Jumat, 26 September 2014

Lindung Nilai

Lindung Nilai

Ridwan Kurnaen  ;   Mantan Kepala Bappebti
REPUBLIKA, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mendorong dilakukannya lindung nilai (hedging) atas pinjaman dalam bentuk mata uang asing, merupakan kebijakan yang progresif dan mengejutkan. Mengejutkan, karena kurang lebih 14 tahun lalu terjadi perdebatan antara saya, sebagai kepala Bappebti, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia pada waktu itu mengenai topik yang sama dalam rapat yang dipimpin pejabat di Sekretariat Negara.

Rapat ini membahas usulan Bappebti agar mata uang dapat ditetapkan sebagai salah satu komoditas untuk keperluan lindung nilai. Bank Indonesia menolak keras dibukanya kesempatan lindung nilai ini. Bahkan, kegiatan ini dianggap bisa memorakporandakan ekonomi Indonesia.

Sejak 1997, Indonesia telah memiliki UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang memberi landasan hukum dilaksanakannya lindung nilai. Hanya saja karena namanya ada sebutan komoditas, kesannya UU ini hanya mengatur lindung nilai untuk komoditas pertanian.

Sesungguhnya pengertian komoditas bisa sangat luas, yaitu mencakup, antara lain, produk pertanian, bahan makanan, ternak, logam mulia, minyak, produk energi, sekuritas, mata uang, indeks saham, dan produk jasa. Dalam UU ini diatur mengenai perdagangan kontrak berjangka (futures contract) komoditas tertentu di Bursa Berjangka.

Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada produsen/petani dan industri untuk melakukan lindung nilai dan memungkinkan terciptanya pembentukan harga yang transparan. UU ini sama sekali tidak mengatur tentang perdagangan komoditas secara fisik, hanya membolehkan sebagai kegiatan sampingan dari Bursa Berjangka, bila memang ada kebutuhan untuk itu.

Pada 2011, UU ini diamendemen atas inisiatif DPR dan disahkan menjadi UU No 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Amendemen ini memperluas pengertian komoditas dan cakupan pengaturan, meliputi semua kontrak derivatif, bukan hanya kontrak berjangka.

Kontrak berjangka hanya salah satu bentuk kontrak derivatif. Bentuk lainnya, yaitu kontrak serah (forward contract), opsi (option), swap, caps, collors, floors, swaptions, dan lain-lain. Pengertian komoditas dipertegas mencakup semua barang, jasa, hak, dan kepentingan lainnya serta setiap derivatif dari komoditas yang dapat diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah dan/atau kontrak derivatif lainnya.

Kemudian, diatur juga kelembagaan yang berwenang untuk mengorganisasi perdagangan kontrak derivatif tersebut. Bursa Berjangka diperkenankan menyelenggarakan kegiatan jual beli komoditas berdasarkan kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan kontrak derivatif lainnya.

Lembaga baru yang dibentuk melalui amendemen UU ini, yaitu Sistem Perdagangan Alternatif (SPA). Per definisi SPA dinyatakan sistem perdagangan yang berkaitan dengan jual beli kontrak derivatif selain kontrak berjangka dan kontrak derivatif syariah, yang dilakukan di luar Bursa Berjangka, secara bilateral dengan penarikan margin. Sedangkan, penyelenggara SPA ditetapkan anggota Bursa Berjangka yang berstatus terdaftar, yaitu pedagang berjangka. Pedagang berjangka hanya boleh bertransaksi di Bursa Berjangka untuk diri sendiri.

Dalam pengertian SPA, jelas bahwa transaksi konrak derivatif lainnya, yaitu kontrak serah, opsi, swap, caps, collors, floors, dan swaptions harus ditransaksikan di SPA. Konsekuensi amendemen UU ini, semua kegiatan derivatif oleh bank atau lembaga keuangan lainnya di Indonesia bisa dikategorikan sebagai kegiatan ilegal.

Hal menarik lainnya dari amendemen ini adalah Bursa Berjangka juga menyelenggarakan transaksi kontrak derivatif lain, seperti halnya SPA. Berarti Bursa Berjangka melakukan dua sistem perdagangan yang saling bertolak belakang, yaitu sistem perdagangan kontrak berjangka yang harus terbuka dan perdagangan kontrak derivatif lainnya yang bersifat tertutup (bilateral). Kegiatan tertutup adalah sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan di Bursa Berjangka, merupakan salah satu kegiatan yang dilarang, yaitu membandari transaksi (bucketing).

Semoga saja Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dalam menyusun kebijakan lindung nilai telah memperhatikan UU ini yang resmi masih berlaku. Apabila kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan UU ini, besar kemungkinan akan menimbulkan masalah hukum bagi pelakunya.

Karena, semua instrumen lindung nilai telah diatur dalam amendemen UU ini. Saya tidak mengetahui proses pembahasan amendemen UU ini dan untuk kepentingan apa. Namun, biasanya pembahasan draf UU melibatkan semua pihak yang terkait di pemerintah, berarti semua pihak telah setuju.

UU tentang Perdagangan Berjangka telah berlaku sejak 1997 dan UU amendemennya telah berlaku kurang lebih empat tahun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya mengetahui bahwa kontrak derivatif adalah produk keuangan yang kewenangan pengaturan dan pengawasannya di OJK. Mungkin OJK menganggap UU Perdagangan Berjangka mengatur perdagangan komoditas sehingga wajar berada di bawah Kementerian Perdagangan.

Namun, dari nama undang-undangnya saja sudah jelas bukan perdagangan komoditas, melainkan perdagangan (kontrak) berjangka (kontrak derivatif). Semoga kerancuan dalam pengaturan masalah lindung nilai ini bisa diluruskan agar tidak semakin banyak masyarakat yang menjadi korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar