Menanti
Era Baru Diplomasi
Dinna Wisnu ;
Co-Founder & Direktur
Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 24 September 2014
Presiden dan
wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla kompak menegaskan bahwa arah
diplomasi ke depan akan lebih diwarnai kegiatan diplomasi ekonomi.
Joko Widodo
bahkan berseloroh bahwa dirinya dan Jusuf Kalla adalah pengusaha sehingga
mereka paham akan pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana dalam tiap
kegiatan. Istilahnya every cent counts,
satu sen pun pasti tidak disia-siakan.
Di dalam tubuh Kementerian Luar Negeri, sinyal tersebut memunculkan sejumlah
reaksi. Reaksi yang paling sering ditemui adalah konfirmasi bahwa sudah
selayaknya Indonesia mengedepankan diplomasi ekonomi yang lebih efektif dan
optimal hasilnya.
Reaksi
berikutnya adalah reaksi penuh tanda tanya: akankah ada perubahan pengelolaan
diplomasi, termasuk di dalam Kementerian Luar Negeri? Implikasi poin kedua
ini adalah ada kesadaran bahwa kalau struktur pengelolaan diplomasi tidak
diubah, optimalisasi dan efektivitas diplomasi sulit dicapai. Kedua hal ini
menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Presiden terpilih Joko Widodo menjanjikan
penguatan diplomasi perdagangan, diplomasi energi, diplomasi pangan, bahkan
diplomasi maritim.
Konsentrasinya
pada peningkatan volume perdagangan dan surplus perdagangan, menjaga
kedaulatan energi dan pangan, serta mengembalikan kewibawaan Indonesia
sebagai negara maritim yang punya kekuatan geopolitik yang andal. Semua ini
sebenarnya bukan hal yang baru di Kementerian Luar Negeri. Misalnya saja
mengenai peningkatan volume perdagangan dan surplus perdagangan. Dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir, makin tegas keinginan untuk membalik nasib Indonesia
yang hubungan perdagangannya timpang dengan negara-negara lain.
Masyarakat
awam memiliki persepsi bahwa Indonesia lebih sering dijadikan pasar bagi
produk-produk buatan negara lain. Ketimpangan ini mungkin dapat dimaklumi
saat kita masih dalam proses membangun di tahun 1970-an. Kita banyak
mengimpor produk-produk teknologi tinggi seperti automotif, elektronik,
komputer, dan produk padat modal lain karena kekuatan produksi kita belum
setara dengan negara-negara maju pengekspor produk-produk tersebut.
Namun kita
tidak bisa maklum apabila ternyata produk-produk yang padat karya seperti
tekstil, garmen, mainan anak-anak, dan produk-produk yang tidak membutuhkan
keterampilan tinggi merajai pasar dalam negeri kita pada saat ini. Oleh sebab
itu, kerja sama bilateral (antardua negara) dipandang kurang efektif dalam
mendorong pembukaan pasar. Penyebabnya adalah faktor ketidakseimbangan power dan kemampuan negosiasi. Untuk
itu belakangan digiatkan sejumlah kerja sama regional dan multilateral.
Logikanya,
dengan penambahan mitra kerja sama, suasana bisa lebih cair, daya tawar bisa
ditingkatkan dengan teknik mengajak sejumlah negara yang biasanya
berseberangan (atau bahkan bersitegang) agar Indonesia bisa menjadi penengah
atau mengayun negosiasi dengan keduanya. Misalnya penggiatan perdagangan
intra-ASEAN (yakni di antara 10 negara anggota ASEAN) diperluas menjadi ASEAN
Plus; tidak hanya ASEAN Plus Three (yakni plus Jepang, Korea Selatan, dan
Tiongkok), tetapi juga ada ASEAN Plus Six (yakni 3 plus tadi ditambah
Australia, India, Selandia Baru).
Antara
Indonesia dan negara anggota ASEAN Plus Three maupun ASEAN Plus Six dibangun
kawasan perdagangan bebas. Pada 2011, ASEAN Plus Six bahkan meluncurkan RCEP
(Regional Comprehensive Economic
Partnership - Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) demi memuluskan
pembentukan kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik. RCEP ini semakin
sejalan dengan kerangka penguatan kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui
APEC yang di sana sudah ”menunggu” Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, Hong
Kong, Taiwan, Meksiko, Peru, Papua Nugini, Rusia, Cile, dan Kanada.
Maklum,
Kementerian Luar Negeri ingin mengambil momen menguatnya perekonomian
Asia-Pasifik untuk mengatrol perekonomian Indonesia. Diidentifikasi pula
bahwa penggiatan kerja sama perdagangan di Asia-Pasifik saja tidak cukup.
Selain mengangkat keaktifan Indonesia di forum Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO), bahkan dua tahun lalu Ibu Marie Pangestu (waktu itu Menteri Perdagangan) didorong untuk
maju menjadi direktur jenderal WTO, Indonesia memunculkan keaktifan di G-20
(forum pemerintah dan gubernur bank sentral bagi 20 entitas perekonomian
terdepan di dunia), di G-77 (kelompok kerja sama pemerintah Selatan-Selatan
di Perserikatan Bangsa-Bangsa), dan yang jarang terdengar tetapi sebenarnya
diurus juga oleh Kementerian Luar Negeri adalah kerja sama D-8 (kelompok
kerja sama pembangunan antar-8 negara berpenduduk muslim besar, yakni
Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Iran, Turki, Mesir, dan Nigeria).
Lalu apa yang
bisa membedakan era baru diplomasi Indonesia jika saat ini saja sudah
dikembangkan skema kerja sama yang demikian beragam? Penjelasannya antara
lain terletak pada pengelolaan isu dan kerja sama yang ada. Contohnya kerja
sama D-8. Kerja sama ini dikelola oleh Direktorat Jenderal Multilateral di
Kementerian Luar Negeri dengan harapan bahwa segenap pihak terkait di
Kementerian Luar Negeri dan kementerian/lembaga terkait dapat melakukan
tindak lanjut dari inisiatif yang dikembangkan di direktorat jenderal
tersebut dan kemudian Kementerian Luar Negeri merespons perkembangan yang ada
melalui negosiasi lebih lanjut di pertemuan D-8.
Kenyataannya,
kerja sama D-8 masih saja dalam status inkubasi. Belum konkret disebarluaskan
peluangnya meskipun sudah dibentuk sejak tahun 1997, belum ada tindak lanjut
dengan dampak signifikan. Ketika muncul wacana bahwa para menteri di kabinet
baru wajib bisa marketing (yakni ”memasarkan” Indonesia), sebenarnya ada
sejumlah instrumen pelaksanaan diplomasi ekonomi yang ampuh dimanfaatkan
tanpa perlu para menteri terkesan murni ”berjualan” produk Indonesia.
Misalnya:
Kementerian Luar Negeri ditugasi memberi analisis dan menyusun strategi
mengenai isu-isu terkini di bidang kerja sama ekonomi dan hambatannya dalam
rapat kabinet. Kementerian teknis menjadi mitra tukar pikiran supaya
negosiasinya lebih mengena kebutuhan. Hal ini sudah punya dasar hukum di UU
No 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, tetapi kenyataannya Kementerian Luar
Negeri justru makin sering tidak dilibatkan dalam sejumlah inisiatif yang
punya implikasi diplomasi dalam bidang kerja sama ekonomi.
Apabila ide
yang telah dituangkan dalam peraturan itu dilaksanakan dengan konsisten,
pamor Indonesia sebagai negara yang punya strategi dan dikelola dengan
terpadu oleh semua kementerian akan mengemuka. Selain itu, pemerintah
hendaknya lebih konsekuen mengalokasikan dana dan sumber daya manusia untuk
memperkuat diplomasi. Hal ini terutama terkait dengan rencana Joko Widodo dan
Jusuf Kalla untuk memotong anggaran operasional kementerian.
Hendaknya
efisiensi yang dilakukanmempertimbangkan aspekaspek politik, khususnya di
Kementerian Luar Negeri. Dana operasional untuk tahapan diplomasi harus
diperbaiki jumlahnya; tidak bisa lagi diplomasi dilakukan hanya dengan
pertemuan dua jam di tingkat direktur jenderal lalu tak lama kemudian dua
menteri harus menandatangani nota kesepakatan.
Kinerja
diplomasi Indonesia akan inferior bila tahapan pendekatan, pembangunan rasa
percaya, serta strategi persuasi tidak dilakukan secara bertahap dengan
kontinu. Ada anekdot bahwa di sejumlah negara adidaya justru kita harus
waspada bila didekati oleh staf yunior dari kedutaan mereka, karena bisa jadi
mereka adalah intelijen yang baik yang bisa mendeteksi kebutuhan diplomasi
lanjutan oleh pejabat yang lebih senior.
Artinya,
Indonesia memang tak bisa lagi memakai cara-cara lama dalam berdiplomasi.
Kita harus lebih strategis dan taktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar