Rabu, 10 September 2014

Menekan “Urbanisasi” Pasien

Menekan “Urbanisasi” Pasien  

Dyah Wiji Puspita S  ;   Dosen Departemen Manajemen Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Mudik sebagai rutinitas Lebaran telah usai. Semasa mudik kata kampung mengalami pergeseran. Dimensi linguistik kampung yang selama ini dikonotasikan negatif kembali ke fitrah. Realitas itu bisa diartikan bahwa kampung tak ’’seprimitif’’ ataupun seburuk pandangan orang modern di kota.

Insan kampung justru membesarkan sumber daya kota. Lihat saja kondisi DKI Jakarta sewaktu ditinggal mudik pegawai/karyawan, termasuk yang berasal dari Jateng. Perekonomian yang dikooptasi kota bergeser ke kampung, yang menemukan ekuilibrium keekonomiannya, dengan tak lagi dinegasikan dan dimonopoli kaum perkotaan.

Jadi, keseimbangan antara kebutuhan kesehatan kota dan kampung seharusnya disetarakan. Bukan berarti disamaratakan melainkan lebih pada kesetaraan mendapatkan pelayanan dalam kesehatan, yang sejatinya hak pasien. Harapan dari kebutuhan layanan kesehatan masyarakat di kampung menyangkut dua hal, yakni ketersediaan dan akses.

Dua hal itu terkait dengan tenaga kesehatan dan sarana/prasarana kesehatan. Sumber daya insani tenaga kesehatan telah dikuasai kota akibat ketidakseimbangan pembangunan. Insan terbaik kampung dipaksa atau terpaksa hijrah ke kota karena ketidakberkembangan kampung.

Kota menguasai seluruh pendidikan, teknologi dan sarana lainnya dalam menunjang layanan kesehatan. Akibatnya, jumlah, kompetensi, dan kualitas tenaga kesehatan menumpuk di perkotaan. Ketidakseimbangan pembangunan berefek pada tidak berkembangnya sarana dan prasarana kesehatan di kampung.

Swasta enggan berinvestasi membangun sarana kesehatan karena break even point yang tidak pasti. Celakanya, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan sarana dan prasarana kesehatan di basis perkotaan. Adagium bahwa di mana pejabat bermukim di sana pembangunan diutamakan masih berlaku.

Proyek Percontohan

Lokus terhadap kedua akses dan ketersediaan pelayanan kesehatan terletak pada koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat menjadi penata laksana kebijakan sumber daya insan kesehatan, sedangkan pemda menjadi penata sarana dan prasarana kesehatan. Kedua pihak melakukannya melalui pendekatan kolaboratif.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan dapat menjadi konsorsium dalam mengatasi permasalahan sumber daya insan kesehatan. Komunikasi dan koordinasi difokuskan pada jumlah, kualitas, kompetensi, dan distribusi tenaga kesehatan.

Program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) Kemdikbud sudah seirama dengan program distribusi tenaga kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) Kemenkes. Kolaborasi program masing-masing kementerian itu bisa menjadi proyek percontohan pemerataan pembangunan pendidikan sekaligus kesehatan.

Pemda bisa menelurkan kebijakan semisal dengan mengalokasikan dana dan lahan untuk pembangunan kesehatan masyarakat. Berkait otda di daerah, kesempatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat makin besar. Namun, sinergitas antarinstitusi ini hanya bisa berjalan baik bila masing-masing menegasikan ego sektoral dan meningkat koordinasi antarkementerian.

Proyeksi Kemenkes sebagai leading sector kesehatan di mana 9.700 puskesmas perawatan dan nonperawatan, serta peningkatan jumlah rumah sakit bertipe B dan C di daerah 550 unit memerlukan kolaborasi dengan pemda. Hal itu sudah termasuk pemenuhan target 85% untuk puskesmas dan 60% rumah sakit memiliki dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terstandar.

Pertumbuhan dan pemenuhan layanan kesehatan merupakan bagian dari filosofi sistem jaminan kesehatan nasional. Pemerataan kesehatan dengan menempatkan puskesmas dan layanan kesehatan di daerah menjadi shaf terdepan.

Upaya mendekatkan ketersediaan dan akses layanan kesehatan ke masyarakat akan mengurangi ’’urbanisasi’’ pasien ke kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar