pendiri Ikea, Ingvar Kamprad, yakni
Bertil Torekull, daerah pedesaan ini dilukiskan keras dan tanahnya mengandung
banyak batu. Di sini, soal bertahan hidup atau survival tidak bisa disikapi
sembarangan. Melalui pergulatan yang keras, akhirnya di situ bukan hanya
bunga tumbuh, melainkan juga gagasan dan perusahaan.
Pesan
Natal
Ingvar Kamprad lahir di desa kecil di dekat
Alhmhult. Dalam usia 88 tahun sekarang, ia masih aktif. Setiap Natal, ia
hadir memberi pesan yang ditunggu semua karyawannya. Selain itu, juga pelukan
hangatnya.
Sejak kecil ia gemar berjualan. Dia menjual
apa saja. Dalam biografinya, ia mengenang, ketika neneknya meninggal,
ditemukan berbagai barang yang disimpan sang nenek, seperti kartun dan pena.
Barang-barang itulah yang dibeli sang nenek dulu ketika si cucu belajar
berjualan.
Kehangatan keluarga ini yang membentuk
Ingvar. Pelanggan pertamanya adalah ayah, ibu, nenek dari kedua belah pihak,
serta sanak saudara lainnya. Oleh karena itu, ketika di kemudian hari ia
membentuk perusahaan (dia mendirikan perusahaan pada umur 17 tahun), ia
menganggap: keluarga adalah perusahaan, atau sebaliknya, perusahaan adalah
keluarga. Ia ingin mentransformasikan nilai-nilai kekeluargaan dan
kesederhanaan berupa sikap saling tolong-menolong, hemat, dan tanggung jawab.
Pesan Natal-nya setiap tahun selalu
didahului dengan sapaan seorang ayah kepada anak-anaknya: ”Yang tercinta
keluarga Ikea, peluk hangat untuk kalian semua.” Kemudian ucapan terima kasih
atas dukungan semua karyawan melampaui saat-saat yang berat.
Desain
demokratik
Toko pertama dibuka di Almhult tahun 1958.
Diuntungkan, termasuk oleh kesempatan sejarah, antara lain kemajuan Swedia
waktu itu, Ikea menjadi besar. Dari pengamatan dan pergulatannya sejak remaja
dalam
jual-beli dan pengiriman barang, Ingvar
membuat semacam ”revolusi” dalam bisnis furnitur. Barang bisa Anda rakit
sendiri dan pengepakan flat alias rata sehingga memudahkan pengangkutan.
Sistem pengemasan seperti itu bisa menekan biaya karena volume mengecil.
Barang berkualitas serta mudah dan bisa dijangkau sebanyak-banyaknya orang
menjadi tujuan Kamprad.
Setahap demi setahap, dia rumuskan apa yang
ia lakoni. Dalam hal desain, dia memberi sebutan democratic design. Asasnya lima: bentuk, fungsi, kualitas, murah,
dan memperhitungkan keberlangsungan hidup (sustainability).
Visi dia luaskan, tak sekadar jualan
furnitur, tetapi juga menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi
banyak orang. Setiap komponen perusahaan diharapkan menjadi semacam edukator
bagi masyarakat untuk menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik.
Level-level
perusahaan
Tidak ada yang namanya usaha melulu lancar,
tanpa jatuh bangun. Ketika pemasukan turun, kompetisi dengan perusahaan lain
mengancam, terkuak perspektif baru: ada sesuatu yang lebih utama daripada
uang. Apa itu? Relasi antara perusahaan dan kebutuhan masyarakat (baca rumah
tangga atau keluarga). Itulah yang mereka hendak jawab, antara lain dengan
mengarahkan usaha untuk menjadikan tempat tinggal sebagai people’s home atau rumah, bukan
sekadar tempat tinggal.
Merefleksikan perkembangan perusahaannya,
Ingvar mengategorisasikan dalam langkah-langkah. Langkah pertama adalah
ketika ini masih bisnis satu orang. Langkah kedua dengan lima orang. Langkah
ketiga dengan karyawan antara 6 orang dan 15 orang. Langkah keempat dengan
ribuan karyawan sampai kemudian tak terbatas.
Hanya saja, pada level apa pun—sampai level
surga ketujuh sekalipun—sikap kita jangan berubah: relasi dalam perusahaan
tetap seperti pada level kedua dan level ketiga. Jaga terus atmosfer
kekeluargaan.
Ingvar menghindari go public. Dia ingin menjaga perusahaan mampu menghidupi dirinya
sendiri tanpa intervensi pihak luar yang hanya berurusan dengan
penggelembungan kapital. Sebab, baginya, perusahaan bukan hanya soal uang,
melainkan juga tentang manusia, gagasan, sejarah, dan kebudayaan. Dia sadar
betul nilai-nilai itu tidak boleh berubah, harus tetap hidup.
Kemunduran perusahaan umumnya memang pada
soal pewarisan nilai-nilai itu. Ketika generasi berikutnya hanya menghafal
nilai perusahaan sebagai slogan dan pikirannya melulu uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar