Jumat, 12 September 2014

Kisruh BBM dan Kepanikan Jokowi-JK

Kisruh BBM dan Kepanikan Jokowi-JK

La Ode Muhammad Rabiali  ;   Sedang melanjutkan studi Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SINAR HARAPAN, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Keinginan Jokowi-JK menaikkan harga BBM pada pemerintahan baru ke depan merupakan kebijakan tidak populis. Hal ini menimbulkan banyak kritik. Tidak saja bagi Koalisi Merah Putih sebagai lawan politik mereka, tetapi juga kalangan grass root masyarakat bawah pendukungnya.

Banyak hal patut dicermati atas keinginan Jokowi-JK tersebut. Pertama, keinginan Jokowi menaikkan harga BBM ke depan tercetus ketika beliau gagal meminta Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum pelantikannya pada Oktober 2014. Memang dari rencana pemerintahan SBY, penaikan BBM harus dilakukan paling lambat Januari 2015.

Secara politik, rencana kenaikan tersebut berdampak negatif terhadap pemerintahan baru. Mau tidak mau pemerintahan yang baru menanggung risiko “cacian” dari masyarakat yang secara psikologis mengalami depresi ekonomi setelah beberapa kali kenaikan BBM.

Atas dasar itu, Jokowi-JK dan kompatriotnya di rumah transisi seperti “menekan” SBY untuk segera menaikkan harga BBM. Dengan demikian, berbagai risiko kenaikan BBM itu bukanlah “dosa” mereka di mata rakyat, tetapi lebih pada kesalahan pemerintah SBY.

Kedua, menjadi kontradiksi ketika Jokowi-JK menaikkan harga BBM ke depan ataupun meminta kepada SBY menaikkan harga BBM hari ini. PDIP—sebagai partai utama penyokong Jokowi-JK—menolak tegas kenaikan harga BBM yang dilakukan SBY.

Bahkan PDIP sampai walk out di parlemen saat dilakukan voting untuk menyetujui atau tidaknya kenaikan itu pada 2013. Menjadi nyata saat ini bahwa apa yang dilakukan PDIP di parleman untuk menolak kenaikan BBM saat itu merupakan strategi politik pencitraan. Ini berhasil mereka perankan untuk meminang kecintaan publik.

Ketiga, secara politis kebijakan ini meruntuhkan kepopuleran Jokowi yang disebut sebagai pemimpin wong cilik. Imbas kenaikan ini lebih akan dirasakan masyarakat kelas bawah.

Ekspektasi besar rakyat kecil atas kemenangan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 untuk memperbaiki perekonomian dan menurunkan harga barang, dihadiahinya dengan menaikkan harga BBM yang tentu diiringi naiknya kebutuhan pokok masyarakat.

Survei terakhir yang dilakukan LSI per Agustus 2014 (Merdeka.com) terhadap publik atas rencana kenaikan BBM menunjukkan, 73,17 persen menolak dan hanya 21,46 persen gagasan ini disetujui rakyat. Ini menggambarkan penolakan rakyat terhadap rencana menaikkan BBM. Jikalau itu dipaksakan, secara politik menurunkan simpati rakyat pada Jokowi-JK.

Keempat, menarik mencermati dukungan partai koalisi pendukung Jokowi atas ide menaikkan harga BBM yang dengan serta-merta menyetujuinya. Kita tidak tahu secepat itukah untuk menyetujui ide menaikkan harga BBM tanpa kompromi sedikit pun untuk menolak ide Jokowi-JK, walau mereka berada pada satu gerbong koalisi. Atau jangan-jangan kebijakan untuk menyetujui ide itu semata-mata didasarkan pada kepentingan koalisi, bukan rakyat.

Harusnya partai pengusung koalisi mampu menawarkan alternatif strategi untuk menolak gagasan menaikkan BBM ataupun mungkin menerima gagasan tersebut, dengan catatan inplementasinya di tahun-tahun mendatang, bukan pascapelantikan Jokowi-JK. Kita semua tentu kaget melihat partai pengusung Jokowi-JK dengan jargon “Gerakan Perubahan”.

Kemudian dengan jargon itu, membawa mereka pada satu kepercayaan rakyat terlibat dalam “nafsu” politik kepentingan partai untuk menaikkan harga BBM keluar dari jalurnya selama ini yang tegas menyuarakan penurunan harga barang.

Mereka seperti tidak lagi kritis bahkan terkesan menjadi oportunis tak berkutik dan menjadi layu untuk menyuarakan gerakan perubahan seperti yang diidamkan rakyat. Ini tentu menjadi catatan buruk bagi rakyat. Pastinya berimbas negatif pada masa depan politik partai pengusung itu untuk lima tahun ke depan.

Kehabisan Akal

Ngotot-nya Jokowi-JK untuk menaikkan tarif BBM menjadi cermin bahwa duet ini tidak memiliki visi kuat dalam membangun ekonomi rakyat. Apalagi pengambilan kebijakan ini terlampau terburu-buru sebelum resmi keduanya dilantik.

Ini menunjukkan baik Jokowi-JK dan partai pengusungnya mengalami kepanikan politik atas rencana kenaikan harga BBM yang dipatok Presiden SBY di masa datang. Padahal, kebijakan SBY ke depan yang telah tersusun sampai 2015 betapa pun sulitnya masih dapat direvisi.

Lagi pula kepanikan itu tidak mendasar seperti sudah kehabisan akal bahwa untuk menekan pengeluaran negara pada subsidi BBM hanya dapat dilakukan dengan menaikkan harga BBM itu sendiri.

Persoalan sebenarnya bukan pada penting tidaknya harga BBM itu naik, melainkan terletak pada problema bagaimana kebijakan dan niat itu lahir. Saya yakin Jokowi-JK yang baru terpilih dan belum dilantik tidak memahami sepenuhnya persoalan ekonomi kebangsaan dari 200 juta lebih rakyat Indonesia.

Pertanyaannya, sudahkah Jokowi-JK yang belum dilantik itu memperhitungkan dan memiliki data akurat kuantitatif dan kualitatif? Berapa sesungguhnya kebutuhan migas yang kita perlukan? Apakah Jokowi-JK mampu memprediksi kebutuhan migas itu sampai lima tahun ke depan kepemerintahannya bagi seluruh rakyat. Elemen mana yang mengonsumsi BBM tertinggi? apakah masyarakat bawah, menengah, atas, ataupun industri. Berapa kebutuhan elemen-elemen tersebut dan prediksinya sampai lima tahun ke depan?

Berapa cadangan migas asli dari perut bumi kita untuk sampai lima tahun ke depan. Seberapa besar biaya produksi serta distribusinya ke masyarakat sekaligus berapa besar kebutuhan impor untuk mencukupi jikalau kita memiliki kekurangan pasokan dan berapa nilai belinya sampai distribusinya ke masyarakat Indonesia.

Berapa juga harga BBM internasional per barelnya tahun ini dan prediksi harga sampai lima tahun ke depan serta berapa yang layak dijual untuk masyarakat kita.

Selanjutnya berapa nilai kerugian negara yang patut diselamatkan terhadap pengelolaan migas di Indonesia, jikalau boleh saya mengutip apa yang disampaikan Prabowo-Hatta, berapa sesungguhnya kebocoran yang ada dalam pengelolaan migas kita dan lain sebagainya.

Tentu banyak hal yang patut dipelajari dan dipertimbangkan lebih dalam. Bukan sekadar panik politik lalu serta-merta menaikkan harga BBM untuk menekan nilai subsidi negara terhadap harga BBM yang dianggap tidak layak.

Rencana anggaran untuk belanja subsidi energi pada 2015 sebesar Rp 291,1 triliun. Angka ini meningkat dari APBN perubahan tahun 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Untuk menekan angka tersebut, selayaknya Jokowi-JK memiliki strategi alternatif.

Bukan sekadar mengandalkan peningkatan harga jual BBM bersubsidi, melainkan seiring revolusi mental yang dilontarkan pada masa kampanye dapat dilakukan dengan menata birokrasi sebaik mungkin. Setiap orang mampu bekerja sesuai kompetensinya, memahami manajerial, dan bermoral yang mampu bekerja secara efektif, efisien, optimal serta sustainable.

Mengaca pada pemerintahan sebelumnya atau di masa pemerintahan SBY, begitu besar kerugian negara akibat perilaku buruk birokrasi. Sebut saja seperti kasus penggelapan pajak, Bank Century, Melinda Dee, korupsi migas, Hambalang, dan lain sebagainya.

Hal ini belum terhitung dengan perusahaan-perusahaan tambang yang jumlahnya ribuan dan kerap kali tidak membayar pajak. Masih banyak aspek yang harus didalami dan dipelajari kembali untuk meningkatkan pendapatan negara baik dari sektor pajak dan nonpajak.

Tentu kalau ini dapat diperbaiki melalui misi revolusi mental, kita mampu menyelamatkan uang negara hingga tidak penting lagi untuk menaikkan harga BBM dalam menekan biaya subsidi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar