Rabu, 03 September 2014

Mewujudkan Koalisi tanpa Syarat

Mewujudkan Koalisi tanpa Syarat

Joko Wahyono  ;   Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 03 September 2014
                                      
                                                      

PASCAPUTUSAN Mahkamah Konstitusi, 21 Agustus lalu, presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK kini berhadapan dengan seluruh rakyat, baik yang memilih mereka maupun yang tidak. Semuanya harus dapat dirangkul. Berbagai perbedaan pandangan dan keterbelahan afiliasi pilihan politik harus bisa diakomodasi dengan cara komunikasi secara dialogis. Itu dimaksudkan sebagai landasan untuk membangun kekuatan civil society sebagai basis legitimasi bagi keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun mendatang.

Keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh susunan dan kinerja pemerintahan yang akan mereka bentuk. Pemerintahan haruslah efektif, yakni berdaya guna dan berhasil guna (Editorial MI, 1/8).

Jokowi berkomitmen akan membentuk kabinet profesional (berisi orang-orang yang ahli di bidangnya), ramping, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan skema sistem demokrasi presidensial. Komitmen lainnya kerja sama antarpartai yang sering disebut dengan `koalisi tanpa syarat'.

Sanggupkah Jokowi menuntaskan komitmen di tengah menguatnya pragmatisme politik di satu sisi dan defisit kepercayaan publik terhadap para pemimpin di sisi lain.Untuk memulihkan kepercayaan itu, yang dibutuhkan bukan hanya memimpin dengan baik, melainkan memimpin dengan kekuatan karak ter, kebesaran jiwa, kebernasan gagasan, dan keliaran visi perubahan. Kekuasaan harus dijadikan pintu masuk bagi upaya dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara sistemis.

Agenda tersembunyi

Opsi untuk membangun koalisi memang tidak dapat dihindari karena sistem kepartaian di parlemen yang terbangun dari hasil pemilu legislatif April lalu ialah sistem multipartai yang terfragmentasi. Karena itu, dengan segala kewenangan konstitusional yang dimiliki, Jokowi perlu membangun kekuatan di parlemen. Seperti diketahui, kekuatan partai pendukung Jokowi-JK di parlemen hanya 207 kursi (37%). Sementara itu, Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta menguasai 353 kursi (63%).

Untuk menjaga stabilitas politik sekaligus menambah daya dorong agenda-agenda pemerintahannya, kekuatan di parlemen minimal mencapai 50% lebih. Dikabarkan PAN dan Partai Demokrat sudah memberi sinyal akan merapat ke koalisi Jokowi-JK. Jika benar kedua partai itu bergabung, Jokowi di parlemen akan mendapat pasokan suara 7.59% (PAN) dan 10.19% (Demokrat), sehingga persentase dukungan koalisinya sudah lebih dari 50%. Kendati demikian, Jokowi harus mewaspadai kemungkinan adanya agenda tersembunyi di balik parpol-parpol yang bergabung dalam koalisinya. Sebab, jamak kita ketahui bahwa koalisi acap kali masih tunduk pada kepentingan sektarian parpol. Koalisi sarat dengan politik transaksi dan bagi-bagi jatah kursi kekuasaan (menteri).

Bahkan, dalam konteks untuk memenuhi kebutuhan finansial, parpol koalisi biasanya akan mencari-cari akses politik-ekonomi ke berbagai sumber keuangan negara lewat perburuan rente. Ketika parpol sudah terkartelisasi semacam itu, koalisi ha nya akan menjadi pergumulan politik terselubung untuk memobilisasi rente demi memelihara kelangsungan hidup kolektif parpol pendukung koalisi itu sendiri.

Tanpa syarat

Oleh karena itu, mewujudkan koalisi tanpa syarat menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa kalangan sudah banyak memberi masukan terkait koalisi tanpa syarat sebagai landasan bagi Jokowi dalam mem bangun pemerintahannya, selain berkiblat pada adagium `the right man in the right place' berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti profesional, berintegritas, berpenga laman, antikorupsi, mau bekerja, dan lain sebagainya. Kabinet peme rintahan Jokowi-JK harus diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap hidup self denial (ingkar terhadap diri sendiri), tidak mengharap atau menikmati balasan (rewards), per juangan, serta berani menunda kese nangan (to defer the gratification).

Mereka telah selesai dengan dirinya sendiri, selesai dengan urusan nafsu libidinal dunia materiil, pemenuhan kebutuhan keluarga, selesai dengan pujian, pencitraan, dan segala rupa penghargaan. Dengan demikian, mereka ketika menjadi menteri akan terbebas dari tekanan berbagai macam kepentingan, modal, harta (uang), status sosial, dan kekuasaan dari pihak mana pun sehingga benar-benar menjadi pengemban amanah rakyat yang diwakilinya. Jabatan baginya ialah pengabdian dan pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara atas dasar cinta dan kesetiaan untuk me layani kepentingan rakyat. Karakter ter sebut akan menjadi suluh bagi tegaknya mandat, moral, dan tanggung jawab. Ti dak hanya bersifat horizontal (hablu minannas), tetapi juga bersifat vertikal (hablu minal lah), sehingga akan mampu men jalankan perbuatan yang utama bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Kekuatan rakyat

Memang tidak ada jaminan koalisi tanpa syarat akan memuluskan jalan bagi agenda-agenda pemerintahan. Untuk itu, hal lain yang tidak boleh di lupakan, Jokowi harus menggunakan kekuatan utama yang telah menopang dan memilihnya sebagai presiden. Kekuatan tersebut ialah kekuatan rakyat (publik). Sebab, rakyatlah yang memiliki kedaulatan (kekuasaan). Keterpilihan Jokowi-JK adalah berkat dukungan, persetujuan, legitimasi, dan kepercayaan besar dari rakyat.

Kepercayaan itu tentu saja diberikan berdasarkan keyakinan bahwa mereka bakal mendengarkan aspirasi rakyat sekaligus mengimplementasikan aspirasi itu melalui program-program politiknya. Di sinilah Jokowi harus memastikan bahwa dukungan rakyat tersebut selalu mengalir terus menerus dalam rangka mempercepat terwujudnya agenda-agenda peme rintahannya. Di saat yang sama, dukungan dan kekuatan rakyat ini bisa menjadi `amunisi' yang ampuh untuk mengimbangi tekanan politik atau ketika berhadapan dengan parlemen dan parpol di luar koalisi.

Kita berharap agar segala tindakan Jokowi mengindikasikan bahasa kebebasan tanpa kepentingan, nothing to lose, alternatif, rekonstruktif, dan transformatif sebagai titik kisar bagi lahirnya sebuah perubahan yang berkemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar