Menuju
Era Korporasi Agribisnis Nasionalis
MT Felix Sitorus ;
Praktisi
Agribisnis dan Peneliti Sosial Independen,
Alumnus Program Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
|
SINAR
HARAPAN, 11 September 2014
Kedaulatan
pangan nasional, sebagaimana dicanangkan Jokowi-JK, presiden/wapres terpilih,
adalah harga mati. Untuk itu, rezim kebijakan pangan dalam pemerintahan
mendatang diprediksi berubah radikal dari “ketahanan pangan” menjadi
“kedaulatan pangan”.
Disebut
radikal karena kedaulatan pangan bertolak belakang dengan ketahanan pangan.
Kedaulatan pangan menekankan kemandirian negara mewujudkan keterjaminan
pangan melalui kebijakan, pengaturan, penguasaan, dan pengelolaan sumber
daya, produksi, serta konsumsi pangan nasional yang terlindungi dari
kepentingan pasar global (via
Campesina, 2007).
Sementara
itu, rezim ketahanan pangan menekankan pencapaian keterjaminan pangan
berdasar ketergantungan pada pasar liberal global ala WTO, tanpa peduli
bagaimana dan di mana pangan diproduksi (FAO,
1997).
Dapat
dikatakan perubahan rezim pangan adalah transformasi ideologis dari
liberalisme ke proteksionisme. Implikasinya iklim usaha agribisnis juga akan
berubah menjadi iklim proteksionis yang terkesan antikorporasi. Ini
menimbulkan pertanyaan tentang posisi atau peran korporasi agribisnis dalam
rezim protektif itu nanti.
Tafsir Salah Kaprah
Enam
pilar kedaulatan pangan versi via Campesina (2007), yang menjadi rujukan
standar, memang terkesan antikorporasi agribisnis. Tiga pilar pertama adalah
pangan untuk rakyat, produksi pangan berbasis pengetahuan lokal, dan
pertanian agroekologis. Ini berimplikasi penolakan terhadap komoditasas atau
perdagangan pangan, teknologi luar yang merusak sistem pengetahuan pangan
lokal, dan pertanian industrial yang eksploitatif ekspansif.
Tiga
pilar berikutnya adalah penghargaan pada petani, lokalisasi sistem pangan,
dan kontrol produsen lokal atas pangan. Implikasinya adalah penolakan
terhadap hubungan agribisnis yang melemahkan petani, ketergantungan pada
korporasi asing, dan privatisasi atau korporasi pangan.
Secara
konsisten lima kebijakan pertanian yang kerap disampaikan Jokowi juga
terkesan antikorporasi. Dua kebijakan pertama, yaitu pengamanan lahan baku
pertanian (penghentian konversi lahan) dan peningkatan irigasi, bertujuan
mewujudkan lahan pertanian pangan berkelanjutan sekaligus menjadikan
pertanian sumber nafkah berkelayakan, sebagai bentuk penghargaan pada petani
pangan.
Tiga
kebijakan lainnya bertujuan memandirikan petani, dan terkesan antikorporasi,
yaitu penguatan proses budidaya, pemberdayaan pascapanen, dan peningkatan
akses permodalan. Implementasinya berupa gerakan pemanfaatan benih dan
saprotan organik buatan petani, pemberdayaan petani dalam pengolahan hasil, dan
pembentukan bank pertanian.
Target
pemerintahan Jokowi-JK adalah mewujudkan kedaulatan pangan berbasis
agribisnis kerakyatan melalui pengendalian impor pangan, pemberantasan mafia
impor, dan pengembangan ekspor pertanian berbasis pengolahan hasil pertanian
dalam negeri.
Istilah-istilah
“petani”, “lokal”, dan “kerakyatan” dalam konsepsi kedaulatan pangan di atas
memang terkesan menunjuk “komunitas petani lokal” sebagai stakeholder tunggal kedaulatan pangan.
Tambahan lagi rezim kedaulatan pangan memihak cara produksi agroekologis yang
protektif-konservatif dan menolak cara produksi pangan industrial yang
liberal-eksploitatif. Ini menimbulkan kesan penolakan pada korporasi
agribisnis.
Namun,
itu kesan karena tafsir yang salah kaprah. Istilah “lokal” sebenarnya merujuk
wilayah “domestik” atau “dalam negeri”. Istilah “petani” merujuk keseluruhan
stakeholder pangan mulai dari sektor hulu, tengah (on farm), hilir, sampai sektor pendukung. “Sistem pangan lokal”
merujuk pada pembagian kerja antar-stakeholder
pangan nasional yaitu komunitas petani, korporasi nasional, dan pemerintah.
Setiap stakeholder menempati relung (niches)
tersendiri dalam sistem itu, yang sifatnya tak-tergantikan. Jadi, mustahil
mencapai kedaulatan pangan tanpa peran korporasi agribisnis.
Akan
tetapi, memang harus diakui, rezim kedaulatan pangan akan bersifat limitatif
terhadap stakeholder korporat yang akan terintegrasi ke dalam sistem. Pintu
terbuka lebar, khususnya untuk korporasi agribisnis nasionalis. Sebaliknya,
peran korporasi asing dan importir pangan secara bertahap akan dinetralkan
karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan pangan.
Relung Korporasi
Nasionalis
Dengan
mengusung rezim kedaulatan pangan maka masa pemerintahan Jokowi-JK nanti
adalah era pembangunan korporasi agribisnis pangan nasionalis. Suatu
kebijakan pengembangan industri substitusi impor bidang pangan akan
diberlakukan, sebagai bingkai fasilitasi korporasi agribisnis nasionalis.
Implikasinya,
korporasi agribisnis pangan harus mereposisi diri untuk terintegrasi dengan
sistem kedaulatan pangan nasional. Selain struktur kepemilikan saham harus
mayoritas atau sepenuhnya nasional, pilihan relung agribisnis harus pro
kedaulatan pangan. Bisnis impor pangan, benih, dan saprotan (pupuk/pestisida)
bukan pilihan yang relevan karena secara bertahap pemerintah akan
membatasinya hingga taraf tak signifikan.
Ada
tiga relung strategis yang harus dimasuki korporasi agribisnis pangan
nasionalis. Pertama, agribisnis substitusi impor pangan, benih, dan saprotan
konvensional, sebagaimana umum berlaku sekarang. Korporasi agribisnis
nasional didorong untuk memasuki usaha agribisnis hulu (benih dan saprotan),
serta usaha agribisnis tengah (budidaya pangan) berbasis komunitas tani dan
usaha agribisnis hilir (pengolahan hasil) untuk menutup sebesar mungkin
pangsa produk impor. Memang ada produk impor yang tidak bisa disubstitusi
sepenuhnya, misalnya terigu, tetapi ruang untuk industri tepung alternatif
jelas terbuka.
Kedua,
agribisnis benih dan saprotan unggul baru yang ramah lingkungan. Mengingat ke
depan terbentang kendala keterbatasan lahan, air, dan pupuk anorganik, serta
ketakpastian iklim global maka korporasi agribisnis nasionalis ditantang
memasuki industri benih unggul produksi tinggi (termasuk hibrida), umur
pendek (tanam tiga kali setahun), hemat pupuk, dan resisten terhadap
kelangkaan air serta organisme pengganggu tanaman.
Korporasi
agribisnis juga didorong memasuki industri saprotan ramah lingkungan
(organik/hayati) untuk menutup kelebihan permintaan pasar yang tidak dapat
diisi produksi petani. Relung ini mempersyaratkan investasi besar di bidang
riset pemuliaan benih dan pengembangan saprotan.
Ketiga,
agribisnis jasa keuangan pendukung agribisnis budidaya. Ada dua jenis bisnis
yang sangat urgen dan prospektif dalam rezim kedaulatan pangan, yaitu bank
dan asuransi pertanian. Bank pertanian sangat diperlukan untuk solusi
kesulitan modal usahatani. Sementara itu, asuransi pertanian diperlukan untuk
jaminan kepastian usaha pertanian pangan, sekaligus sebagai insentif bagi
petani untuk terlibat total dalam rezim kedaulatan pangan.
Rezim
kedaulatan pangan nanti niscaya menciptakan iklim kondusif untuk pertumbuhan
korporasi agribisnis nasionalis. Tinggal bagaimana entitas korporasi
agribisnis kita revolusi mental menjadi “tuan di negeri sendiri”, lalu
bergotong royong dengan komunitas petani dan pemerintah mewujudkan kedaulatan
pangan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar