Kamis, 25 September 2014

Pelajaran dari Referendum Skotlandia

Pelajaran dari Referendum Skotlandia

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI
KOMPAS, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PELAKSANAAN referendum di Skotlandia telah selesai. Mayoritas rakyat Skotlandia tetap ingin berada di bawah Kerajaan Inggris. Proses referendum di Skotlandia sempat mendebarkan rakyat, politisi, dan Pemerintah Inggris.
Masyarakat di suatu negara punya banyak alasan mengapa ingin berpisah dari negaranya. Alasan ini tidak semata-mata kesejahteraan yang terabaikan oleh pemerintah pusat atau adanya tindakan polisional yang melanggar hak asasi manusia.

Ini terbukti dari sikap sebagian masyarakat Skotlandia yang telah 307 tahun bersama Kerajaan Inggris. Keinginan untuk berpisah bukan karena Pemerintah Inggris gagal menyejahterakan mereka atau adanya tindakan polisional yang melanggar hak asasi manusia.

Pelajaran yang dapat ditarik dari sisi Inggris adalah bahwa pemerintah dan rakyat tidak ingin masyarakat Skotlandia berpisah dari mereka. Untuk memastikan hal itu, Ratu Elizabeth pun turut mengimbau agar masyarakat Skotlandia berpikir secara cermat untuk masa depannya.

Ini bukan kali pertama setelah era dekolonialisasi Inggris menghadapi situasi lepasnya bagian dari kerajaan. Pada 1997, Hongkong dikembalikan ke Republik Rakyat Tiongkok karena berakhirnya perjanjian sewa 100 tahun.

Kini, negara dan Pemerintah Inggris seharusnya dapat berempati atas perasaan pemerintah dan rakyat Indonesia ketika masyarakat Timor Timur diberikan hak memilih dalam suatu penentuan pendapat yang tidak lain adalah referendum. Sayang, hasil ketika itu Indonesia tidak seberuntung Inggris saat ini.

Bagi Indonesia, potensi gerakan yang hendak memisahkan diri dari Indonesia masih terus ada. Tidak saja yang nyata, seperti Organisasi Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan, tetapi juga yang tidak nyata.

Kapitalisasi

Berbagai gerakan ini telah mengubah perjuangan mereka dari penggunaan kekerasan menjadi cara damai melalui referendum. Mereka melakukan lobi kepada pemerintah mancanegara agar mendesak Pemerintah Indonesia melaksanakan referendum di wilayah yang mereka perjuangkan.

Kalaulah referendum diberikan kepada masyarakat di suatu kabupaten atau provinsi, besar kemungkinan eksistensi Indonesia akan terancam. Di sinilah tugas penting pemerintah dan para diplomat Indonesia untuk mengapitalisasi pengalaman referendum di Skotlandia. Mereka harus dapat memanfaatkannya untuk meyakinkan pemerintah mancanegara untuk tidak memfasilitasi, membiarkan, bahkan membenarkan gerakan-gerakan yang ingin berpisah dari Indonesia, terkadang atas nama kebebasan berpendapat.

Indonesia yang seperti sekarang sudah final dan harus terus tegak. Pemerintah juga dapat mengapitalisasi peristiwa di Skotlandia untuk meyakinkan publik di Indonesia bahwa negara maju dan sejahtera sekalipun punya potensi untuk pecah. Suatu hal yang tidak dikehendaki.

Tantangan Indonesia sebagai negara besar adalah menghadapi negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, bahkan pada saatnya Eropa Serikat. Ini bisa terjadi hanya apabila Indonesia tetap satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar