Jumat, 12 September 2014

Tetap Mewaspadai Terorisme

Tetap Mewaspadai Terorisme

Amanda Adiwijaya  ;   Alumnus International Biblical College, Jerusalem
KORAN JAKARTA, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Semua tentu tak boleh melupakan tragedi kemanusian saat para teroris menyerang World Trade Center, New York, AS, pada 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Meski pemerintah George W Bush sudah melancarkan perang global melawan terorisme, hingga kini terorisme tidak ada matinya.

Malah dunia kini tengah menghadapi teror amat mengerikan dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Kelompok ini tega memenggal wartawan AS, James Foley, dan ratusan tentara Suriah. Hal itu ditayangkan di Youtube. Negara-negara anggota Liga Arab baru menyatakan perang terhadap ISIS. Di negeri ini pun ISIS juga laku dan mendapat dukungan dari sebagian kalangan yang memuja terorisme.

Padahal, sejak tragedi 11 September 2001, Indonesia sudah kenyang dengan berbagai serangan teror. Ada Tragedi Bom Bali I dan II. Pada 12 Oktober 2002, terjadi serangan teroris di Paddy’s Pub dan Sari Club Legian, Kuta, Bali.

Ada 202 korban jiwa dan 209 luka. Kebanyakan korban wisatawan asing. Bom Bali I merupakan serangan terorisme terbesar dalam sejarah Indonesia. Tragisnya, malah ada sekuelnya, yaitu Bom Bali II pada 1 Oktober 2005, yang menewaskan 22 orang dan 102 lainnya luka-luka.

Didorong Tragedi Bom Bali I dan II, pemerintah menerbitkan UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Lalu dibentuk Densus 88 Antiteror. Densus sudah menangkap 700 tersangka teroris, 60 lebih ditembak mati, termasuk para gembongnya. Namun, hingga kini, terorisme justru kian menjadi-jadi.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, mengingatkan harus tetap waspada, terlebih setelah polisi dijadikan sasaran para teroris dua tahun belakangan.

Terorisme makin rumit karena kegemaran pelaku membawa-bawa agama sebagai motif utama. Ini bisa dibaca dalam buku karangan John W Morehead Armageddon Enters the New Age of Terroism: A Commentary on Terrorisme and Religon (September 2001).

Buku itu mengungkap banyak fakta tentang terorisme yang mengusung spirit dari berbagai macam agama. Morehead menampilkan kelompok teroris yang sangat terkenal di Amerika dengan sebutan Christian Identity Movement. Salah satu tokohnya Timothy McVeigh, tertuduh pengeboman Gedung Federal di Oklahoma 1995.

Terorisme yang mengusung bendera Islam dewasa ini paling menonjol seperti tampak dalam berbagai serangan teror tadi. Namun Charles Krauthammer (2001), dalam The philosophy of wartime, sudah mengingatkan bahwa Islam bukan musuh sebab para teroris yang mengusung bendera Islam juga memusuhi umat Islam lainnya yang berbeda aliran atau mazhab.

Pesan Agama

Maka, masyarakat harus mampu membedakan terorisme dan agama. Hasil terorisme hanya kehancuran manusia, termasuk pelaku. Para korban sering kali tidak tahu apa-apa dan tidak terkait dengan aspirasi perjuangan para teroris.

Jadi masyarakat bisa melihat terorisme benar-benar anti kemanusian dan perdamaian. Tidak masuk akal mereka mengklaim berjuang demi semata-mata hanya Sang Pencipta. Padahal, buah agama seharusnya hanya rahmat atau kebaikan bagi diri dan sesama.

Maka, menolak terorisme dan segala aksinya berarti harus kembali kepada esensi sejati agama. Apa pun agamanya, sejatinya selalu menghargai kehidupan sendiri dan sesama. Ajakan teroris yang memuja altar kematian dan kekerasan harus tegas ditolak.

Apalagi, jika menggali pesan semua agama, akan mendapat kesamaan bahwa kehidupan harus dihargai, bukan malah dilecehkan. Islam berpesan: tidak seorang di antara kamu bisa disebut orang beriman jika tidak mencintai saudaranya seperti diri sendiri (The Forty-Two Traditions of An-Nawawi).

Kristen, "Tuhan adalah pengasih, bukan pembenci. Tuhan adalah penyayang kehidupan bukan kematian. Dia mencinta damai, bukan kebencian. ”Yahudi, “Apa yang tidak kausukai sendiri, jangan kaulakukan pada sesamamu. Itulah inti dari semua Hukum Tuhan” (Talmud, Shabbat 31a). Hindu juga berpesan sama: Do not do to others what would cause you pain if done to you – kamu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain jika itu kamu terapkan pada dirimu sendiri dan ternyata sakit (Mahabharata 5.15.17). Jadi terorisme hanya membawa pesan kematian, sementara agama membawa pesan kehidupan.

Kini menjadi tugas semua umat beragama apa pun untuk mengamalkan nilai-nilai luhur seperti itu. Selama nilai-nilai seperti itu tidak pernah dipraktikan dalam kehidupan nyata. Pada saat itulah orang akan gampang terbujuk mengikuti pemahaman ekstrem para teroris.


Namun, Kepala BNPT, Ansyat Mbai, menilai semua opini di media massa yang membahas terorisme percuma saja. Sebab banyak opini atau wacana tentang terorisme terlalu melingkar-lingkar dan tidak menyentuh inti masalah sesungguhnya.

Akar terorisme Indonesia ada pada para mastermind atau “guru” yang telah menanamkan ajaran teror dan kebencian di dalam diri anak-anak muda. Ini membuat mereka meyakini terorisme sebagai sebuah jalan perjuangan demi menegakkan kebenaran.

Ansyaad Mbai mempertanyakan posisi negara pada orang-orang yang telah mengajarkan bahwa membunuh, menyebabkan orang lain terluka, bahkan meninggal sebagai ajaran yang benar.

Baginya akan sangat sulit memberantas terorisme jika para guru terorisme tidak ditindak. Selama ini keberadaan para guru sama sekali tak pernah disentuh hukum. Polisi atau aparat keamanan terlalu memprioritaskan mencari pelaku lapangan, sementara aktor intelektualnya masih leluasa dan dibiarkan mencuci otak orang muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar