Mengamankan
Pilkada Langsung
Agus Wahid ;
Lulusan Pascasarjana UI
|
KORAN
JAKARTA, 25 September 2014
Penolakan RUU Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) yang rencananya diputuskan hari ini makin meluas
karena akan dikembalikan ke DPRD, tidak lagi langsung. Alasan revisi UU
Pilkada antara lain karena banyak konflik horizontal.
Selain itu, banyak kepala
daerah mengeksploitasi jabatan untuk mengembalikan dana politik. Maka, banyak
di antara mereka menjadi tersangka korupsi. Dari 524 kepala daerah
(bupati/wali kota) periode 2005–2014, sebanyak 327 orang berurusan dengan
KPK. Ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai keefektifan pemerintahan
daerah. Jadi, bagaimana bisa menyejahterakan rakyat bila korupsi menggila?
Kendatipun demikian,
proses demokratisasi harus terus berlangsung, tak boleh ditarik ke belakang
dengan mengembalikan pilkada ke DPRD. UU No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah di antaranya mengamanatkan sistem pemilihan langsung
rakyat bukanlah “hadiah” tiba-tiba. Dia diperjuangkan melalui pintu politik
yang penuh pengorbanan.
Gerakan reformasi
“berdarah-darah” menjadi tonggak politik perubahan mendasar, di antaranya
mengembalikan hak setiap individu untuk menentukan pemimpinnya. Inilah
perjuangan yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh parlemen.
Memang ada sejumlah
kelemahan dalam sistem pilkada langsung. Tetapi, dalam setiap proses
kehidupan memang demikian, tak ada yang sempurna. Usaha ke arah penyempurnaan
yang harus dilakukan, bukan menarik kembali ke belakang. Hak konstitusional
setiap individu haruslah dihormati dengan langkah lebih cerdas, tanpa
menyurutkan kembali kisah sukses demokrasi.
Yang penting adalah
memperbaiki berbagai sisi, seperti sistem perekrutan calon kepala daerah.
Partai yang menelurkan calon harus bijak. Jangan menjadikan calon sebagai
sapi perah sehingga harus menyetor uang dalam jumlah besar. Utamakan faktor
kapabilitas, integritas, dan moralitas kandidat agar dapat memajukan dan
memakmurkan masyarakat dan memajukan daerah.
Sementara itu, terhadap
kandidat independen, diperlukan syarat yang lebih ringan, terutama jumlah
lampiran KTP pendukung. Sungguh disayangkan jika kandidat potensial harus
tersingkir karena prasyarat yang berat itu. Maka, revisi UU Pilkada akan jauh
lebih mengena andai prasyarat kandidat independen diperingan, minimal untuk
kepentingan awal pendaftaran.
Penyelenggara pemilu (KPUD
dan perangkat di bawahnya) serta Bawasda harus mampu menunjukkan integritas,
profesional, adil, netral, dan akuntabel. Perlu dicatat, sejumlah konflik
vertikal dan horizontal pascapilkada langsung juga bisa disebabkan sisi
penyelenggara.
Di sini perlu penegakan
hukum tegas terhadap penyelenggara yang memihak atau diskriminatif. Sikap
hukum ini juga harus diterapkan pada kandidat yang menebar uang dan seluruh
elemen masyarakat yang terbukti menerima.
Biaya politik tinggi yang
cenderung mendorong korupsi bisa diatasi secara sistematis dengan pendekatan
hukum mulai proses pemilihan. Jika perlu, wewenang kepolisian diperluas
sampai pada pidana para pelanggar prinsip pemilihan, bukan hanya soal
anarkistis. Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilihan dari unsur kandidat,
masyarakat, dan penyelenggara perlu dimasukkan ke otoritas kepolisian sebagai
penindak pelanggaran politik.
Andai wewenang penegak
hukum tetap terbatas, penyelenggara (KPUD) harus mampu menegakkan aturan
tentang pasal diskualifikasi bagi para kandidat yang menyuap. Otoritasnya
tidak lagi di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi cukuplah di KPUD. MK perlu
dirancang ulang agar lebih fokus menangani persoalan-persoalan uji materi UU.
Selain itu, tak boleh
dibiarkan perangai penyelenggara yang bermain mata dengan kandidat atau
masyarakat. Konspirasi demikian harus ditekan dengan hukum lebih tegas.
Kemudian, andai sistem
pilkada secara perwakilan disahkan, anasir DPRD akan menjadi “raja” yang siap
menerkam kepala daerah. Kinerjanya selalu dibayang-bayangi kekuatan lembaga
legislatif. Setiap harinya terasa tidak nyaman. Meski atas nama kontrol dan
fungsional, wewenangnya sangat mungkin dipelintir. Hal ini memungkinkan besar
kontraproduktif tugas kepala daerah.
Aman
Pilkada langsung kini
sedang dipertaruhkan di DPR. Untuk sementara, barisan pro-Pilkada tak
langsung yang dimotori Gerindra, dulu diikuti PKS, PAN, PPP, dan Golkar.
Kini, soliditas mereka mulai goyang. Faktornya lebih dikarenakan konflik
internal seperti yang pada PPP dan Golkar.
Insoliditas Koalisi Merah
Putih ini akan memperkuat barisan pro-Pilkada langsung. Maka, PDI Perjuangan,
Hanura, dan PKB akan mendapat suara tambahan dari pecahan PAN, PPP, dan
Golkar. Suara kubu pro-Pilkada langsung ini akan bertambah setelah Partai
Demokrat menunjukkan sikap politiknya yang lebih menyetujui Pilkada langsung.
Rasanya sistem Pilkada langsung cukup aman.
Pilkada langsung harus
dipelihara dan terus diperbaiki agar mampu melahirkan pemimpin daerah yang
kredibel dan mampu memajukan daerah serta kemakmuran masyarakat. Jangan
sampai ini hanya menjadi slogan. Rakyat mengharapkan wakil di parlemen memilih
dengan hati nurani, bukan kepentingan sesaat yang pragmatis, sehingga Pilkada
langsung keluar sebagai pemenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar