Jumat, 26 September 2014

Menunggu “Hak Veto” Presiden

Menunggu “Hak Veto” Presiden

Alex Bambang Riatmodjo  ;   Purnawirawan Polri, Kapolda Jawa Tengah 2008-2010
REPUBLIKA, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Menjelang akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, seluruh rakyat pada umumnya dan elite politik pada khususnya mengikuti secara cermat proses pembahasan RUU Pilkada yang akan diparipurnakan pada 25 September 2014. Berbagai argumen untuk menjustifikasi sikap politik diformulasikan sedemikian rupa.

Seandainya dilakukan voting di parlemen, maka ditengarai akan dimenangkan kelompok yang menghendaki pemilihan oleh DPRD. Bila DPR dan Presiden setuju, maka sirna dan terbenamlah hak politik rakyat.

Ketika saya masih bekerja sebagai acting Deputi Menko Polkam bidang Komunikasi dan Informasi yang Menko Polkam saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, saya menulis tentang semacam hak veto presiden. Selaku bawahan, saya berkonsultasi dengan Menko Polkam atas substansi tulisan itu sebelum saya kirimkan.

Bahkan kami berdiskusi kecil, dan saya pun menyarankan kepadanya, "Kalau Bapak nanti jadi presiden, jangan lupa adanya hak veto berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 hasil amendemen." Saya yakin, Susilo Bambang Yudhoyono paham betul akan pasal ini. Apalagi, setelah jadi presiden, berulang kali menyatakan bahwa setiap saat selalu mengantongi UUD 1945.

Sebagaimana diatur pada Pasal 20 UUD 1945, dapat diuraikan sebagai berikut. (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika RUU itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU. (5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak RUU disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Menyimak dan mencermati ketentuan Pasal 20 UUD 1945 itu, dengan mudah dapat dipahami bahwa sekalipun DPR memegang kekuasaan membentuk UU, tetapi dalam rangka "tanggung jawab" dan "checks and balances", presiden terlibat penuh dalam pembuatan UU. Bahkan berdasarkan makna pasal itu, keterlibatan presiden in persona. Walaupun secara historis dalam penyusunan Pasal 20 UUD 1945 tidak terdapat penjelasan tentang boleh tidaknya untuk diwakilkan, artinya kehadiran presiden harus in persona.

Mengapa? Anggota DPR adalah "oknum-oknum" yang dipilih langsung oleh rakyat dan presiden juga "oknum" yang dipilih langsung oleh rakyat. Keduanya harus bertanggung jawab kepada rakyat yang telah memilihnya. Secara terpisah, keduanya bertanggung jawab atas setiap pembuatan UU. UU merupakan hukum tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. UU merupakan produk vital dan penting. Karena itulah, dalam pembuatan UU keduanya setara, berkeseimbangan, dan bertanggung jawab penuh.

Keterlibatan presiden dalam pembuatan UU adalah pada tahap pembahasan, tahap persetujuan, dan tahap pengesahan. Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada tahap pembahasan diatur pada pasal 65 ayat (1), "Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang ditugasi."

Walaupun di dalam Pasal 20 UUD 1945 seharusnya presiden wajib hadir in persona, tapi sesuai Pasal 65 Ayat (1) itu dapat ditugaskan kepada seorang menteri atau didelegasikan kepada seorang menteri. Hal ini dapat dimaklumi karena pembahasan akan memakan waktu yang panjang. Namun harus diingat bahwa di dalam organisasi dan manajemen juga terdapat hukum. Adagium hukum organisasi dan manajemen mengatakan, "Wewenang dapat didelegasikan, tapi tanggung jawab tidak dapat dilimpahkan."

Pada tahap persetujuan, di sinilah terdapat semacam "hak veto" presiden. Pengertian yang terkandung dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 memberi hak kepada presiden untuk bersetuju atau tidak bersetuju atas RUU yang telah selesai dibahas DPR secara aklamasi maupun hasil voting. Ketidaksetujuan presiden inilah merupakan (semacam) hak veto presiden. Sebab, dalam hal presiden tidak setuju, maka RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Dalam hal ini, menurut konstitusi, presiden harus dan wajib hadir in persona untuk menyatakan setuju atau tidak atas RUU yang selesai dibahas pada sidang paripurna, tidak boleh diwakilkan atau didelegasikan. Ketentuan ini bersifat imperatif.

Sifat kemutlakan kehadiran ini juga dijustifikasi oleh Pasal 72 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, "Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang."

Pasal ini tidak pernah menyebut penugasan seorang menteri. Tetapi jelas dan tegas tertulis: presiden. Dalam ketentuan ini jelas menunjuk kepada "oknum" presiden in persona, tidak boleh diwakilkan atau didelegasikan. Jadi sidang paripurna yang akan digelar 25 September 2014 adalah agenda persetujuan, bukan pengesahan RUU Pilkada.

Apakah RUU yang sudah dibahas dan disetujui DPR lewat voting maupun aklamasi disetujui oleh Presiden atau tidak. Begitu pula pengesahan pun tidak boleh diwakilkan atau didelegasikan, murni hak tunggal presiden sebagaimana diatur Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, posisi presiden sangat kuat, yaitu untuk memberikan kata akhir untuk bersetuju atau tidak bersetuju atas RUU yang telah disetujui oleh DPR.

Pesan untuk SBY

Sebagai mantan anak buah, staf, dan kawan yang pernah bekerja bersama SBY di Kemenko Polkam dengan batas-batas yang saya ketahui, pahami, dan alami pada masa itu, dengan segala kerendahan hati, di samping merupakan kewajiban amanah untuk mengingatkan, saya terdorong dan merasa perlu membuat surat terbuka guna mengingatkan secara pribadi kepada SBY berdasarkan hal-hal kebersamaan kala itu, baik secara rasional dan spiritual.

Pertama, predikat sebagai presiden pertama yang dipilih langsung dalam dua periode pemerintahan merupakan sesuatu yang luar biasa. Dengan rasa syukur dan kebesaran jiwa, seharusnya SBY meninggalkan sesuatu yang yang positif atau legacy untuk rakyat, bangsa, dan negara. Bukan bermain-main atas hak politik rakyat menjelang akhir jabatan.

Saat ini akan dibahas RUU Pilkada yang akan merampas hak politik rakyat. Keberadaban dan kearifan seorang presiden sedang diuji dalam hal ini. Apakah tidak lagi bersikap berbelit-belit dalam menjaga, mengakui, dan menghormati hak politik rakyat.

Akankah bersetuju atau sebaliknya memveto atau menolak RUU Pilkada berdasarkan Pasal 20 UUD 1945? Sejak konstitusi UUD 1945 diamendemen hingga sekarang belum pernah ada seorang presiden yang hadir in persona untuk memberikan persetujuan atas suatu RUU. Begitu pula belum pernah ada presiden yang memveto atau menolak RUU yang telah dibahas dan disetujui oleh DPR.

Saya berharap, dengan keberadaban dan kebijaksanaan seorang presiden yang sebulan lagi mengakhiri masa pemerintahannya, pada 25 September nanti SBY hadir in persona di Sidang Paripurna DPR, membela hak politik rakyat, melakukan "veto" atau menolak RUU Pilkada yang mengubah pilkada dilakukan oleh DPRD. Sejarah niscaya akan mencatat, hak veto yang pertama terjadi di Indonesia dilakukan oleh seorang presiden dalam menghormati hak politik rakyat.

Kedua, saya menulis secara terbuka ini tidak bermaksud merendahkan SBY, tetapi dengan kerendahan hati menjadi suatu kewajiban saya sebagai rakyat yang pernah dekat dan menjadi kawan sekerja SBY. Selama bekerja bersama itu telah terlalui berbagai pengalaman rasional dan spiritual.

Dengan segala kerendahan hati, saya menulis surat terbuka ini semoga SBY tidak berbelit-belit dan bersandiwara serta bermain-main dengan hak-hak politik rakyat, tetapi semakin bersyukur dalam ketulusikhlasan mengakhiri masa jabatannya agar Yang Mahakuasa tidak lebih murka kepadanya dan terutama kepada bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar