Pledoi
Anas, Merindu Keadilan
Ma’mun Murod Al-Barbasy ;
Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
(AIPI) Cabang Jakarta, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
(LHKP) PP Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 24 September 2014
Pada
persidangan 11 September 2014, jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut Anas
Urbaningrum dengan penjara 15 tahun. Anas juga didenda Rp 500 juta subsider
lima bulan kurungan dan yang paling dahsyat adalah tuntutan membayar kerugian
negara Rp 94.180.050.000 dan USD 5.261.070. JPU juga menuntut agar hak
politik Anas dicabut. Tuntutan ini praktis tak berbeda dengan dakwaan, di
mana sebagian besar dakwaannya berangkat dari ocehan Nazaruddin dan tidak
berbasis pada fakta persidangan. Pada persidangan 18 September 2014, giliran
Anas memberikan nota pembelaan (pleidoi).
Kalau
mengikuti persidangan secara objektif dan kritis antara tuntutan JPU dan
persidangan pleidoi, akan terlihat ada kontestasi “kebenaran” yang saling
bertolak belakang. Tuntutan JPU sangat mengejutkan dan bertolak belakang
dengan fakta-fakta persidangan. Sebaliknya, pleidoi Anas justru mencerminkan pembelaan
yang rasional, objektif, dan mendasarkan pada fakta persidangan.
Pokoknya Anas Harus Salah
Tuntutan JPU
yang sulit dinalar akal sehat sebenarnya sekadar penegasan (taukid) bahwa kasus Anas memang bukan
murni kasus hukum, melainkan domain politik. Karena politik, apa pun fakta
persidangannya tidak penting bagi JPU, yang penting bahwa Anas harus dituntut
seberat-beratnya. Ini tergambar
dari dakwaan JPU yang tak berbeda jauh (copy
paste) dari tuntutan.
Dakwaan JPU
benar-benar mengabaikan fakta persidangan. Roh politik menghalalkan segala
cara jauh lebih jelas terlihat dari roh penegakan hukum yang hanya
menghalalkan kebenaran dan keadilan. Tuntutan JPU menggambarkan kepanikan
karena dakwaannya dipatahkan oleh para saksi.
Ternyata kasus
yang begitu heboh tak mampu dibuktikan dengan barang bukti yang kuat di
persidangan. JPU mengalami kesulitan menemukan alat bukti otentik dan relevan
yang sejak awal memang diragukan akan mampu dibuktikan. Sementara “pesan
politik”- nya sejak awal sangat jelas bahwa Anas harus dituntut
seberat-beratnya.
Kenapa JPU
gagal membuktikan dakwaannya? Kasus Anas memang bukan kasus hukum, melainkan
kasus politik. Tentu tak mungkin kasus politik didekati dengan pendekatan
hukum, pasti akan sulit dibuktikan. Tapi, kalau didekati dengan pendekatan
politik, pasti akan dengan mudah dapat dibuktikan.
Sejak awal
kasus Anas diyakini dominan motif politiknya. Sebelum ditetapkan sebagai
tersangka, banyak peristiwa politik yang mengiringinya. Ada penolakan SBY
atas pencalonan Anas sebagai calon ketua umum Partai Demokrat.
Ada permintaan
SBY agar Anas mundur sebagai calon ketua umum Partai Demokrat, baik secara
langsung di Wisma Negara maupun menyuruh menteri-menterinya yang secara
khusus datang ke arena Kongres Partai Demokrat di Bandung. Ada survei SMRC
yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di kisaran angka 8%. Survei
SMRC ini menjadi pembenar bagi elite Partai Demokrat untuk meminta Anas
mundur. Ada desakan SBY dari Jeddah agar KPK segera “tuntaskan” kasus Anas.
Ada rapat Majelis
Tinggi pada 9 Februari 2013 dengan agenda “kudeta” terhadap Anas. Ada acara
pengalihan isu kudeta berupa Rapimnas Majelis Tinggi pada 17 Februari 2013
dan peristiwa lain hingga Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari
2013. Mengaitkan peristiwa-peristiwa politik tersebut dengan penetapan Anas
sebagai tersangka tentu sangat korelatif. Apalagi, meski “status tersangka”
masuk ranah hukum, KPK pun masih “teledor” dengan tersebarnya sprindik Anas
yang (di)bocor(kan) oleh orang kepercayaan Abraham Samad (sebagaimana hasil
sidang Komisi Etik KPK terkait kebocoran sprindik Anas).
Berani Adil Hebat
Kasus Anas ini
benar-benar akan menjadi ujian tersendiri bagi majelis hakim dalam membuat
putusan. Satu sisi, ada tuntutan JPU yang irasional, tidak objektif, dan
mengabaikan rasa keadilan serta telah benar-benar menafikan fakta-fakta
persidangan. Di sisi lain, ada fakta-fakta persidangan, ada kesaksian para
saksi berjumlah 96 yang menyangkal dan mematahkan dakwaan JPU terhadap Anas.
Ujian lain
bagi majelis hakim, selama ini ada opini yang berhasil dibangun bahwa KPK
tidak pernah salah dalam menersangkakan orang. Tidak ada orang yang menjadi
tersangka KPK memperoleh vonis bebas murni. Sepertinya opini ini dibangun
untuk menjadi “tameng hukum” yang antisipatif bagi KPK. Kalaupun faktanya
salah dalam menersangkakan orang, KPK tetap akan mendapat pembelaan publik.
Bangunan opini ini diyakini akan menyulitkan posisi majelis hakim. Kalau
membebaskan Anas, akan dicap sebagai hakim yang tidak propemberantasan korupsi.
Sementara
kalau menghukumnya, nurani majelis hakim tentu sulit menerima karena fakta di
persidangan justru dakwaan JPU terbantahkan. Praktis hanya Nazaruddin,
Neneng, dan dua sopir Nazaruddin yang mengamini dakwaan-dakwaan JPU. Secara
teologis, dalam kaitan penegakan hukum, posisi hakim adalah “wakil Tuhan” di
muka bumi. Sebagai “wakil Tuhan”, tentu menjadi keharusan bagi hakim untuk
menghadirkan nilai-nilai dan sifat-sifat ilahiah yang salah satunya keharusan
untuk berlaku adil (al-(al-adalah) dalam penegakan hukum.
Saya meyakini
bahwa majelis hakim yang menangani kasus Anas pun menyadari akan posisinya
sebagai “wakil Tuhan” dan akan memberikan putusan secara proporsional ((adil). Semua orang yang mempunyai perkara hukum tentu berharap kehadiran hakim
yang betul-betul menyadari posisinya sebagai “wakil Tuhan”, tak terkecuali
Anas. Dia tentu sangat merindu dan mendamba keadilan dalam kasus yang
membelitnya. Apalagi kasus Anas jelas berbeda dengan kasus korupsi lain.
Jauh sebelum
ditetapkan sebagai tersangka hingga masuk persidangan, kasus korupsi yang
disangkakan dan didakwakan ke Anas sangat sumir, tidak jelas, kontroversial,
dan terkesan dipaksakan. Terjadi pro dan kontra di masyarakat. Sejak kasusnya
memasuki persidangan bahkan mulai ada opini yang berubah dan meyakini bahwa
kasus Anas bukan kasus hukum, tapi kasus politik.
Seakan ingin
mempertegas bahwa kasusnya hanya sebuah rekayasa politik, Anas menutup
pleidoi-nya dengan mengutip “ayat politik”: Wamakaru wamakarallah, wallahu khairul makirin, Mereka boleh saja membuat rekayasa
(politik), tapi ingat bahwa Allah sebaik-baiknya pembuat rekayasa (QS Ali
Imran: 54).
Anas juga
menutup pleidoi dengan sebuah
pantun sindiran kepada JPU dan keyakinan bahwa majelis hakim akan memutus perkaranya dengan hati
nurani: “Dari
Pakanbaru ka Siamang Bunyi, Singgah sabanta di Muaro Beti Bialah JPU
bakahandak sasuko ati Ambo picayo Majelis Hakim mamutuih jo hati nurani.”
Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar