Menunggu
“Hak Veto” Presiden
Alex Bambang Riatmodjo ;
Purnawirawan Polri, Kapolda Jawa
Tengah 2008-2010
|
REPUBLIKA,
24 September 2014
Menjelang
akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, seluruh rakyat pada umumnya
dan elite politik pada khususnya mengikuti secara cermat proses pembahasan
RUU Pilkada yang akan diparipurnakan pada 25 September 2014. Berbagai argumen
untuk menjustifikasi sikap politik diformulasikan sedemikian rupa.
Seandainya
dilakukan voting di parlemen, maka ditengarai akan dimenangkan kelompok yang
menghendaki pemilihan oleh DPRD. Bila DPR dan Presiden setuju, maka sirna dan
terbenamlah hak politik rakyat.
Ketika saya
masih bekerja sebagai acting Deputi Menko Polkam bidang Komunikasi dan
Informasi yang Menko Polkam saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono,
saya menulis tentang semacam hak veto presiden. Selaku bawahan, saya
berkonsultasi dengan Menko Polkam atas substansi tulisan itu sebelum saya
kirimkan.
Bahkan kami
berdiskusi kecil, dan saya pun menyarankan kepadanya, "Kalau Bapak nanti jadi presiden, jangan lupa adanya hak veto
berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 hasil amendemen." Saya yakin, Susilo
Bambang Yudhoyono paham betul akan pasal ini. Apalagi, setelah jadi presiden,
berulang kali menyatakan bahwa setiap saat selalu mengantongi UUD 1945.
Sebagaimana
diatur pada Pasal 20 UUD 1945, dapat diuraikan sebagai berikut. (1) DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap RUU dibahas oleh DPR
dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika RUU itu tidak
mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu. (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui
bersama untuk menjadi UU. (5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak RUU
disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Menyimak dan
mencermati ketentuan Pasal 20 UUD 1945 itu, dengan mudah dapat dipahami bahwa
sekalipun DPR memegang kekuasaan membentuk UU, tetapi dalam rangka
"tanggung jawab" dan "checks and balances", presiden
terlibat penuh dalam pembuatan UU. Bahkan berdasarkan makna pasal itu,
keterlibatan presiden in persona. Walaupun secara historis dalam penyusunan
Pasal 20 UUD 1945 tidak terdapat penjelasan tentang boleh tidaknya untuk
diwakilkan, artinya kehadiran presiden harus in persona.
Mengapa?
Anggota DPR adalah "oknum-oknum" yang dipilih langsung oleh rakyat
dan presiden juga "oknum" yang dipilih langsung oleh rakyat.
Keduanya harus bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memilihnya. Secara
terpisah, keduanya bertanggung jawab atas setiap pembuatan UU. UU merupakan
hukum tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. UU
merupakan produk vital dan penting. Karena itulah, dalam pembuatan UU
keduanya setara, berkeseimbangan, dan bertanggung jawab penuh.
Keterlibatan
presiden dalam pembuatan UU adalah pada tahap pembahasan, tahap persetujuan,
dan tahap pengesahan. Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, pada tahap pembahasan diatur pada pasal 65 ayat
(1), "Pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang
ditugasi."
Walaupun di
dalam Pasal 20 UUD 1945 seharusnya presiden wajib hadir in persona, tapi sesuai Pasal 65 Ayat (1) itu dapat ditugaskan
kepada seorang menteri atau didelegasikan kepada seorang menteri. Hal ini
dapat dimaklumi karena pembahasan akan memakan waktu yang panjang. Namun
harus diingat bahwa di dalam organisasi dan manajemen juga terdapat hukum.
Adagium hukum organisasi dan manajemen mengatakan, "Wewenang dapat didelegasikan, tapi tanggung jawab tidak dapat
dilimpahkan."
Pada tahap
persetujuan, di sinilah terdapat semacam "hak veto" presiden.
Pengertian yang terkandung dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 memberi hak
kepada presiden untuk bersetuju atau tidak bersetuju atas RUU yang telah
selesai dibahas DPR secara aklamasi maupun hasil voting. Ketidaksetujuan
presiden inilah merupakan (semacam) hak veto presiden. Sebab, dalam hal
presiden tidak setuju, maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.
Dalam hal ini,
menurut konstitusi, presiden harus dan wajib hadir in persona untuk menyatakan setuju atau tidak atas RUU yang
selesai dibahas pada sidang paripurna, tidak boleh diwakilkan atau
didelegasikan. Ketentuan ini bersifat imperatif.
Sifat
kemutlakan kehadiran ini juga dijustifikasi oleh Pasal 72 Ayat (1) UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, "Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang."
Pasal ini
tidak pernah menyebut penugasan seorang menteri. Tetapi jelas dan tegas
tertulis: presiden. Dalam ketentuan ini jelas menunjuk kepada
"oknum" presiden in persona,
tidak boleh diwakilkan atau didelegasikan. Jadi sidang paripurna yang akan
digelar 25 September 2014 adalah agenda persetujuan, bukan pengesahan RUU
Pilkada.
Apakah RUU
yang sudah dibahas dan disetujui DPR lewat voting maupun aklamasi disetujui
oleh Presiden atau tidak. Begitu pula pengesahan pun tidak boleh diwakilkan
atau didelegasikan, murni hak tunggal presiden sebagaimana diatur Pasal 20
Ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, posisi presiden sangat kuat, yaitu untuk
memberikan kata akhir untuk bersetuju atau tidak bersetuju atas RUU yang
telah disetujui oleh DPR.
Pesan untuk SBY
Sebagai mantan
anak buah, staf, dan kawan yang pernah bekerja bersama SBY di Kemenko Polkam
dengan batas-batas yang saya ketahui, pahami, dan alami pada masa itu, dengan
segala kerendahan hati, di samping merupakan kewajiban amanah untuk
mengingatkan, saya terdorong dan merasa perlu membuat surat terbuka guna
mengingatkan secara pribadi kepada SBY berdasarkan hal-hal kebersamaan kala
itu, baik secara rasional dan spiritual.
Pertama,
predikat sebagai presiden pertama yang dipilih langsung dalam dua periode
pemerintahan merupakan sesuatu yang luar biasa. Dengan rasa syukur dan
kebesaran jiwa, seharusnya SBY meninggalkan sesuatu yang yang positif atau legacy untuk rakyat, bangsa, dan
negara. Bukan bermain-main atas hak politik rakyat menjelang akhir jabatan.
Saat ini akan
dibahas RUU Pilkada yang akan merampas hak politik rakyat. Keberadaban dan
kearifan seorang presiden sedang diuji dalam hal ini. Apakah tidak lagi
bersikap berbelit-belit dalam menjaga, mengakui, dan menghormati hak politik
rakyat.
Akankah
bersetuju atau sebaliknya memveto atau menolak RUU Pilkada berdasarkan Pasal
20 UUD 1945? Sejak konstitusi UUD 1945 diamendemen hingga sekarang belum
pernah ada seorang presiden yang hadir in
persona untuk memberikan persetujuan atas suatu RUU. Begitu pula belum
pernah ada presiden yang memveto atau menolak RUU yang telah dibahas dan
disetujui oleh DPR.
Saya berharap,
dengan keberadaban dan kebijaksanaan seorang presiden yang sebulan lagi
mengakhiri masa pemerintahannya, pada 25 September nanti SBY hadir in persona di Sidang Paripurna DPR,
membela hak politik rakyat, melakukan "veto" atau menolak RUU
Pilkada yang mengubah pilkada dilakukan oleh DPRD. Sejarah niscaya akan
mencatat, hak veto yang pertama terjadi di Indonesia dilakukan oleh seorang
presiden dalam menghormati hak politik rakyat.
Kedua, saya
menulis secara terbuka ini tidak bermaksud merendahkan SBY, tetapi dengan
kerendahan hati menjadi suatu kewajiban saya sebagai rakyat yang pernah dekat
dan menjadi kawan sekerja SBY. Selama bekerja bersama itu telah terlalui
berbagai pengalaman rasional dan spiritual.
Dengan
segala kerendahan hati, saya menulis surat terbuka ini semoga
SBY tidak berbelit-belit dan bersandiwara serta bermain-main dengan hak-hak
politik rakyat, tetapi
semakin bersyukur dalam ketulusikhlasan mengakhiri masa jabatannya agar Yang
Mahakuasa tidak lebih murka kepadanya dan terutama kepada bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar