Jumat, 26 September 2014

Implikasi RUU Pilkada

Implikasi RUU Pilkada

Syamsuddin Alimsyah  ;   Koordinator Komite Pemantau Legislatif Indonesia
SINAR HARAPAN, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

RUU Pilkada sebenarnya menjadi usulan pemerintah sejak dua tahun lalu. Dalam RUU itu, pemerintah mengusulkan pilkada dikembalikan melalui DPRD karena dianggap lebih banyak mudaratnya bila melalui pemilihan langsung.

Pemerintah saat itu mencatat 11 alasan mengapa pilkada perlu dikembalikan ke DPRD. Di antaranya, ongkos pemilihan mahal, rawan konflik, dan politik uang. Hal yang paling menonjol adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan calon. Biaya mahal saat pemilihan itulah yang memicu kepala daerah korupsi. Berdasarkan data Kemendagri, sudah 304 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum, khususnya tersangkut kasus korupsi.

Bila memperhatikan peta kekuatan di parlemen, opsi mengembalikan pilkada melalui DPRD dimotori anggota fraksi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih. Kekuatan mereka dari sisi jumlah jauh lebih banyak ketimbang fraksi pendukung Jokowi-JK yang menginginkan pilkada melalui pemilihan langsung.

Setelah reformasi, terbit dua UU yang mengatur pemilihan kepala daerah. Pertama, UU No 22 Tahun 1999 yang mengatur kepala daerah dipilih DPRD. Kedua, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Bila mencermati naskah akademik RUU tentang pilkada, terdapat dua problem yang saling berimpitan, yakni aspek kapasitas dan akseptabilitas kepala daerah dari hasil pemilihan. Dalam UU No 32 Tahun 2004 dimaksudkan untuk menyelesaikan problem tersebut. Kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD sering kali bermasalah dalam akseptabilitas. Terkesan ada jarak kepala daerah dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Timbul stigma bahwa kepala daerah hanya mengurus anggota DPRD dan cenderung mengesampingkan masyarakat.

Kendati begitu, mekanisme pilkada secara langsung juga ada kekurangannya. Namun, bukan berarti hak memilih masyarakat kembali dicabut, dikebiri karena kekurangan itu. Pemilihan langsung adalah hak asasi setiap warga yang tidak boleh dikebiri dan dicabut, dan poin ini menjadi sangat prinsipil.

Penulis beruntung karena pernah terlibat langsung memantau dan mengadvokasi pilkada melalui DPRD maupun secara langsung. Pada 2003, bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Sulawesi Selatan melakukan advokasi pemantauan langsung pemilihan kepala daerah/gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan periode 2003-2008.

Pertama, pemilihan DPRD cenderung tidak aspiratif. Sering kali calon dukungan mayoritas di masyarakat justru tidak dilirik untuk dicalonkan oleh fraksi di DPRD. Fraksi sebagai perpanjangan partai mutlak tunduk pada perintah partai politik yang menentukan kandidat. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, penentuan kandidat tidak berdasarkan aspirasi konstituen atau masyarakat. Pemilihan di DPRD dipastikan tidak ada yang bebas politik uang.

Kedua, kandidat dengan mudah mengonsolidasi anggota DPRD dalam rangka pemenangan. Misalnya, anggota DPRD dengan mudah akan berkonsolidasi di suatu tempat tertentu untuk dikarantina demi pengamanan suara. Dan, ini umumnya terjadi saat pemilukada melalui DPRD 10 tahun lalu.

Penulis juga menyadari, selama ini hampir tidak ada pemilukada di satu daerah pun yang bebas politik uang. Namun, hal itu tidak serta-merta menjadi pembenar untuk mengembalikan pilkada melalui DPRD.

Masyarakat adalah pihak yang diposisikan cenderung pasif menunggu, bahkan dirayu untuk menjual suaranya. Bila praktik politik uang dijadikan dasar argumentasi, seyogianya yang harus prioritas dibenahi adalah regulasi. Kandidat dan partai politik benar-benar tidak tergoda jual beli suara. Misalnya, sanksi diskualifikasi sebagai peserta pilkada.

Ketiga, kepala daerah yang terpilih kurang memiliki hubungan emosional dengan masyarakat, tapi kepada partai pengusung. Publik yang membangun kontrak politik dengan pemimpinnya tidak akan dijumpai lagi.

Semua itu karena penyampaian visi-misi kepala daerah hanya disampaikan di hadapan DPRD. Masyarakat hampir pasti tidak akan lagi menemukan kandidat kepala daerah yang secara vulgar membangun janji kepada masyarakatnya, misalnya program pendidikan dan kesehatan gratis. Penyampaian visi-misi kandidat kepala daerah di hadapan DPRD hanyalah formalitas.

Keempat, tidak ada jaminan kepala daerah tidak korupsi. Dengan banyaknya kasus korupsi kepala daerah bupati/wali kota hasil pemilu langsung, bahkan sampai 156 kasus dari total 304 kasus adalah tidak tepat. Argumen ini tidak menjamin dan memastikan proses melalui DPRD tidak bermasalah, baik dari segi hukum maupun akuntabilitas publik.

Justru, pemilihan ketika dikembalikan kepada DPRD sangat rentan korupsi. Bukan hanya bagi gubernur terpilih, melainkan juga anggota DPRD yang memilih mereka. Poinnya, korupsi karena ada kesempatan untuk memperkaya diri atau orang lain.

Kewenangan dan hak DPRD

Hal yang harus menjadi perhatian, perubahan UU Pilkada bukan hanya mengatur pemilihan langsung berubah menjadi pemilihan tidak langsung melalui perwakilan. Lebih dari itu, akan berimplikasi pada UU lain yang kewenangan dan tugas DPRD.

Begitu DPRD diberi hak memilih gubernur/bupati/wali kota, kewenangan DPRD akan berubah, termasuk haknya. Kewenangan DPRD yang membahas LKPJ, misalnya, akan menjadi kembali sama dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999, yakni menerima dan menolak laporan pertanggungjawaban gubernur/wali kota/bupati. Implikasinya, bermunculan kasus pemecatan gubernur atau bupati oleh DPRD. Posisi itu akan membuat kepala daerah menjadi tersandera oleh DPRD.

Kita berharap DPR tetap menghasilkan regulasi pilkada langsung. Tentu saja, juga memperbaiki kelemahan mekanisme pemilihan langsung selama ini. Pertama, profesionalisme penyelenggara, misalnya, keberpihakan terhadap calon tertentu, rendahnya integritas dan moralitas. Ini diselesaikan lewat perbaikan mekanisme rekrutmen dan penegakan hukum.

Kedua, dalam pemilihan langsung selalu terjadi mobilisasi pemilih dari daerah lain. Jika pemilihan langsung dilakukan serentak, hal ini tidak akan terjadi. Setiap orang akan memilih di daerahnya dan tidak memungkinkan mobilisasi.

Ketiga, daftar pemilih tetap (DPT) yang selalu bermasalah harus menjadi prioritas utama untuk dibenahi melalui perbaikan data. Keempat, pemilihan langsung menghabiskan anggaran yang sangat besar.

Pemilihan langsung adalah hak asasi warga sehingga tidak elok bila negara mengalkulasi dalam bentuk rupiah. Yang menjadi penting adalah bagaimana negara dan elemennya menjamin proses demokrasi berjalan efektif dan efisien serta tidak boros. Ini bisa terjadi bila membuat pembeda dalam mendesain penganggaran yang sifatnya riil kebutuhan dengan yang boros.

Pilkada secara langsung menjadi mahal disebabkan penyelenggaraan pemilu tidak taat asas. Beberapa program dialokasikan dalam anggaran yang tidak perlu ada dan tidak penting.

Penetapan RUU Pilkada ini akan menjadi taruhan apakah wakil rakyat kita yang posisinya sudah di pengujung periode, benar-benar mewakili aspirasi rakyat atau lebih dominan dikendalikan partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar