Jaksa
Agung Abraham Samad
Kamaruddin ;
(Tanpa Penjelasan)
|
HALUAN,
24 September 2014
Daftar nama calon pengisi Kabinet Trisakti Jokowi dan JK beredar di
dunia maya. Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi,
digadang-gadang akan menduduki jabatan Jaksa Agung. Masuknya nama
pentolan KPK tersebut dalam bursa Kabinet Trisaksi sebagai calon Jaksa Agung
ke 24 menarik untuk dicermati.
Karena berdasarkan polling
Kabinet Rakyat (www.kabinetrakyat.org) yang diadakan dari tanggal 17 Juli
sampai 4 September 2014 , terlihat masyarakat luas sangat menginginkan
Abraham Samad (2.559 pemilih) jadi Jaksa Agung.
Besarnya dukungan
masyarakat terhadap Abraham Samad untuk menduduki jabatan Jaksa Agung dikarenakan
sosok seperti beliau sangat diperlukan agar Lembaga Kejaksaan berjalan lebih
profesional dan diandalkan.
Mencuatnya nama Abraham Samad
diseantero negeri ini bermula ketika ia terpilih menjadi ketua KPK periode
2011-2015. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan tersebut memperoleh
suara mayoritas yakni 43 suara (76,78 persen) jauh melampui empat pimpinan
KPK lainnya, Busyro Muqoddas (5 suara), Bambang Widjojanto (4 suara),
Zulkarnain (3 suara), serta Adnan Pandu Praja (1 suara).
Figurnya semakin
me-Indonesia karena pernyataan-pernyataannya yang lantang dan lugas
pada saat memberikan pernyataan-pernyataan. Dalam
menjalankan roda organisasi hukum di KPK, Abraham Samad terkenal
sangat tegas dan berani dengan menyeret tersangka korupsi kelas kakap
tanpa pandang bulu apakah itu menteri, jenderal, polisi, anggota-anggota DPR/
MPR, pimpinan partai dan lain sebagainya.
Andai nanti Abraham Samad
memang dilantik sebagai Jaksa Agung, maka ini pertama kali Kejaksaan Agung
yang berasal dari aspirasi dan pilihan masyarakat yang diusulkan secara
terbuka. Sebagaimana harapan masyarakat terhadap Presiden baru, harapan masyarakat
terhadap Jaksa Agung yang baru tentu juga sangat tinggi. Lembaga Kejaksaan,
beberapa kali pernah dipimpin “orang luar” Korps Adhyaksa diantaranya Andi
Galib, Marzuki Darusman, Marsilam Simanjuntak dan Abdul Rahman Saleh.
Kejaksaan adalah lembaga besar
yang mempunyai sejarah panjang. Sehingga wajar kalau dalam lembaga ini
terbentuk dan berlaku suatu kultur tertentu yang menyangkut semua segi
praktik kehidupan lembaga ini. Kejaksaan mempunyai doktrin Satya Adi Wicaksana,
mempunyai kode etik Tata Krama Adhyaksa, mempunyai organisasi dan pola tata
kerja dan kebiasaan-kebiasaan lain yang baku.
Untuk itu, seorang Jaksa Agung
perlu memahami betul kultur tersebut, agar kehadirannya sebagai pimpinan
baru dapat memetakan persoalan-persoalan yang membuat Lembaga ini cenderung
dicurigai dan tidak dipercaya publik.
Pada sisi luar, kita melihat
bahwa dengan pertanggungjawabannya yang hierarkhis dan pemberlakuan ala
sistem komando, lembaga ini terkesan mencoba mengontrol kekuasaan dengan
menjerat penyalahgunaan kekuasaan (korupsi), terutama di daerah. Kasus-kasus
yang mengesankan opini negatif tidak terselesaikan secara tuntas dan
menyeluruh. Sulit bagi masyarakat untuk melupakan Jaksa Urip Tri Gunawan yang
tertangkap tangan dengan uang suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apalagi di daerah banyak oknum yang suka mempermainkan dengan mempergunakan
celah hukum untuk merekayasa kasus.
Banyak gunjingan tentang
perilaku oknum-oknum jaksa yang diduga melakukan kebohongan, sewenang-wenang
dan tidak profesional di dalam melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan penegakan hukum. Misalnya, menetapkan seseorang sebagai
tersangka sebelum dilakukan penyelidikan atau mengurangi atau menambah
jumlah tersangka dari jumlah yang sebenarnya.
Atau melakukan pelanggaran
prosedur dalam penetapan tersangka dan terdakwa di berbagai kasus, juga
tindakan sewenang-wenang di dalam mempidanakan kasus-kasus sengketa
perdata/kepemilikan yang terjadi antara warga negara dengan negara; mengkorupsikan
pelanggaran-pelanggaran pidana ketentuan peraturan perundang-undangan
khusus misalnya undang-undang di bidang perizinan, undang-undang di bidang
kehutanan dan undang-undang di bidang lingkungan hidup dan sebagainya.
Kasus-kasus pidana biasa yang dijadikan kasus korupsi di dalam dugaan
pelanggaran kehutanan dan penyimpangan administrasi Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
Ada pula kesan yang terlihat
bahwa kesuksesan tugas dilihat dari berapa jumlah kasus atau warga negara
yang dapat di bawa ke pengadilan. Tidak peduli apakah suatu kasus itu cukup
bukti atau tidak. Ini sama saja artinya dengan meng-fait accompli pengadilan,
yang di dalam kebanyakan kasus tidak dapat keluar dan menghindar dari
persepsi dakwaan jaksa ataupun persepsi kebersalahan publik yang terbentuk
akibat penetapan seseorang menjadi tersangka/terdakwa.
Ini yang dinamakan penyidikan
sesat sebagai bagian dari peradilan sesat yang berujung pada penegakan hukum
sesat. Penyidikan sesat merupakan kegagalan penyidikan yang dilakukan oleh
aparat penyidik secara substantif yang dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan
(unability) dan ketidakmauan (unwillingness).
Ketidakmampuan
penyidikan diakibatkan dari profesionalisme aparat yang kurang, sedangkan
ketidakmauan penyidikan berkaitan dengan masalah KKN yang dilakukan oleh
aparat penyidik yang sudah menjadi rahasia umum. Kondisi ketidakmampuan dan
ketidakmauan membuat aparat penyidikan cenderung bertindak asal-asalan
untuk memenuhi target semata, ketimbang melakukan penyelidikan dan
penyidikan secara benar dan sesuai hukum yang berlaku.
Praktek penyimpangan yang
dilakukan di pada level Kejaksaan Negeri yang tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap hukum masih minim membuat praktek-praktek tersebut tidak terekspose
ke permukaan. Akibatnya para oknum jaksa nakal tersebut makin leluasa
melakukan ulahnya dan dia menjadi orang yang ditakuti di daerah tersebut.
Dalam kondisi demikian,
perilaku penyidik kemudian menjadi tidak transparan bahkan bersikap koruptif
dengan menjadikan sebuah kasus/perkara menjadi obyek dan ladang pemerasan.
Hal seperti ini terjadi ketika penyidik sengaja memaksakan kasus perdata
menjadi kasus pidana, bahkan disertai ancaman penahanan, sehingga pembuatan
BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sampai pada SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan) yang cenderung kontroversi.
Selanjutnya masalah penahanan
juga dijadikan obyek tawar menawar antara penyidik dengan tersangka. Para
tersangka akhirnya menjadi seperti lalat yang terperangkap jaring laba-laba
ketika mulai berurusan dengan penyidik, dan dibuat frustasi karena untuk memperoleh
penegakan hukum diperlukan uang yang banyak. Bukan hanya masyarakat umum,
para pejabat daerahpun banyak yang dijadikan “sumber uang” karena telah
terindikasi melakukan penyimpangan hukum.
Dengan “senjata” sebagai
institusi pengendali proses perkara (Dominus Litis) yang “menentukan” apakah
suatu kasus diajukan ke Pengadilan atau tidak, kasus tersebut tidak
dituntaskan dan dibiarkan mengambang dan akhirnya menimbulkan kesan bahwa kasus
tersebut memang sengaja tidak segera dituntaskan. Kasus-kasus yang “masih
menggantung” atau tidak diselesaikan dengan tuntas atau lebih berpihak kepada
kepentingan pihak yang memberikan uang, telah menimbulkan sikap skeptis
masyarakat terhadap kejaksaan dan pada penegakan hukum pada umumnya.
Banyak yang berpendapat bahwa
apa yang terjadi pada Kejaksaan bukanlah persoalan yang hanya melanda
institusi penegak hukum. Ada persoalan fundamental yang terkait dengan
profesionalitas dan integritas seorang penegak hokum, yaitu dukungan sistem
yang lebih rapi, kredibel dan akuntabel. Salah satu diantaranya menyangkut
kesejahteraan aparat penegak hukum.
Rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum salah satunya disebabkan integritas
moral dan profesionalitas dari aparat penegak hukum yang rendah dan buruknya
pelayanan kepada masyarakat. Hal ini diakui oleh Jaksa Agung Basrief Arief
dalam amanatnya pada Peringatan Hari Bakti Adhyaksa 2 tahun terakhir
Untuk memulihkan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap Instansi Kejaksaan diperlukan peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari segi kredibilitas dan profesionalitas
dalam menjalankan tugasnya dalam penanganan kasus atau peningkatan kinerja
serta peningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Perlu dilakukan terobosan baru
dalam upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban pejabat penyidik, akibat
penyidikan sesat yang mereka lakukan. Penyidik memang memiliki kewenangan
penyidikan berdasarkan undang-undang, tetapi mereka juga dibebani tanggung
jawab untuk menjalankan kewenangannya tersebut secara benar dan bertanggung
jawab. Para korban ataupun masyarakat lainnya secara hukum dapat meminta
pertanggungjawaban aparat penyidik baik sebagai lembaga maupun sebagai
pribadi pejabat, bila mereka melakukan penyimpangan dalam proses penyidikan
dan bertindak sewenang-wenang, yang melanggar hak-hak asasi warga negara.
Pertanggungjawaban atas
penyidikan sesat tingkat pidana dapat dimintakan kepada pejabat kepolisian
dari tingkat Kapolri, Kabareskim sampai dengan jajaran di bawahnya yang
melakukan penyidikan sebuah kasus secara ceroboh dan tidak profesional. Demikian
pula halnya jika hal serupa terjadi di Kejaksaan Agung beserta jajarannya.
Masyarakat yang menjadi korban
tindakan aparat penyidik jangan segan-segan untuk melaporkan atau melakukan
tuntutan terhadap aparat penyidik bila mereka melakukan kesewenang-wenangan
karena kita sudah memiliki UU Perlindungan Saksi dan Pelapor sebagai jaminan
keamanan bagi mereka.
Mencuatnya nama Abraham Samad
merupakan respon masyarakat atas kinerja Kejaksaan selama ini yang dinilai
belum mampu memulihkan kepercayaan masyarakat. Dan adanya “perintah”
Presiden SBY untuk mempercepat pemberian remunerasi atau tunjangan kinerja
di lingkungan Kejaksaan supaya penyimpangan yang terjadi jauh berkurang
merupakan bentuk solusi dan momentum untuk kembali menjadi institusi yang sesuai
harapan masyarakat. Ketika nantinya Jaksa Agung baru adalah Abraham Samad
atau siapapun orangnya asal mempunyai kaliber yang sama dan remunerasi telah
diberikan, tidak ada lagi alasan keterbatasan fasilitas atau kesejahteraan
untuk membentuk aparat Kejaksaan yang handal, tangguh, profesional, bermoral
dan beretika guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan
wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar