Implikasi
RUU Pilkada
Syamsuddin Alimsyah ;
Koordinator Komite Pemantau
Legislatif Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 25 September 2014
RUU Pilkada
sebenarnya menjadi usulan pemerintah sejak dua tahun lalu. Dalam RUU itu,
pemerintah mengusulkan pilkada dikembalikan melalui DPRD karena dianggap
lebih banyak mudaratnya bila melalui pemilihan langsung.
Pemerintah
saat itu mencatat 11 alasan mengapa pilkada perlu dikembalikan ke DPRD. Di antaranya,
ongkos pemilihan mahal, rawan konflik, dan politik uang. Hal yang paling
menonjol adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan calon. Biaya mahal saat
pemilihan itulah yang memicu kepala daerah korupsi. Berdasarkan data
Kemendagri, sudah 304 kepala daerah yang bermasalah dengan hukum, khususnya
tersangkut kasus korupsi.
Bila
memperhatikan peta kekuatan di parlemen, opsi mengembalikan pilkada melalui
DPRD dimotori anggota fraksi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Kekuatan mereka dari sisi jumlah jauh lebih banyak ketimbang fraksi pendukung
Jokowi-JK yang menginginkan pilkada melalui pemilihan langsung.
Setelah
reformasi, terbit dua UU yang mengatur pemilihan kepala daerah. Pertama, UU
No 22 Tahun 1999 yang mengatur kepala daerah dipilih DPRD. Kedua, UU No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kepala daerah dipilih
secara langsung oleh rakyat.
Bila
mencermati naskah akademik RUU tentang pilkada, terdapat dua problem yang
saling berimpitan, yakni aspek kapasitas dan akseptabilitas kepala daerah
dari hasil pemilihan. Dalam UU No 32 Tahun 2004 dimaksudkan untuk
menyelesaikan problem tersebut. Kepala daerah hasil pemilihan oleh DPRD
sering kali bermasalah dalam akseptabilitas. Terkesan ada jarak kepala daerah
dengan masyarakat karena faktor cara memilihnya. Timbul stigma bahwa kepala
daerah hanya mengurus anggota DPRD dan cenderung mengesampingkan masyarakat.
Kendati
begitu, mekanisme pilkada secara langsung juga ada kekurangannya. Namun,
bukan berarti hak memilih masyarakat kembali dicabut, dikebiri karena
kekurangan itu. Pemilihan langsung adalah hak asasi setiap warga yang tidak
boleh dikebiri dan dicabut, dan poin ini menjadi sangat prinsipil.
Penulis
beruntung karena pernah terlibat langsung memantau dan mengadvokasi pilkada
melalui DPRD maupun secara langsung. Pada 2003, bersama Koalisi Masyarakat
Sipil (KMS) Sulawesi Selatan melakukan advokasi pemantauan langsung pemilihan
kepala daerah/gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan periode 2003-2008.
Pertama,
pemilihan DPRD cenderung tidak aspiratif. Sering kali calon dukungan
mayoritas di masyarakat justru tidak dilirik untuk dicalonkan oleh fraksi di
DPRD. Fraksi sebagai perpanjangan partai mutlak tunduk pada perintah partai
politik yang menentukan kandidat. Berdasarkan pengalaman sebelumnya,
penentuan kandidat tidak berdasarkan aspirasi konstituen atau masyarakat.
Pemilihan di DPRD dipastikan tidak ada yang bebas politik uang.
Kedua,
kandidat dengan mudah mengonsolidasi anggota DPRD dalam rangka pemenangan.
Misalnya, anggota DPRD dengan mudah akan berkonsolidasi di suatu tempat
tertentu untuk dikarantina demi pengamanan suara. Dan, ini umumnya terjadi
saat pemilukada melalui DPRD 10 tahun lalu.
Penulis juga
menyadari, selama ini hampir tidak ada pemilukada di satu daerah pun yang
bebas politik uang. Namun, hal itu tidak serta-merta menjadi pembenar untuk
mengembalikan pilkada melalui DPRD.
Masyarakat
adalah pihak yang diposisikan cenderung pasif menunggu, bahkan dirayu untuk
menjual suaranya. Bila praktik politik uang dijadikan dasar argumentasi,
seyogianya yang harus prioritas dibenahi adalah regulasi. Kandidat dan partai
politik benar-benar tidak tergoda jual beli suara. Misalnya, sanksi
diskualifikasi sebagai peserta pilkada.
Ketiga, kepala
daerah yang terpilih kurang memiliki hubungan emosional dengan masyarakat,
tapi kepada partai pengusung. Publik yang membangun kontrak politik dengan
pemimpinnya tidak akan dijumpai lagi.
Semua itu
karena penyampaian visi-misi kepala daerah hanya disampaikan di hadapan DPRD.
Masyarakat hampir pasti tidak akan lagi menemukan kandidat kepala daerah yang
secara vulgar membangun janji kepada masyarakatnya, misalnya program
pendidikan dan kesehatan gratis. Penyampaian visi-misi kandidat kepala daerah
di hadapan DPRD hanyalah formalitas.
Keempat, tidak
ada jaminan kepala daerah tidak korupsi. Dengan banyaknya kasus korupsi
kepala daerah bupati/wali kota hasil pemilu langsung, bahkan sampai 156 kasus
dari total 304 kasus adalah tidak tepat. Argumen ini tidak menjamin dan
memastikan proses melalui DPRD tidak bermasalah, baik dari segi hukum maupun
akuntabilitas publik.
Justru,
pemilihan ketika dikembalikan kepada DPRD sangat rentan korupsi. Bukan hanya
bagi gubernur terpilih, melainkan juga anggota DPRD yang memilih mereka.
Poinnya, korupsi karena ada kesempatan untuk memperkaya diri atau orang lain.
Kewenangan dan hak DPRD
Hal yang harus
menjadi perhatian, perubahan UU Pilkada bukan hanya mengatur pemilihan
langsung berubah menjadi pemilihan tidak langsung melalui perwakilan. Lebih
dari itu, akan berimplikasi pada UU lain yang kewenangan dan tugas DPRD.
Begitu DPRD
diberi hak memilih gubernur/bupati/wali kota, kewenangan DPRD akan berubah,
termasuk haknya. Kewenangan DPRD yang membahas LKPJ, misalnya, akan menjadi
kembali sama dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999, yakni menerima dan menolak
laporan pertanggungjawaban gubernur/wali kota/bupati. Implikasinya,
bermunculan kasus pemecatan gubernur atau bupati oleh DPRD. Posisi itu akan
membuat kepala daerah menjadi tersandera oleh DPRD.
Kita berharap
DPR tetap menghasilkan regulasi pilkada langsung. Tentu saja, juga
memperbaiki kelemahan mekanisme pemilihan langsung selama ini. Pertama,
profesionalisme penyelenggara, misalnya, keberpihakan terhadap calon
tertentu, rendahnya integritas dan moralitas. Ini diselesaikan lewat
perbaikan mekanisme rekrutmen dan penegakan hukum.
Kedua, dalam
pemilihan langsung selalu terjadi mobilisasi pemilih dari daerah lain. Jika
pemilihan langsung dilakukan serentak, hal ini tidak akan terjadi. Setiap
orang akan memilih di daerahnya dan tidak memungkinkan mobilisasi.
Ketiga, daftar
pemilih tetap (DPT) yang selalu bermasalah harus menjadi prioritas utama
untuk dibenahi melalui perbaikan data. Keempat, pemilihan langsung
menghabiskan anggaran yang sangat besar.
Pemilihan
langsung adalah hak asasi warga sehingga tidak elok bila negara mengalkulasi
dalam bentuk rupiah. Yang menjadi penting adalah bagaimana negara dan
elemennya menjamin proses demokrasi berjalan efektif dan efisien serta tidak
boros. Ini bisa terjadi bila membuat pembeda dalam mendesain penganggaran
yang sifatnya riil kebutuhan dengan yang boros.
Pilkada secara
langsung menjadi mahal disebabkan penyelenggaraan pemilu tidak taat asas.
Beberapa program dialokasikan dalam anggaran yang tidak perlu ada dan tidak
penting.
Penetapan RUU
Pilkada ini akan menjadi taruhan apakah wakil rakyat kita yang posisinya
sudah di pengujung periode, benar-benar mewakili aspirasi rakyat atau lebih
dominan dikendalikan partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar