Mewujudkan
Koalisi tanpa Syarat
Joko Wahyono ; Analis
Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 September 2014
PASCAPUTUSAN Mahkamah
Konstitusi, 21 Agustus lalu, presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK
kini berhadapan dengan seluruh rakyat, baik yang memilih mereka maupun yang
tidak. Semuanya harus dapat dirangkul. Berbagai perbedaan pandangan dan
keterbelahan afiliasi pilihan politik harus bisa diakomodasi dengan cara
komunikasi secara dialogis. Itu dimaksudkan sebagai landasan untuk membangun
kekuatan civil society sebagai
basis legitimasi bagi keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun
mendatang.
Keberhasilan mereka
sangat ditentukan oleh susunan dan kinerja pemerintahan yang akan mereka
bentuk. Pemerintahan haruslah efektif, yakni berdaya guna dan berhasil guna
(Editorial MI, 1/8).
Jokowi berkomitmen
akan membentuk kabinet profesional (berisi orang-orang yang ahli di
bidangnya), ramping, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan skema
sistem demokrasi presidensial. Komitmen lainnya kerja sama antarpartai yang
sering disebut dengan `koalisi tanpa syarat'.
Sanggupkah Jokowi
menuntaskan komitmen di tengah menguatnya pragmatisme politik di satu sisi
dan defisit kepercayaan publik terhadap para pemimpin di sisi lain.Untuk
memulihkan kepercayaan itu, yang dibutuhkan bukan hanya memimpin dengan baik,
melainkan memimpin dengan kekuatan karak ter, kebesaran jiwa, kebernasan
gagasan, dan keliaran visi perubahan. Kekuasaan harus dijadikan pintu masuk
bagi upaya dekonstruksi dan rekonstruksi tata kelola pemerintahan secara
sistemis.
Agenda tersembunyi
Opsi untuk membangun
koalisi memang tidak dapat dihindari karena sistem kepartaian di parlemen
yang terbangun dari hasil pemilu legislatif April lalu ialah sistem
multipartai yang terfragmentasi. Karena itu, dengan segala kewenangan
konstitusional yang dimiliki, Jokowi perlu membangun kekuatan di parlemen. Seperti
diketahui, kekuatan partai pendukung Jokowi-JK di parlemen hanya 207 kursi
(37%). Sementara itu, Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta menguasai
353 kursi (63%).
Untuk menjaga
stabilitas politik sekaligus menambah daya dorong agenda-agenda pemerintahannya,
kekuatan di parlemen minimal mencapai 50% lebih. Dikabarkan PAN dan Partai
Demokrat sudah memberi sinyal akan merapat ke koalisi Jokowi-JK. Jika benar
kedua partai itu bergabung, Jokowi di parlemen akan mendapat pasokan suara
7.59% (PAN) dan 10.19% (Demokrat), sehingga persentase dukungan koalisinya
sudah lebih dari 50%. Kendati demikian, Jokowi harus mewaspadai kemungkinan
adanya agenda tersembunyi di balik parpol-parpol yang bergabung dalam
koalisinya. Sebab, jamak kita ketahui bahwa koalisi acap kali masih tunduk
pada kepentingan sektarian parpol. Koalisi sarat dengan politik transaksi dan
bagi-bagi jatah kursi kekuasaan (menteri).
Bahkan, dalam konteks
untuk memenuhi kebutuhan finansial, parpol koalisi biasanya akan mencari-cari
akses politik-ekonomi ke berbagai sumber keuangan negara lewat perburuan
rente. Ketika parpol sudah terkartelisasi semacam itu, koalisi ha nya akan
menjadi pergumulan politik terselubung untuk memobilisasi rente demi
memelihara kelangsungan hidup kolektif parpol pendukung koalisi itu sendiri.
Tanpa syarat
Oleh karena itu,
mewujudkan koalisi tanpa syarat menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa kalangan
sudah banyak memberi masukan terkait koalisi tanpa syarat sebagai landasan
bagi Jokowi dalam mem bangun pemerintahannya, selain berkiblat pada adagium `the right man in the right place'
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti profesional, berintegritas,
berpenga laman, antikorupsi, mau bekerja, dan lain sebagainya. Kabinet peme
rintahan Jokowi-JK harus diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap hidup self denial (ingkar terhadap diri
sendiri), tidak mengharap atau menikmati balasan (rewards), per juangan, serta berani menunda kese nangan (to defer the gratification).
Mereka telah selesai
dengan dirinya sendiri, selesai dengan urusan nafsu libidinal dunia materiil,
pemenuhan kebutuhan keluarga, selesai dengan pujian, pencitraan, dan segala
rupa penghargaan. Dengan demikian, mereka ketika menjadi menteri akan terbebas
dari tekanan berbagai macam kepentingan, modal, harta (uang), status sosial,
dan kekuasaan dari pihak mana pun sehingga benar-benar menjadi pengemban
amanah rakyat yang diwakilinya. Jabatan baginya ialah pengabdian dan
pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara atas dasar cinta dan
kesetiaan untuk me layani kepentingan rakyat. Karakter ter sebut akan menjadi
suluh bagi tegaknya mandat, moral, dan tanggung jawab. Ti dak hanya bersifat
horizontal (hablu minannas), tetapi
juga bersifat vertikal (hablu minal lah),
sehingga akan mampu men jalankan perbuatan yang utama bagi masyarakat,
bangsa, dan negara.
Kekuatan rakyat
Memang tidak ada
jaminan koalisi tanpa syarat akan memuluskan jalan bagi agenda-agenda
pemerintahan. Untuk itu, hal lain yang tidak boleh di lupakan, Jokowi harus
menggunakan kekuatan utama yang telah menopang dan memilihnya sebagai
presiden. Kekuatan tersebut ialah kekuatan rakyat (publik). Sebab, rakyatlah
yang memiliki kedaulatan (kekuasaan). Keterpilihan Jokowi-JK adalah berkat
dukungan, persetujuan, legitimasi, dan kepercayaan besar dari rakyat.
Kepercayaan itu tentu
saja diberikan berdasarkan keyakinan bahwa mereka bakal mendengarkan aspirasi
rakyat sekaligus mengimplementasikan aspirasi itu melalui program-program
politiknya. Di sinilah Jokowi harus memastikan bahwa dukungan rakyat tersebut
selalu mengalir terus menerus dalam rangka mempercepat terwujudnya
agenda-agenda peme rintahannya. Di saat yang sama, dukungan dan kekuatan
rakyat ini bisa menjadi `amunisi' yang ampuh untuk mengimbangi tekanan
politik atau ketika berhadapan dengan parlemen dan parpol di luar koalisi.
Kita berharap agar
segala tindakan Jokowi mengindikasikan bahasa kebebasan tanpa kepentingan, nothing to lose, alternatif,
rekonstruktif, dan transformatif sebagai titik kisar bagi lahirnya sebuah
perubahan yang berkemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar