Perisai
Korupsi Birokrat di UU Baru
Rohman Budijanto ;
Wartawan Jawa Pos,
Direktur Eksekutif The Jawa Pos
Institute of Pro-Otonomi/JPIP
|
JAWA
POS, 25 September 2014
HARI ini (25/9)
bakal menjadi titik penting (atau genting) dalam reformasi birokrasi dan
otonomi daerah. DPR menjadwalkan pengesahan tiga rancangan undang-undang
(RUU) strategis. Yakni, RUU pemilihan kepala daerah (pilkada), RUU
administrasi pemerintahan (adpem), dan RUU pemerintahan daerah (pemda).
Ada banyak
poin yang memperkuat posisi pejabat birokrasi dalam undang-undang baru itu.
Birokrat diberi kebebasan lebih besar dalam berinovasi dan berdiskresi.
Mereka juga diberi perlindungan lebih kuat bila tersangkut perkara hukum.
Dalam inovasi yang gagal, misalnya, inovator di pemda tak bisa dipidana,
dilindungi pasal 269 RUU Pemda (Jati Diri Jawa Pos, 22 September).
Berdasar draf
resmi di situs DPR RI, pasal 239 RUU pemda mengharuskan aparat hukum yang
menyelidiki dan menyidik aparatur pemda memberi tahu kepala daerah. Kecuali,
si aparatur tertangkap tangan, melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman di
atas lima tahun (bukan lima tahun ke atas), atau melakukan kejahatan terhadap
keamanan negara dalam KUHP.
Kelihatannya
itu ringan, hanya pemberitahuan. Tetapi, bisa dirumit-rumitkan dalam praktik.
Untuk melindungi bawahan, kepala daerah bisa saja mengaku tidak pernah diberi
tahu. Dia bisa menolak menandatangani tanda terima surat pemberitahuan.
Pengacara yang cerdik bisa menggunakan celah tersebut untuk meminta
penyidikan batal demi hukum.
Untuk menutup
celah itu, perlu ada mekanisme yang sederhana. Misalnya, pemberitahuan
berdasar surat tercatat atau via e-mail ke alamat resmi kepala daerah (UU
Adpem mengakui keabsahan komunikasi elektronik). Atau, cukup bukti pengiriman
surat tercatat ke alamat resmi kepala daerah. Jangan sampai semangat untuk
menegakkan hukum terhambat oleh prosedur yang tidak substansial.
Lebih dari
itu, UU Adpem punya lebih banyak pasal kuat untuk melindungi birokrat.
Semangatnya mungkin agar pejabat tidak gampang dikriminalisasi. Tetapi, bila
tidak hati-hati, penerapannya bisa memberikan tameng perbuatan korup. Yang
paling menonjol, pejabat tidak bisa lagi dituduh menyalahgunakan wewenang
tanpa pengujian di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Ketentuan baru
tersebut termaktub dalam pasal 21 ayat (1): ’’Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh Pejabat Pemerintahan.’’ Itu persis dengan kewenangan menentukan
kerugian negara diberikan kepada BPK atau BPKP.
Penyalahgunaan
wewenang itu menjadi salah satu unsur penjerat dalam pasal korupsi. Definisi
korupsi menurut pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor: ’’Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara….’’
Begitu pasal
itu gol, KPK atau penyidik kasus korupsi harus membuktikan di PTUN dahulu keabsahan
sangkaan ’’menyalahgunakan kewenangan’’. Penyidik kasus korupsi punya
kerepotan baru berurusan dengan PTUN. Yang perlu dicermati, jangan sampai
pintu PTUN menjadi jalan lolos atau mengulur waktu para tersangka korupsi.
Apalagi, selama ini audit untuk menentukan kerugian negara oleh BPK/BPKP
sudah makan cukup waktu.
Bila dilihat
dari sisi positifnya, PTUN bisa jadi sidang ’’pemanasan’’ untuk menguji
tuduhan korupsi. Putusan PTUN yang menegaskan bahwa tersangka melakukan
penyalahgunaan wewenang akan memudahkan penuntutan di pengadilan tindak
pidana korupsi. Sebaliknya, bila PTUN mementahkan dugaan penyalahgunaan
wewenang, proses peradilan bisa lebih cepat selesai dengan membebaskan
tersangka.
Perlu juga
dikritisi apakah pejabat yang terjerat kasus penyuapan berhak atas pengujian
unsur-unsur delik yang dituduhkan kepadanya. Dalam pasal 11 UU 13/1999, suap
didefinisikan sebagai ’’pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya’’.
Secara
eksplisit, pasal itu tidak menyebut adanya ’’penyalahgunaan kewenangan’’
dalam delik suap. Itu bisa ditafsirkan, untuk kasus penyuapan (juga
gratifikasi) tidak perlu ada prosedur pengujian ’’penyalahgunaan kewenangan’’
ke PTUN. Perkara bisa langsung dibawa ke pengadilan tipikor seperti selama
ini dilakukan. Terlebih, kebanyakan kasus suap yang diungkap KPK berasal dari
tangkap tangan.
Pasal lain
yang bisa menjadi batu penghalang pemberantasan korupsi lebih keras adalah
pasal 20 RUU adpem. Yakni, kewenangan pengawas internal pemerintah untuk
mengawasi penyalahgunaan wewenang pejabat. Hasil pengawasan bisa dituangkan
dalam opsi tiga jenis ’’opini’’, yaitu tidak ada kesalahan, kesalahan
administratif, dan kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara.
Perisai
kuatnya terdapat di pasal 20 ayat (3): ’’Dalam
hal pernyataan aparat pengawasan intern pemerintah..., maka badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang bersangkutan tidak dapat diproses hukum lebih
lanjut.’’ Lebih jauh lagi, di ayat (5): ’’Kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara…,
dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 14 (empat belas)
hari.’’
Kedua ayat itu
bisa menjadi jalan menghindar bila ada pejabat dituduh menyalahgunakan
wewenang yang dekat dengan perbuatan korup. Dia bisa saja meminta atau lebih
dahulu diperiksa pengawas internal. Bila dia dinyatakan bersih oleh
sejawatnya di pengawasan, pejabat tersebut ’’tidak dapat diproses hukum lebih
lanjut’’. Final dan mengikat, serta mengandung imunitas. Dan kalaupun
ketahuan ada kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara, boleh dikembalikan dalam jangka 14 hari (tentu, setelah dinyatakan
melakukan kesalahan oleh pengawas internal pemerintah). Bisa saja nanti
merebak fenomena ’’jeruk membela jeruk’’. Birokrat di pengawasan kongkalikong
dengan pejabat yang mereka periksa.
Para
pemberantas korupsi jelas punya tantangan baru dengan pasal-pasal itu. Bila
tidak diantisipasi, akan kian sulit menyentuh birokrat korup, tapi julig
(cerdik) dalam menyalahgunakan semangat undang-undang tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar