Menekan
“Urbanisasi” Pasien
Dyah Wiji Puspita S ;
Dosen
Departemen Manajemen Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Unissula Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 08 September 2014
Mudik
sebagai rutinitas Lebaran telah usai. Semasa mudik kata kampung mengalami
pergeseran. Dimensi linguistik kampung yang selama ini dikonotasikan negatif
kembali ke fitrah. Realitas itu bisa diartikan bahwa kampung tak
’’seprimitif’’ ataupun seburuk pandangan orang modern di kota.
Insan
kampung justru membesarkan sumber daya kota. Lihat saja kondisi DKI Jakarta
sewaktu ditinggal mudik pegawai/karyawan, termasuk yang berasal dari Jateng.
Perekonomian yang dikooptasi kota bergeser ke kampung, yang menemukan
ekuilibrium keekonomiannya, dengan tak lagi dinegasikan dan dimonopoli kaum
perkotaan.
Jadi,
keseimbangan antara kebutuhan kesehatan kota dan kampung seharusnya
disetarakan. Bukan berarti disamaratakan melainkan lebih pada kesetaraan
mendapatkan pelayanan dalam kesehatan, yang sejatinya hak pasien. Harapan
dari kebutuhan layanan kesehatan masyarakat di kampung menyangkut dua hal,
yakni ketersediaan dan akses.
Dua
hal itu terkait dengan tenaga kesehatan dan sarana/prasarana kesehatan.
Sumber daya insani tenaga kesehatan telah dikuasai kota akibat
ketidakseimbangan pembangunan. Insan terbaik kampung dipaksa atau terpaksa
hijrah ke kota karena ketidakberkembangan kampung.
Kota
menguasai seluruh pendidikan, teknologi dan sarana lainnya dalam menunjang
layanan kesehatan. Akibatnya, jumlah, kompetensi, dan kualitas tenaga
kesehatan menumpuk di perkotaan. Ketidakseimbangan pembangunan berefek pada
tidak berkembangnya sarana dan prasarana kesehatan di kampung.
Swasta
enggan berinvestasi membangun sarana kesehatan karena break even point yang
tidak pasti. Celakanya, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan sarana dan
prasarana kesehatan di basis perkotaan. Adagium bahwa di mana pejabat
bermukim di sana pembangunan diutamakan masih berlaku.
Proyek Percontohan
Lokus
terhadap kedua akses dan ketersediaan pelayanan kesehatan terletak pada
koordinasi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah
pusat menjadi penata laksana kebijakan sumber daya insan kesehatan, sedangkan
pemda menjadi penata sarana dan prasarana kesehatan. Kedua pihak melakukannya
melalui pendekatan kolaboratif.
Pemerintah
pusat melalui Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat menjadi konsorsium dalam
mengatasi permasalahan sumber daya insan kesehatan. Komunikasi dan koordinasi
difokuskan pada jumlah, kualitas, kompetensi, dan distribusi tenaga
kesehatan.
Program
Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) Kemdikbud
sudah seirama dengan program distribusi tenaga kesehatan di Daerah
Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) Kemenkes. Kolaborasi program
masing-masing kementerian itu bisa menjadi proyek percontohan pemerataan
pembangunan pendidikan sekaligus kesehatan.
Pemda
bisa menelurkan kebijakan semisal dengan mengalokasikan dana dan lahan untuk
pembangunan kesehatan masyarakat. Berkait otda di daerah, kesempatan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat makin besar. Namun, sinergitas
antarinstitusi ini hanya bisa berjalan baik bila masing-masing menegasikan
ego sektoral dan meningkat koordinasi antarkementerian.
Proyeksi
Kemenkes sebagai leading sector kesehatan di mana 9.700 puskesmas perawatan
dan nonperawatan, serta peningkatan jumlah rumah sakit bertipe B dan C di
daerah 550 unit memerlukan kolaborasi dengan pemda. Hal itu sudah termasuk
pemenuhan target 85% untuk puskesmas dan 60% rumah sakit memiliki dokter dan
tenaga kesehatan lainnya yang terstandar.
Pertumbuhan
dan pemenuhan layanan kesehatan merupakan bagian dari filosofi sistem jaminan
kesehatan nasional. Pemerataan kesehatan dengan menempatkan puskesmas dan
layanan kesehatan di daerah menjadi shaf terdepan.
Upaya
mendekatkan ketersediaan dan akses layanan kesehatan ke masyarakat akan
mengurangi ’’urbanisasi’’ pasien ke kota. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar