Jumat, 12 September 2014

Menuju Era Korporasi Agribisnis Nasionalis

Menuju Era Korporasi Agribisnis Nasionalis

MT Felix Sitorus  ;   Praktisi Agribisnis dan Peneliti Sosial Independen,
Alumnus Program Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
SINAR HARAPAN, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kedaulatan pangan nasional, sebagaimana dicanangkan Jokowi-JK, presiden/wapres terpilih, adalah harga mati. Untuk itu, rezim kebijakan pangan dalam pemerintahan mendatang diprediksi berubah radikal dari “ketahanan pangan” menjadi “kedaulatan pangan”.

Disebut radikal karena kedaulatan pangan bertolak belakang dengan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menekankan kemandirian negara mewujudkan keterjaminan pangan melalui kebijakan, pengaturan, penguasaan, dan pengelolaan sumber daya, produksi, serta konsumsi pangan nasional yang terlindungi dari kepentingan pasar global (via Campesina, 2007).

Sementara itu, rezim ketahanan pangan menekankan pencapaian keterjaminan pangan berdasar ketergantungan pada pasar liberal global ala WTO, tanpa peduli bagaimana dan di mana pangan diproduksi (FAO, 1997).

Dapat dikatakan perubahan rezim pangan adalah transformasi ideologis dari liberalisme ke proteksionisme. Implikasinya iklim usaha agribisnis juga akan berubah menjadi iklim proteksionis yang terkesan antikorporasi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang posisi atau peran korporasi agribisnis dalam rezim protektif itu nanti.

Tafsir Salah Kaprah

Enam pilar kedaulatan pangan versi via Campesina (2007), yang menjadi rujukan standar, memang terkesan antikorporasi agribisnis. Tiga pilar pertama adalah pangan untuk rakyat, produksi pangan berbasis pengetahuan lokal, dan pertanian agroekologis. Ini berimplikasi penolakan terhadap komoditasas atau perdagangan pangan, teknologi luar yang merusak sistem pengetahuan pangan lokal, dan pertanian industrial yang eksploitatif ekspansif.

Tiga pilar berikutnya adalah penghargaan pada petani, lokalisasi sistem pangan, dan kontrol produsen lokal atas pangan. Implikasinya adalah penolakan terhadap hubungan agribisnis yang melemahkan petani, ketergantungan pada korporasi asing, dan privatisasi atau korporasi pangan.

Secara konsisten lima kebijakan pertanian yang kerap disampaikan Jokowi juga terkesan antikorporasi. Dua kebijakan pertama, yaitu pengamanan lahan baku pertanian (penghentian konversi lahan) dan peningkatan irigasi, bertujuan mewujudkan lahan pertanian pangan berkelanjutan sekaligus menjadikan pertanian sumber nafkah berkelayakan, sebagai bentuk penghargaan pada petani pangan.

Tiga kebijakan lainnya bertujuan memandirikan petani, dan terkesan antikorporasi, yaitu penguatan proses budidaya, pemberdayaan pascapanen, dan peningkatan akses permodalan. Implementasinya berupa gerakan pemanfaatan benih dan saprotan organik buatan petani, pemberdayaan petani dalam pengolahan hasil, dan pembentukan bank pertanian.

Target pemerintahan Jokowi-JK adalah mewujudkan kedaulatan pangan berbasis agribisnis kerakyatan melalui pengendalian impor pangan, pemberantasan mafia impor, dan pengembangan ekspor pertanian berbasis pengolahan hasil pertanian dalam negeri.

Istilah-istilah “petani”, “lokal”, dan “kerakyatan” dalam konsepsi kedaulatan pangan di atas memang terkesan menunjuk “komunitas petani lokal” sebagai stakeholder tunggal kedaulatan pangan. Tambahan lagi rezim kedaulatan pangan memihak cara produksi agroekologis yang protektif-konservatif dan menolak cara produksi pangan industrial yang liberal-eksploitatif. Ini menimbulkan kesan penolakan pada korporasi agribisnis.

Namun, itu kesan karena tafsir yang salah kaprah. Istilah “lokal” sebenarnya merujuk wilayah “domestik” atau “dalam negeri”. Istilah “petani” merujuk keseluruhan stakeholder pangan mulai dari sektor hulu, tengah (on farm), hilir, sampai sektor pendukung. “Sistem pangan lokal” merujuk pada pembagian kerja antar-stakeholder pangan nasional yaitu komunitas petani, korporasi nasional, dan pemerintah. Setiap stakeholder menempati relung (niches) tersendiri dalam sistem itu, yang sifatnya tak-tergantikan. Jadi, mustahil mencapai kedaulatan pangan tanpa peran korporasi agribisnis.

Akan tetapi, memang harus diakui, rezim kedaulatan pangan akan bersifat limitatif terhadap stakeholder korporat yang akan terintegrasi ke dalam sistem. Pintu terbuka lebar, khususnya untuk korporasi agribisnis nasionalis. Sebaliknya, peran korporasi asing dan importir pangan secara bertahap akan dinetralkan karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan pangan.

Relung Korporasi Nasionalis

Dengan mengusung rezim kedaulatan pangan maka masa pemerintahan Jokowi-JK nanti adalah era pembangunan korporasi agribisnis pangan nasionalis. Suatu kebijakan pengembangan industri substitusi impor bidang pangan akan diberlakukan, sebagai bingkai fasilitasi korporasi agribisnis nasionalis.

Implikasinya, korporasi agribisnis pangan harus mereposisi diri untuk terintegrasi dengan sistem kedaulatan pangan nasional. Selain struktur kepemilikan saham harus mayoritas atau sepenuhnya nasional, pilihan relung agribisnis harus pro kedaulatan pangan. Bisnis impor pangan, benih, dan saprotan (pupuk/pestisida) bukan pilihan yang relevan karena secara bertahap pemerintah akan membatasinya hingga taraf tak signifikan.

Ada tiga relung strategis yang harus dimasuki korporasi agribisnis pangan nasionalis. Pertama, agribisnis substitusi impor pangan, benih, dan saprotan konvensional, sebagaimana umum berlaku sekarang. Korporasi agribisnis nasional didorong untuk memasuki usaha agribisnis hulu (benih dan saprotan), serta usaha agribisnis tengah (budidaya pangan) berbasis komunitas tani dan usaha agribisnis hilir (pengolahan hasil) untuk menutup sebesar mungkin pangsa produk impor. Memang ada produk impor yang tidak bisa disubstitusi sepenuhnya, misalnya terigu, tetapi ruang untuk industri tepung alternatif jelas terbuka.

Kedua, agribisnis benih dan saprotan unggul baru yang ramah lingkungan. Mengingat ke depan terbentang kendala keterbatasan lahan, air, dan pupuk anorganik, serta ketakpastian iklim global maka korporasi agribisnis nasionalis ditantang memasuki industri benih unggul produksi tinggi (termasuk hibrida), umur pendek (tanam tiga kali setahun), hemat pupuk, dan resisten terhadap kelangkaan air serta organisme pengganggu tanaman.

Korporasi agribisnis juga didorong memasuki industri saprotan ramah lingkungan (organik/hayati) untuk menutup kelebihan permintaan pasar yang tidak dapat diisi produksi petani. Relung ini mempersyaratkan investasi besar di bidang riset pemuliaan benih dan pengembangan saprotan.

Ketiga, agribisnis jasa keuangan pendukung agribisnis budidaya. Ada dua jenis bisnis yang sangat urgen dan prospektif dalam rezim kedaulatan pangan, yaitu bank dan asuransi pertanian. Bank pertanian sangat diperlukan untuk solusi kesulitan modal usahatani. Sementara itu, asuransi pertanian diperlukan untuk jaminan kepastian usaha pertanian pangan, sekaligus sebagai insentif bagi petani untuk terlibat total dalam rezim kedaulatan pangan.

Rezim kedaulatan pangan nanti niscaya menciptakan iklim kondusif untuk pertumbuhan korporasi agribisnis nasionalis. Tinggal bagaimana entitas korporasi agribisnis kita revolusi mental menjadi “tuan di negeri sendiri”, lalu bergotong royong dengan komunitas petani dan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar