Solusi
Strategis Ketahanan Energi RI
Ridha Ababil ; Kepala
Komunikasi Korporat PGN
|
MEDIA
INDONESIA, 03 September 2014
SUBSIDI bahan bakar
minyak (BBM) selalu jadi isu sensitif. Setidaknya itu tergambar pada tarik
ulur rencana penaikan harga BBM yang kini semakin ramai menjadi perbincangan
masyarakat. Kontroversi tentang BBM akan terus terjadi mengingat produksi
minyak kita sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Pada 2030 BPPT
memperkirakan konsumsi BBM Indonesia mencapai 4,1 kali lipat dari konsumsi
minyak pada 2009. Sementara produksi minyak hanya dua kali lipatnya.Ketika
cadangan dan produksi minyak dalam negeri terus melorot, subsidi BBM dari
tahun ke tahun terus melonjak, selalu melebihi dari pagu APBN-P. Sebagai
contoh, pada 2012, total subsidi mencapai Rp211,9 triliun, atau mencapai
154,22% dari pagu subsidi BBM dalam APBN-P 2012 sebesar Rp137,4 triliun.
Di 2013 realisasi
anggaran subsidi BBM bengkak hingga 105,1% dari pagu Rp199 triliun menjadi
Rp210 triliun. Demikian juga di tahun ini, dari pagu anggaran subsidi BBM
Rp210 triliun, diperkirakan akan mencapai Rp246,5 triliun.
Lonjakan konsumsi dan
pagu anggaran BBM subsidi selalu berbanding lurus dengan peningkatan
pertumbuhan jumlah kendaraan.Pada 2003, penjualan mobil Indonesia sebanyak
354.331 unit per tahun. Pada 2013, penjualan mobil mencapai 1.226.199 unit.
Hal itu belum menghitung pertumbuhan penjualan sepeda motor yang per tahun
bertambah sekitar 7 juta unit.
Sektor transportasi
menyedot begitu banyak BBM. Mengacu pada hasil penelitian Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian ESDM,
satu sepeda motor ratarata mengonsumsi 0,75 liter per hari dan mobil 3 liter
per hari. Jika setiap tahun rata-rata jumlah sepeda motor bertambah 7 juta
unit dan mobil bertambah 800 ribu unit, dalam satu tahun akan ada tambahan
konsumsi BBM sepeda t sebesar d motor b 1 9 juta 1,9 j t kiloliter dan mobil
900 ribu kiloliter.Artinya, dalam setahun sedikitnya ada tambahan kuota BBM
subsidi sebesar 2,8 juta kiloliter.
Berkat pertumbuhan
ekonomi, penerimaan pajak memang terus menanjak. Pada 2003 penerimaan pajak
sebesar Rp233 triiun dan di 2013 lalu sudah mencapai Rp1.099,9 triliun. Tapi
hampir sepertiga pendapatan pemerintah tersebut habis untuk subsidi BBM.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menghambat pembangunan
infrastruktur kita.
Menilik beban subsidi
yang akan terus menanjak, kebutuhan untuk segera melakukan konversi energi ke
BBG tidak bisa ditunda lagi.Konversi ke BBG ini menjadi solusi strategis.
Selain mengurangi beban impor BBM, yang membuat neraca perdagangan kita terus
defisit, Indonesia memiliki sumber daya gas yang melimpah. Menurut perkiraan
geologis, jumlah sumber daya migas Indonesia yang berada di 60 cekungan di
darat dan lepas pantai sekitar 70 miliar barel (bbls) minyak bumi dan sekitar
330 triliun kaki kubik (tcf) gas alam.
Cadangan gas Indonesia
berada di posisi ke-11 dunia dengan 98 tcf gas bumi. Saat ini, Rusia tercatat
sebagai pemilik cadangan gas terbesar di dunia dengan 1.680 tcf, diikuti Iran
(971 tcf), Qatar (911 tcf), dan Arab Saudi (241 tcf).
Sukses mengonversi
Indonesia sudah
mencanangkan program konversi ke BBG hampir 20 tahun silam. Selama periode
1995 sampai akhir 2010, rencana pembangunan 77 SPBG di Jakarta yang
ditargetkan selesai tiga tahun (2006-2009) hanya terealisasi 9 SPBG.Jumlah
kendaraan yang beroperasi menggunakan BBG justru menurun dari 3.000 unit pada
2000 menjadi hanya 2.000 unit pada 2010.
Padahal, negara-negara
lain yang mengawali program konversi ke BBG pada saat yang sama sudah jauh
lebih baik seperti Iran, Tiongkok, Turki, Polandia, Korea, Italia, dan
Australia. Sementara di Asia Tenggara, Malaysia dan Thailand lebih cepat dan
berhasil mendorong konversi ke BBG.
Di negara-negara
tersebut, program konversi bisa sukses karena banyak insentif diberikan oleh
negara. Antara lain, pemberian insentif untuk konsumen dan produsen BBG,
kemudahan perizinan dalam pengusahaan BBG, desain fiskal yang lebih
menguntungkan bagi pengguna BBG, memprioritaskan dan merealisasikan
pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas untuk SPBG, serta
memberikan insentif bagi impor kendaraan BBG. Australia termasuk salah satu
negara yang sukses menerapkan program konversi. Untuk mendorong sektor
transportasi beralih BBG, sejumlah insentif diberikan. Misalnya pemotongan
biaya pendaftaran kendaraan (BPKB, STNK, pajak kendaraan bermotor) sebesar
20% terhadap kendaraan yang menggunakan vigas. Australia juga memberikan
insentif berupa pengecualian atau perbedaan tarif PPN dan pajak bahan bakar
kendaraan bermotor (PBBKB) terhadap harga jual vigas.Di sisi lain, harga
bensin premium dan solar diberlakukan harga pasar dan dikenai PPN dan PBBKB.
Di Australia, sejak 2006 diberlakukan excise-free
untuk LPG Autogas sampai 2011. Untuk gasolin dikenai excise tax sebesar A$38,1 cents/liter.
Australia memberikan
insentif ini dalam kurun 2006-2014 untuk mendorong pemilik kendaraan bermotor
melakukan konversi. Setelah batas waktu tersebut tidak diberikan lagi
insentif. Berbagai insentif itu mampu mendorong kesuksesan program konversi.
Saat ini, Australia merupakan negara pengguna elpiji per kapita terbesar
untuk kendaraan bermotor yakni mencapai 115 liter per kapita per tahun.
Di
Australia, saat ini sekitar 550 ribu kendaraan bermotor dan 97% taksi
menggunakan elpiji sebagai bahan bakar. Di `Benua Kanguru', elpiji untuk
kendaraan bermotor didistribusikan oleh lebih dari 3.200 gas station.
Indonesia bisa merujuk
pada keberhasilan Australia. Dengan komitmen kuat, sinergi antarlembaga dan
mengoptimalkan semua potensi, program konversi akan bisa terealisasi dan
menciptakan kemandirian energi yang tentunya akan menguntungkan Ibu Pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar