Pelajaran
dari Referendum Skotlandia
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas
Hukum UI
|
KOMPAS,
25 September 2014
PELAKSANAAN
referendum di Skotlandia telah selesai. Mayoritas rakyat Skotlandia tetap
ingin berada di bawah Kerajaan Inggris. Proses referendum di Skotlandia
sempat mendebarkan rakyat, politisi, dan Pemerintah Inggris.
Masyarakat di
suatu negara punya banyak alasan mengapa ingin berpisah dari negaranya. Alasan
ini tidak semata-mata kesejahteraan yang terabaikan oleh pemerintah pusat
atau adanya tindakan polisional yang melanggar hak asasi manusia.
Ini terbukti
dari sikap sebagian masyarakat Skotlandia yang telah 307 tahun bersama
Kerajaan Inggris. Keinginan untuk berpisah bukan karena Pemerintah Inggris
gagal menyejahterakan mereka atau adanya tindakan polisional yang melanggar
hak asasi manusia.
Pelajaran yang
dapat ditarik dari sisi Inggris adalah bahwa pemerintah dan rakyat tidak
ingin masyarakat Skotlandia berpisah dari mereka. Untuk memastikan hal itu,
Ratu Elizabeth pun turut mengimbau agar masyarakat Skotlandia berpikir secara
cermat untuk masa depannya.
Ini bukan kali
pertama setelah era dekolonialisasi Inggris menghadapi situasi lepasnya
bagian dari kerajaan. Pada 1997, Hongkong dikembalikan ke Republik Rakyat
Tiongkok karena berakhirnya perjanjian sewa 100 tahun.
Kini, negara
dan Pemerintah Inggris seharusnya dapat berempati atas perasaan pemerintah
dan rakyat Indonesia ketika masyarakat Timor Timur diberikan hak memilih
dalam suatu penentuan pendapat yang tidak lain adalah referendum. Sayang,
hasil ketika itu Indonesia tidak seberuntung Inggris saat ini.
Bagi
Indonesia, potensi gerakan yang hendak memisahkan diri dari Indonesia masih
terus ada. Tidak saja yang nyata, seperti Organisasi Papua Merdeka atau
Republik Maluku Selatan, tetapi juga yang tidak nyata.
Kapitalisasi
Berbagai
gerakan ini telah mengubah perjuangan mereka dari penggunaan kekerasan
menjadi cara damai melalui referendum. Mereka melakukan lobi kepada
pemerintah mancanegara agar mendesak Pemerintah Indonesia melaksanakan
referendum di wilayah yang mereka perjuangkan.
Kalaulah
referendum diberikan kepada masyarakat di suatu kabupaten atau provinsi,
besar kemungkinan eksistensi Indonesia akan terancam. Di sinilah tugas
penting pemerintah dan para diplomat Indonesia untuk mengapitalisasi
pengalaman referendum di Skotlandia. Mereka harus dapat memanfaatkannya untuk
meyakinkan pemerintah mancanegara untuk tidak memfasilitasi, membiarkan,
bahkan membenarkan gerakan-gerakan yang ingin berpisah dari Indonesia,
terkadang atas nama kebebasan berpendapat.
Indonesia yang
seperti sekarang sudah final dan harus terus tegak. Pemerintah juga dapat
mengapitalisasi peristiwa di Skotlandia untuk meyakinkan publik di Indonesia
bahwa negara maju dan sejahtera sekalipun punya potensi untuk pecah. Suatu
hal yang tidak dikehendaki.
Tantangan
Indonesia sebagai negara besar adalah menghadapi negara-negara besar, seperti
Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, bahkan pada saatnya Eropa
Serikat. Ini bisa terjadi hanya apabila Indonesia tetap satu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar