Menerapkan
Revolusi Mental
Ignas Kleden ;
Sosiolog,
Ketua Badan Pengurus Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
25 September 2014
TATKALA Joko
Widodo sebagai calon presiden melansir pemikirannya tentang revolusi mental,
mungkin banyak orang belum menyadari bahwa gagasan itu akan dikembangkan
menjadi suatu teori pembangunan kalau dia terpilih sebagai Presiden
Indonesia.
Revolusi
mental segera menarik perhatian karena pemikiran itu merupakan suatu kejutan
di tengah maraknya pragmatisme politik selama masa reformasi. Lagi pula,
masalah mental banyak diremehkan tatkala konsep perubahan struktural merebut
perhatian utama sebagai mode dalam wacana pembangunan di Indonesia. Karena
itu, kita dikejutkan oleh beberapa pertanyaan. Mengapa masalah mental menjadi
sentral dalam pemikiran seorang pemimpin politik? Apakah dimungkinkan suatu
revolusi dalam bidang mental, yang sanggup mendorong perubahan institusional?
Pemikiran ini
bertolak dari pengamatan. Pertama, pembangunan yang hanya mengandalkan sumber
daya alam (SDA) bakal sulit dipertahankan keberlanjutannya karena SDA,
khususnya SDA yang tak terbarukan, cepat atau lambat akan habis. Minyak bumi,
gas, batubara, logam, dan berbagai kekayaan mineral tak mungkin ditambang
terus-menerus karena akan terkuras habis pada suatu saat. Tanpa ada
pengembangan kemampuan pengolahan di dalam negeri yang memberi nilai tambah,
segala SDA hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah dan diimpor kembali ke
Indonesia dalam bentuk berbagai komoditas dengan harga tinggi.
Hal ini tak
perlu terjadi kalau kita sendiri sanggup memprosesnya dengan teknologi untuk
memberi nilai tambah dan menghemat penambangannya karena memperhitungkan
suplai untuk masa depan. Orang tak perlu menjadi Marxis untuk mengerti bahwa
harga barang ditentukan oleh kerja, keahlian, dan teknologi yang
diinvestasikan dalam pengadaannya. Maka, berbicara tentang keahlian adalah
merujuk kepada manusia sebagai sumber daya.
Kedua,
berbagai program pembangunan telah menghasilkan banyak barang dan jasa,
tetapi sebagian besar hasil pembangunan itu tak membawa akumulasi modal
secara nasional karena disedot kembali oleh perilaku menyimpang dalam
ekonomi. Kita berhadapan dengan ketidakmampuan menahan diri dari godaan
memakai dana publik untuk kenikmatan pribadi atau kelompok melalui cara-cara
ilegal yang tak pernah transparan, kecuali kalau KPK mengungkapkannya secara
publik dan memprosesnya secara pidana.
Asketisme yang
jadi watak para captain of industry pada kapitalisme awal di Eropa Barat dan
Amerika Utara tak dihargai di Indonesia karena orang terhanyut merayakan masa
sekarang dalam ekstravaganza gaya hidup, yang mempersetankan kewajaran,
proporsionalitas, dan akuntabilitas. Ironis sekali, daya tahan secara budaya
(cultural resilience) bangsa kita
dalam menghadapi penindasan, kemiskinan, dan bahkan penghinaan dalam berbagai
wujud terbukti teguh dalam melewati abad-abad penjajahan dan tahun-tahun awal
kemerdekaan. Namun, daya tahan secara moral (moral resilience) menghadapi kemakmuran dan kekayaan terbukti
sangat rendah dan labil. Pada titik ekstremnya, kita ternyata tahan miskin
dan kuat menderita, tetapi tidak tahan kaya dan sulit mengelola kemerdekaan.
Dua pengamatan
itu menempatkan manusia kembali sebagai faktor yang sentral. Pengetahuan,
kerja, dan keahlian amat dibutuhkan untuk menciptakan nilai tambah dalam
ekonomi, sementara karakter, etos, dan kesanggupan menahan diri akan
menentukan, apakah nilai tambah dapat menciptakan akumulasi modal atau akan
tenggelam dalam shadow economy yang
gelap gulita dan serba konsumtif.
Dapat dipahami
mengapa bagi Jokowi manusia Indonesia harus dijadikan sumber daya terpenting
asal saja dalam diri manusia itu tergabung dua keunggulan yang saling
menguatkan, yaitu pengetahuan dan keahlian di satu pihak serta karakter dan
moralitas di pihak lain. Pengetahuan dan keahlian memungkinkan orang
Indonesia dapat mengamankan SDA dan mencegah eksploitasi yang
sewenang-wenang, sambil meningkatkan nilai tambah melalui penguasaan
tahap-tahap processing. Selanjutnya, moral dan karakter diharapkan
meningkatkan kemampuan menahan diri dari godaan pemborosan dan penyelewengan
dana publik serta mencegah perilaku yang memperlemah penegakan hukum dalam
menciptakan tata tertib dan keadilan. Kepandaian dan keahlian tanpa karakter
akan membawa orang kepada egoisme individual atau kolektif, sementara
karakter tanpa keahlian hanya menghasilkan moralisme tanpa kemampuan
produktif.
Karakter dan kepribadian
Istilah
karakter tidak begitu populer dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan
istilah kepribadian atau personality. Kita mengenal istilah kepribadian
bangsa (misalnya, dalam konsep Trisakti Bung Karno), tetapi kita tidak
mempunyai istilah karakter nasional. Psikolog Amerika, Gordon W Allport,
dalam studinya yang klasik, Pattern and
Growth in Personality, menyatakan bahwa istilah karakter lebih banyak
digunakan oleh para psikolog Eropa, sedangkan istilah personality atau
kepribadian lebih populer di kalangan psikolog Amerika. Istilah karakter
berasal dari kata Yunani charassein
yang berarti menggurat, mengukir, atau memahat. Sementara istilah personality berasal dari kata Latin
persona yang berarti topeng. Dalam pemakaian sekarang, istilah personality lebih menunjukkan tampilan
atau tingkah laku yang kelihatan, sedangkan istilah karakter merujuk pada
struktur nilai dalam diri seseorang.
Kalau kita
mengatakan ”dia seorang yang berkarakter”, yang ditonjolkan ialah adanya
nilai etis yang ditegakkan dalam diri seseorang. Sebaliknya, kalau kita
berkata ”dia mempunyai kepribadian yang baik”, maknanya ialah orang
bersangkutan tak banyak menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan interaksi
sosial. Namun, Allport juga menyadari kepribadian atau personality tak hanya
mencakup aspek-aspek eksternal, tetapi juga mengandung hal-hal yang
intrinsik. Karena itu, menurut dia, kepribadian adalah organisasi dinamis
dalam diri seorang individu (yang mengatur) sistem-sistem psikofisis serta
menentukan perilaku dan pikiran yang karakteristik.
Di pihak lain,
psikolog Jerman seperti Philipp Lersch menekankan dalam bukunya, Aufbau der
Person, bahwa karakter bukan sekadar suatu satuan psikologis, melainkan juga
satuan etis. Makna nilai etis itu dapat ditemui pada orang-orang yang kehendak
dan kesadarannya terorganisasi dengan tertib sehingga memperlihatkan dua
sifat mendasar, yaitu tanggung jawab penuh untuk tindakan yang dilakukan
serta konsistensi dalam perilaku, yang memungkinkan tingkah laku seseorang
dapat diramalkan dan mudah diantisipasi. Ini berarti, dalam berbagai situasi
yang berubah-ubah, senantiasa ada sesuatu yang sama dalam reaksi seseorang.
Disposisi kejiwaan ini yang akan menyebabkan bahwa dalam menghadapi
kegagalan, ada orang yang menjadi lebih tertantang untuk mengerahkan tenaga
dan berusaha semakin keras, sementara orang lain menjadi murung, sedih, dan
bahkan melemah kepercayaan dirinya.
Apa pun
soalnya, baik kepribadian maupun karakter, selalu merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungannya. Kepribadian menunjukkan pengaruh-pengaruh dari
lingkungan yang dicerna secara selektif dalam diri seseorang, sedangkan
seleksi itu terjadi berdasarkan karakter yang ada dalam diri orang
bersangkutan. Jadi, kepribadian menunjukkan gerak dari luar ke dalam,
sementara karakter menunjukkan gerak dari dalam ke luar, yaitu bagaimana
seorang individu mengelola berbagai pengaruh yang secara khas membentuk
kepribadian orang itu.
Dalam keadaan
yang tidak ideal, seseorang dapat memperlihatkan kepribadian yang matang dan
seimbang dalam melakukan adaptasi sosial, tetapi tidak mempunyai basis
karakter yang kuat. Ini dapat terjadi kalau muncul dilema di antara perlunya
komunikasi dan penyesuaian diri di satu pihak dan keharusan untuk
mempertahankan seperangkat nilai yang penting di pihak lain. Seorang dengan
kepribadian yang luwes bisa mengorbankan beberapa nilai etis yang diyakininya
untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain dalam lingkungannya. Di
sini, karakter dikorbankan demi kepribadian. Sebaliknya, seorang dengan
karakter yang teguh akan tetap mempertahankan nilai-nilainya yang prinsipiil
meskipun sikapnya itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosialnya.
Di sini timbul
pertanyaan: mengapa orang bisa lebih mengutamakan kepribadian dan melupakan
karakter? Mengapa nilai-nilai moral kurang populer dibandingkan dengan
keterampilan psikologis dan adaptabilitas sosial? Kita tahu, dalam setiap
masyarakat dengan orientasi yang kapitalistis, selalu dibutuhkan berbagai
kemampuan yang dijanjikan oleh psikologi kepribadian, seperti kemahiran
berkomunikasi, kesanggupan menarik perhatian, gaya bicara yang persuasif,
teknik-teknik menyelesaikan konflik dan menciptakan kepercayaan, serta
cara-cara untuk menimbulkan kesan yang baik dalam pertemuan. Semua
keterampilan ini selalu dibutuhkan dalam ekonomi kapitalis, baik untuk
mendukung proses produksi agar tidak mengalami hambatan maupun untuk
memperluas pemasaran bagi produk-produk yang dihasilkan.
Diharapkan
bahwa keterampilan-keterampilan psikologis dan sosial dalam ekonomi pasar dapat
diimbangi oleh adanya karakter dengan struktur nilai yang kokoh dalam politik
yang demokratis. Dalam demokrasi liberal dibuka kemungkinan untuk dua hal
tersebut, yaitu ekonomi pasar yang relatif bebas nilai dan demokrasi yang
berdiri di atas nilai-nilai yang fundamental, seperti kebebasan, persamaan,
keadilan, dan hak asasi manusia.
Pendidikan karakter pada era pasar bebas
Para penggagas
demokrasi liberal bertolak dari keyakinan bahwa sifat ekonomi pasar yang
bebas nilai dan dikendalikan oleh mekanisme permintaan dan penawaran akan
mendapat kontrol yang sepadan dalam nilai-nilai demokrasi. Kebebasan dalam
persaingan pasar yang menyebabkan munculnya jurang perbedaan antara pihak
yang berhasil dan yang gagal serta antara yang kaya dan yang miskin akan dikontrol
oleh nilai-nilai persamaan dan keadilan dalam demokrasi.
Kenyataan
ekonomi-politik tidak selalu sesuai dengan harapan. Setelah Perang Dunia
Kedua, ada usaha untuk menciptakan suatu rezim ekonomi internasional yang
menjaga keseimbangan antara kebijakan ekonomi nasional dan aturan main dalam
perdagangan global yang sudah diliberalisasikan. Ini diusahakan melalui
kesepakatan Bretton Woods yang menetapkan sistem nilai tukar yang fixed.
Kesepakatan ini ditinggalkan pada awal 1970-an bersamaan dengan munculnya
sistem liberalisme transnasional dengan sifat yang lain sama sekali.
Pasar global
dengan cepat mendesak otonomi setiap negara, sementara perusahaan-perusahaan
multinasional tampil sebagai saingan negara-bangsa. Perimbangan internasional
semakin sedikit ditentukan oleh intervensi kekuasaan politik dan semakin
banyak dikendalikan oleh kekuatan modal. Masalahnya adalah, mengikuti
sinyalemen filsuf Juergen Habermas, kekuasaan bisa didemokratisasikan, tetapi
uang tidak.
Soal praktis
adalah: apakah nilai-nilai dalam demokrasi yang dikelola melalui keputusan
politik dalam suatu negara masih dapat mengawasi kebebasan pasar dalam
ekonomi yang semakin global? Ataukah kita harus menerima kenyataan bahwa
mekanisme pasar global yang ”tidak bisa didemokratisasikan” menjadi demikian
kuat sehingga membuat nilai-nilai demokrasi menjadi tak berdaya? Apakah
tuntutan akan sifat-sifat kepribadian dalam pengembangan pasar dapat
diimbangi oleh karakter pemimpin-pemimpin politik yang dapat menegakkan
prinsip-prinsip demokrasi dan mempertahankan nilai-nilai yang menentukan
martabat manusia?
Pada titik
ini, pendidikan karakter yang diimpikan Jokowi akan menemui ujian berat.
Memang sejak lama ada masalah dalam kurikulum sekolah yang mengabaikan
pendidikan karakter dan memberikan perhatian utama kepada pengajaran ilmu dan
teknologi. Jokowi ingin membalikkan kecenderungan ini dengan memberikan porsi
terbesar kepada pendidikan karakter di tingkat pendidikan dasar dan menengah
serta memberikan porsi besar kepada pengajaran ilmu dan teknologi di tingkat
pendidikan tinggi.
Meski
demikian, tidaklah mustahil bahwa pragmatisme dalam dunia pendidikan adalah
akibat pengaruh pragmatisme dalam pembangunan. Sampai tingkat tertentu
pendidikan mereproduksi suasana umum dalam ekonomi dan politik, sekalipun
pendidikan selalu diharapkan melakukan koreksi terhadap suasana umum yang tak
dikehendaki. Pengutamaan karakter dalam pendidikan barulah akan mencapai
hasil yang diharapkan apabila ekonomi-politik juga mengalami reorientasi yang
semakin memberi tempat yang terhormat kepada karakter yang kuat pada manusia.
Hal ini tidak dapat dilakukan hanya melalui berbagai instruksi dalam kelas,
tetapi juga melalui revisi dan terobosan baru dalam pengadaan bentuk-bentuk
insentif yang lebih kaya dari sekadar insentif materiil dalam ekonomi. Perlu
diciptakan insentif sosial, politik, dan kebudayaan, sambil mengintegrasikan
insentif-insentif baru ini dengan insentif ekonomi. Di tingkat makro ini
artinya mencari perimbangan optimal antara ekonomi pasar dan nilai-nilai
demokrasi, dengan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi komponen dalam
pertumbuhan manusia menuju martabatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar