Senin, 22 September 2014

Tentang Manusia dan Kebudayaan

Tentang Manusia dan Kebudayaan

Bre Redana  ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
KOMPAS, 21 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Menerima undangan dari perusahaan ternama di Swedia, sejak pertama yang menggelitik adalah pertanyaan: bagaimana relasi antara individu dan perusahaan. Atau lebih rinci: bagaimana hubungan antara pendiri dan perusahaan sampai perusahaannya sanggup membesar? Bagaimana nilai, visi, dan pandangan hidup si pendiri ditularkan? Kemudian diwariskan?

Itu yang sebagian ada di otak ketika bersama sejumlah wartawan mengunjungi kota kecil bernama Almhult, Swedia, yang menjadi jantung perusahaan furnitur Ikea. Setelah membuka tokonya di beberapa kota besar di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Bangkok, tidak lama lagi mereka akan membuka toko di Jakarta.

Sebagai kota kecil— Anda bisa berjalan sepanjang 5 kilometer tanpa ketemu orang— praktis Almhult hanya hidup karena perusahaan itu. Oleh penulis biografi pendiri Ikea, Ingvar Kamprad, yakni Bertil Torekull, daerah pedesaan ini dilukiskan keras dan tanahnya mengandung banyak batu. Di sini, soal bertahan hidup atau survival tidak bisa disikapi sembarangan. Melalui pergulatan yang keras, akhirnya di situ bukan hanya bunga tumbuh, melainkan juga gagasan dan perusahaan.

Pesan Natal

Ingvar Kamprad lahir di desa kecil di dekat Alhmhult. Dalam usia 88 tahun sekarang, ia masih aktif. Setiap Natal, ia hadir memberi pesan yang ditunggu semua karyawannya. Selain itu, juga pelukan hangatnya.

Sejak kecil ia gemar berjualan. Dia menjual apa saja. Dalam biografinya, ia mengenang, ketika neneknya meninggal, ditemukan berbagai barang yang disimpan sang nenek, seperti kartun dan pena. Barang-barang itulah yang dibeli sang nenek dulu ketika si cucu belajar berjualan.

Kehangatan keluarga ini yang membentuk Ingvar. Pelanggan pertamanya adalah ayah, ibu, nenek dari kedua belah pihak, serta sanak saudara lainnya. Oleh karena itu, ketika di kemudian hari ia membentuk perusahaan (dia mendirikan perusahaan pada umur 17 tahun), ia menganggap: keluarga adalah perusahaan, atau sebaliknya, perusahaan adalah keluarga. Ia ingin mentransformasikan nilai-nilai kekeluargaan dan kesederhanaan berupa sikap saling tolong-menolong, hemat, dan tanggung jawab.

Pesan Natal-nya setiap tahun selalu didahului dengan sapaan seorang ayah kepada anak-anaknya: ”Yang tercinta keluarga Ikea, peluk hangat untuk kalian semua.” Kemudian ucapan terima kasih atas dukungan semua karyawan melampaui saat-saat yang berat.

Desain demokratik

Toko pertama dibuka di Almhult tahun 1958. Diuntungkan, termasuk oleh kesempatan sejarah, antara lain kemajuan Swedia waktu itu, Ikea menjadi besar. Dari pengamatan dan pergulatannya sejak remaja dalam
jual-beli dan pengiriman barang, Ingvar membuat semacam ”revolusi” dalam bisnis furnitur. Barang bisa Anda rakit sendiri dan pengepakan flat alias rata sehingga memudahkan pengangkutan. Sistem pengemasan seperti itu bisa menekan biaya karena volume mengecil. Barang berkualitas serta mudah dan bisa dijangkau sebanyak-banyaknya orang menjadi tujuan Kamprad.

Setahap demi setahap, dia rumuskan apa yang ia lakoni. Dalam hal desain, dia memberi sebutan democratic design. Asasnya lima: bentuk, fungsi, kualitas, murah, dan memperhitungkan keberlangsungan hidup (sustainability).

Visi dia luaskan, tak sekadar jualan furnitur, tetapi juga menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik bagi banyak orang. Setiap komponen perusahaan diharapkan menjadi semacam edukator bagi masyarakat untuk menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik.

Level-level perusahaan

Tidak ada yang namanya usaha melulu lancar, tanpa jatuh bangun. Ketika pemasukan turun, kompetisi dengan perusahaan lain mengancam, terkuak perspektif baru: ada sesuatu yang lebih utama daripada uang. Apa itu? Relasi antara perusahaan dan kebutuhan masyarakat (baca rumah tangga atau keluarga). Itulah yang mereka hendak jawab, antara lain dengan mengarahkan usaha untuk menjadikan tempat tinggal sebagai people’s home atau rumah, bukan sekadar tempat tinggal.

Merefleksikan perkembangan perusahaannya, Ingvar mengategorisasikan dalam langkah-langkah. Langkah pertama adalah ketika ini masih bisnis satu orang. Langkah kedua dengan lima orang. Langkah ketiga dengan karyawan antara 6 orang dan 15 orang. Langkah keempat dengan ribuan karyawan sampai kemudian tak terbatas.

Hanya saja, pada level apa pun—sampai level surga ketujuh sekalipun—sikap kita jangan berubah: relasi dalam perusahaan tetap seperti pada level kedua dan level ketiga. Jaga terus atmosfer kekeluargaan.

Ingvar menghindari go public. Dia ingin menjaga perusahaan mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa intervensi pihak luar yang hanya berurusan dengan penggelembungan kapital. Sebab, baginya, perusahaan bukan hanya soal uang, melainkan juga tentang manusia, gagasan, sejarah, dan kebudayaan. Dia sadar betul nilai-nilai itu tidak boleh berubah, harus tetap hidup.

Kemunduran perusahaan umumnya memang pada soal pewarisan nilai-nilai itu. Ketika generasi berikutnya hanya menghafal nilai perusahaan sebagai slogan dan pikirannya melulu uang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar