Rabu, 10 September 2014

Parpol pun Perlu Mereformasi Diri

Parpol pun Perlu Mereformasi Diri  

FS Swantoro  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

“Pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan kader partai menambah daftar praktik buruk tata kelola partai”

KEMEROSOTAN perolehan suara partai politik sepanjang pemilu era reformasi menjadi peringatan terhadap eksistensi partai.  Padahal, parpol berperan penting dan strategis, seperti membuat kebijakan publik (UU), perekrutan pejabat publik, dan ikut menyelesaikan konflik di masyarakat. Selain itu, ada peran substantif berkait pendidikan politik, komunikasi politik, agregasi, dan artikulasi politik.

Kian merosotnya suara partai pasti ada penyebabnya. Kita bisa membandingkan hasil Pemilu 1999 dan 2014. Pada Pemilu 1999 suara PDIP mencapai 33,74% tapi pada Pemilu 2014 merosot jadi 18,95%. Golkar meraih suara 22,44% dan menurun menjadi 14,75%. PPP lebih terpuruk lagi, pada Pemilu 1999 meraih 10,71% dan posisi ketiga, tahun 2014 hanya bisa meraih 6,54% suara, posisi ke-9 dari 10 partai yang lolos ke Senayan.

Mengapa pamor peran partai penting itu merosot? Apa yang memengaruhi penurunan citra mereka? Problem utamanya, selain tidak ada kebanggaan yang sudah ditorehkan partai-partai bagi rakyat, partai terkesan sangat korup atau tempat bernaungnya koruptor. Data Kemendagri (2013) menyebut sejak pilkada digelar langsung dari 2005 hingga 2013 sudah 291 kepala daerah terjerat korupsi.

Mereka terdiri atas 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota. Hingga Agustus 2014 sudah lebih dari 300 kepala daerah terjerat korupsi, umumnya elite partai atau yang dicalonkan partai.

Data Setkab Dipo Alam (2012) pun menyebut keterlibatan kader dalam korupsi, dari 176 elite tercatat 64 orang (36,36%) adalah kader Golkar; 32 orang (18,18%) PDIP; 20 orang (11,36 %) Demokrat; 17 orang (9,65 %) PPP; 9 orang (5,11%) PKB; 7 orang (3,97 %) PAN;  dan 4 orang (2,27 %) kader PKS. Mereka berasal  ari pusat, daerah, dan cabang-cabang.

Pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau kader partai itu menambah daftar praktik buruk tata kelola partai yang seharusnya menjadi salah satu pilar utama demokrasi dan pembuat kebijakan publik. Karena itu, partai tak pantas mengampanyekan antikorupsi sebagaimana dalam kampanye Pemilu 2014. Mereka kampanye sampai berbusa-busa soal antikorupsi, tapi justru banyak kader mereka terlibat korupsi.

Memang harus diakui sumber keuangan partai selama ini menjadi masalah bagi parpol meski UU Nomor 2 Tahun 2011 telah mengatur keuangan partai bersumber dari iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum, dan bantuan APBN dan APBD. Faktanya mereka menggangsir uang negara lewat Badan Anggaran (Banggar) DPR dan proyek pemerintah. Banyak kader partai di Banggar DPR terjerat korupsi.

Pemburu Rente

Dengan demikian tata kelola partai sungguh lemah dan rentan korupsi. Para bendahara partai harus mencari tambahan untuk partai, seperti Nazaruddin. Data itu belum termasuk korupsi daging sapi yang melibatkan Presiden PKS, Lufthi Hasan Isaaq, korupsi Hambalang yang melibatkan Nazaruddin, Angie, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng. Kini muncul isu yang melibatkan Ketua DPR Marzukie Alie, Sekjen PD Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas), dan anggota Komisi Hukum DPR Fahri Hamzah (Tempo, 31/8/14).

Dalam persidangan kasus Hambalang, Nazaruddin menyebut memberi 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 10 miliar kepada Marzuki Alie dan 200 ribu dolar untuk Ibas pada Januari 2011. Uang itu sisa dana yang dialokasikan untuk Kongres PD Mei 2010 di Bandung. Semua diungkapkan dalam sidang perkara gratifikasi Hambalang dengan terdakwa mantan ketua umum PD, Anas Urbaningrum.

Sejumlah korupsi yang melibatkan beberapa kader partai menunjukkan demokrasi sudah dibajak politikus pemburu rente yang menuntut balas jasa. Karena itu, masyarakat perlu mengingatkan Jokowi-JK setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 agar tidak tunduk pada elite partai yang korup dan ingin mengeruk uang rakyat dari proyek yang dibiayai pemerintah.

Reformasi sudah berlangsung 16 tahun, namun KKN yang dulu ingin dibasmi oleh demonstran mahasiswa kini menggurita di semua lini. Partai-partai yang telah menikmati buah reformasi justru korupsi berjamaah. Memang benar uang akan mengalir kepada yang berkuasa dan saat ini partai yang berkuasa karena semuanya harus lewat mereka.

Begitu pula di luar parpol meski kerangka hukum dan kelembagaan sudah terbangun, mereka belum sepenuhnya melaksanakan rule of law. Kerangka hukum dan kelembagaan belum menjamin jalannya sistem hukum fungsional karena masih ada hakim, jaksa, dan polisi nakal. Dengan banyak kader partai dan penyelenggara yang korup, berarti  mereka keliru memaknai reformasi sehingga perlu direformasi, atau mau mereformasi diri.

Sebaiknya, partai yang lolos ke Senayan hasil Pemilu 2014 kembali menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam perjuangannya di parlemen. Partai jangan jadi bungker koruptor seperti sekarang, serta kader yang menjadi pejabat publik atau anggota DPR jangan rakus, serakah, dan transaksional. Justru tiap partai harus menjalankan peran substantif memperjuangkan aspirasi rakyat, berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar