Lindung
Nilai
Ridwan Kurnaen ;
Mantan Kepala Bappebti
|
REPUBLIKA,
25 September 2014
Kebijakan Bank
Indonesia dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mendorong dilakukannya
lindung nilai (hedging) atas
pinjaman dalam bentuk mata uang asing, merupakan kebijakan yang progresif dan
mengejutkan. Mengejutkan, karena kurang lebih 14 tahun lalu terjadi
perdebatan antara saya, sebagai kepala Bappebti, dan Deputi Gubernur Bank
Indonesia pada waktu itu mengenai topik yang sama dalam rapat yang dipimpin
pejabat di Sekretariat Negara.
Rapat ini
membahas usulan Bappebti agar mata uang dapat ditetapkan sebagai salah satu
komoditas untuk keperluan lindung nilai. Bank Indonesia menolak keras
dibukanya kesempatan lindung nilai ini. Bahkan, kegiatan ini dianggap bisa
memorakporandakan ekonomi Indonesia.
Sejak 1997,
Indonesia telah memiliki UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi yang
memberi landasan hukum dilaksanakannya lindung nilai. Hanya saja karena
namanya ada sebutan komoditas, kesannya UU ini hanya mengatur lindung nilai
untuk komoditas pertanian.
Sesungguhnya
pengertian komoditas bisa sangat luas, yaitu mencakup, antara lain, produk
pertanian, bahan makanan, ternak, logam mulia, minyak, produk energi,
sekuritas, mata uang, indeks saham, dan produk jasa. Dalam UU ini diatur
mengenai perdagangan kontrak berjangka (futures
contract) komoditas tertentu di Bursa Berjangka.
Tujuannya
untuk memberi kesempatan kepada produsen/petani dan industri untuk melakukan
lindung nilai dan memungkinkan terciptanya pembentukan harga yang transparan.
UU ini sama sekali tidak mengatur tentang perdagangan komoditas secara fisik,
hanya membolehkan sebagai kegiatan sampingan dari Bursa Berjangka, bila
memang ada kebutuhan untuk itu.
Pada 2011, UU
ini diamendemen atas inisiatif DPR dan disahkan menjadi UU No 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka
Komoditi. Amendemen ini memperluas pengertian komoditas dan cakupan
pengaturan, meliputi semua kontrak derivatif, bukan hanya kontrak berjangka.
Kontrak
berjangka hanya salah satu bentuk kontrak derivatif. Bentuk lainnya, yaitu
kontrak serah (forward contract),
opsi (option), swap, caps, collors, floors, swaptions,
dan lain-lain. Pengertian komoditas dipertegas mencakup semua barang, jasa,
hak, dan kepentingan lainnya serta setiap derivatif dari komoditas yang dapat
diperdagangkan dan menjadi subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif
syariah dan/atau kontrak derivatif lainnya.
Kemudian,
diatur juga kelembagaan yang berwenang untuk mengorganisasi perdagangan
kontrak derivatif tersebut. Bursa Berjangka diperkenankan menyelenggarakan
kegiatan jual beli komoditas berdasarkan kontrak berjangka, kontrak derivatif
syariah, dan kontrak derivatif lainnya.
Lembaga baru
yang dibentuk melalui amendemen UU ini, yaitu Sistem Perdagangan Alternatif
(SPA). Per definisi SPA dinyatakan sistem perdagangan yang berkaitan dengan
jual beli kontrak derivatif selain kontrak berjangka dan kontrak derivatif
syariah, yang dilakukan di luar Bursa Berjangka, secara bilateral dengan
penarikan margin. Sedangkan, penyelenggara SPA ditetapkan anggota Bursa
Berjangka yang berstatus terdaftar, yaitu pedagang berjangka. Pedagang
berjangka hanya boleh bertransaksi di Bursa Berjangka untuk diri sendiri.
Dalam
pengertian SPA, jelas bahwa transaksi konrak derivatif lainnya, yaitu kontrak
serah, opsi, swap, caps, collors, floors, dan swaptions harus ditransaksikan
di SPA. Konsekuensi amendemen UU ini, semua kegiatan derivatif oleh bank atau
lembaga keuangan lainnya di Indonesia bisa dikategorikan sebagai kegiatan
ilegal.
Hal menarik
lainnya dari amendemen ini adalah Bursa Berjangka juga menyelenggarakan
transaksi kontrak derivatif lain, seperti halnya SPA. Berarti Bursa Berjangka
melakukan dua sistem perdagangan yang saling bertolak belakang, yaitu sistem
perdagangan kontrak berjangka yang harus terbuka dan perdagangan kontrak
derivatif lainnya yang bersifat tertutup (bilateral). Kegiatan tertutup
adalah sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan di Bursa Berjangka, merupakan
salah satu kegiatan yang dilarang, yaitu membandari transaksi (bucketing).
Semoga saja
Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dalam menyusun kebijakan lindung
nilai telah memperhatikan UU ini yang resmi masih berlaku. Apabila kebijakan
yang dibuat tidak berdasarkan UU ini, besar kemungkinan akan menimbulkan
masalah hukum bagi pelakunya.
Karena, semua
instrumen lindung nilai telah diatur dalam amendemen UU ini. Saya tidak mengetahui
proses pembahasan amendemen UU ini dan untuk kepentingan apa. Namun, biasanya
pembahasan draf UU melibatkan semua pihak yang terkait di pemerintah, berarti
semua pihak telah setuju.
UU tentang
Perdagangan Berjangka telah berlaku sejak 1997 dan UU amendemennya telah
berlaku kurang lebih empat tahun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya
mengetahui bahwa kontrak derivatif adalah produk keuangan yang kewenangan
pengaturan dan pengawasannya di OJK. Mungkin OJK menganggap UU Perdagangan
Berjangka mengatur perdagangan komoditas sehingga wajar berada di bawah
Kementerian Perdagangan.
Namun, dari
nama undang-undangnya saja sudah jelas bukan perdagangan komoditas, melainkan
perdagangan (kontrak) berjangka (kontrak derivatif). Semoga kerancuan dalam pengaturan
masalah lindung nilai ini bisa diluruskan agar tidak semakin banyak
masyarakat yang menjadi korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar