Kolonisasi
Partai Atas Demokrasi Pancasila
Anthon Raharusun ;
Dosen
Institut Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Papua; Promovendus Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 18 September 2014
Tidak
dapat dibantah bahwa demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di
dalam sistem politik dan ketatanegaraan suatu negara. Khazanah pemikiran dan
preformansi politik di berbagai negara sampai pada satu titik temu bahwa
”demokrasi” adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Namun,
masalah yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan tentang
demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di dalam
praktik ketatanegaraan dan kehidupan politik suatu bangsa.
Berbagai
negara telah menentukan rute perkembangannya sendiri. Tidak sedikit di
antaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur yang sangat
tidak demokratis, kendati di atas kertas menyebutkan ”demokrasi” sebagai
asasnya yang fundamental.
Oleh
sebab itu, studi-studi tentang politik telah sampai pada tahap identifikasi
bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas demokrasi normatif dan
demokrasi empiris.
Demokrasi
normatif menyangkut rangkuman gagasan-gagasan atau idealisme tentang demokrasi
yang terletak dalam alam filsafat. Sementara itu, demokrasi empiris adalah
pelaksanaannya secara empiris (lapangan) tidak selalu paralel dengan gagasan
normatifnya. Ada yang menyebut istilah lain untuk demokrasi normatif dan
empiris ini, yakni sebagai essence
dan demokrasi sebagai performance.
Di
dalam ilmu hukum istilah yang sering dipakai adalah demokrasi das sollen dan
demokrasi das sein. Karena sering terjadinya persilangan antara demokrasi
normatif dan demokrasi empiris, itulah mengapa diskusi-diskusi tentang
pelaksanaan demokrasi menjadi objek yang senantiasa menarik untuk selalu
diperbincangkan dalam ruang dan waktu sesuai dinamika perkembangan yang
terjadi.
Kiblat Demokrasi
Beranjak
pilihan demokrasi tersebut di atas, Indonesia yang menurut banyak pihak
sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia (setelah Amerika dan
India), dalam perkembangannya pun terus mengalami pasang surut antara
membangun demokrasi Pancasila dan mengembangkan sistem multipartai–yang terus
berkembang mewarnai sistem demokrasi di Indonesia. Praktik demokrasi yang
terus berkembang ini seringkali mengabaikan paham demokrasi Pancasila.
Pancasila
kemudian menjadi terasing hiruk-pikuknya kehidupan demokrasi di tengah denyut
nadi demokrasi Indonesia. Pancasila yang menjadi landasan idiologi partai,
akhirnya hanyalah formalistis belaka. Bahkan, Pancasila terpinggirkan akibat
sikap kolonisasi dari partai-partai politik. Bukankah Pancasila dibangun atas
dasar kedaulatan rakyat? Makna kedaulatan tidak bisa dimaknai secara sempit
oleh para wakil rakyat.
Namun,
rakyatlah yang semestinya memberi makna dan menentukan kiblat kedaulatan
(baca: demokrasi) itu sendiri. Bukan ditentukan segelintir elite-elite
politik (baca: partai politik)–dengan mengatasnamakan kepetingan daulat
rakyat.
Jika
saja para elite partai politik (parpol) secara sempit memaknai kedaulatan
rakyat, mereka telah mengolonisasikan demokrasi Pancasila dan mengabaikan
kedaulatan rakyat. Padahal, Pancasila sejak awal berdirinya bangsa ini telah
menjadi falsafah fundamental bagi peradaban bangsa ini dari berbagai
perbedaan yang ada.
Kalau
sekiranya para elite parpol menyadari akan hak, kewajiban, dan tanggung jawab
konstitusionalnya terhadap keberlangsungan bangsa ini, adalah sebuah
keniscayaan untuk senantiasa mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Kiblat
demokrasi kita sangat jelas, yaitu “Demokrasi Pancasila”. Bukan demokrasi
yang diadopsi dari paham demokrasi bangsa lainnya.
Namun
pertanyaannya, mengapa partai-partai politik mau mengolonisasikan Pancasila?
Padahal, kalau mereka menyadari, salah satu syarat berdirinya parpol adalah
wajib mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dalam anggaran dasarnya.
Lalu,
mengapa mengabaikan dasar negara itu sendiri? Dalam konteks kedaulatan
rakyat, “Siapa yang diwakili parpol dan mengapa wakil rakyat tidak mewakili
yang diwakili? Pertanyaan reflektif ini mungkin perlu direnungkan secara
mendalam dan dijawab sendiri oleh para elite parpol.
Demokrasi Pancasila
Esensi
tulisan ini adalah mau memberikan sebuah refleksi kebangsaan dari sikap
kolonisasi parpol atas diabaikannya paham demokrasi Pancasila, dalam
kontestasi politik seputar kontoversi terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).
Kontroversi
ini muncul akibat adanya kepentingan elite-elite parpol yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih (KMP). KMP menginginkan agar pilkada gubernur, bupati,
dan wali kota dipilih kembali oleh DPRD. Alasannya sederhana saja, agar
pilkada lebih efisien, hemat anggaran, dan argumentasi politik lainnya.
Sikap
inkonsistensi KMP ini tentu bisa dipahami sebagai bentuk perlawanan akibat
kekalahan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Sikap KMP ini
justru berbanding terbalik dengan paham demokrasi Pancasila yang direduksi
dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan: “gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Makna
“dipilih secara demokratis” tentu masih membuka ruang perdebatan. Namun,
setidaknya ada dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu
dipertahankan. Pertama, untuk membuka pintu bagi tampilnya kepala daerah yang
sesuai kehendak mayoritas rakyat.
Kedua,
untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah
jalan seperti yang terjadi pada rezim UU No 22/1999 tentang pemerintahan
daerah. DPRD sewenang-wenang melakukan pemakzulan terhadap kedudukan seorang
kepada daerah.
Dengan
supremasi kekuasaan DPRD yang begitu besar, selain semakin memperkuat
kedudukan DPRD, akan berakibat pada tidak terciptanya prinsip check and
balances dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Oleh
karena itu, proses kematangan demokrasi melalui pilkada langsung dari waktu
ke waktu dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan juga
mengembalikan citra demokrasi Pancasila ke fitrahnya. Jika tidak, bangsa ini
akan terus mengalami kemunduran dalam membangun nilai-nilai peradaban
demokrasi yang lebih berpancasilais.
Penguatan
nilai-nilai demokrasi yang lebih berpancasilais merupakan prerequisite
(prasyarat utama) memperkokoh Pancasila sebagai dasar negara. Sebaliknya,
pengabaian terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila yang bersifat piece meal,
tidak akan pernah memperkokoh landasan demokrasi Pancasila.
Akhirnya,
setiap upaya kolonisasi dari partai-partai politik terhadap nilai-nilai
demokrasi Pancasila akan selalu mengancam integritas negara kesatuan dan
berpotensi membuka peluang bagi masuknya ideologi lain yang menggantikan
dasar negara Pancasila dengan paham atau ideologi lainnya yang lebih ekstrem. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar