Khidzmah
KAHMI, Bersatu Demi Indonesia
(Bag 2 dari 2)
Moh Mahfud MD ;
Koordinator Presidium Majelis
Nasional KAHMI
|
KORAN
SINDO, 23 September 2014
Persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang
selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian
yang hegemonis.
Persatuan
harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan
posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti
setusuk sate. Dalam konteks inilah, KAHMI mengajak untuk memandang dan
mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara kubu Koalisi
Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi Indonesia
meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik.
Bagi KAHMI,
demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya
hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini
harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan
baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama
atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan
tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong
royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap
bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun
kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi.
Memang polarisasi
perkubuan koalisi, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena
berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan.
Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif
dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan
situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif
dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme
saling kontrol dan mengimbangi (checks
and balances) secara sehat dalam sistem ketatanegaraan.
Yang satu bisa
mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa berkonsentrasi untuk
mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. Warga KAHMI
yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif
untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu
melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya.
Kalau ini bisa
dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin
sehat dengan hadirnya checks and
balances yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi
untuk kesejahteraan rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam
sistem presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam
sistem parlementer. Saya selalu mengatakan bahwa hukum tata negara di suatu
negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di
negara lain.
Tidak ada
teori hukum tata negara yang universal asli, karena setiap negara membuat
hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan kebutuhan domestiknya
masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah apa yang tertulis secara resmi
di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara resmi di dalam
konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan komisi-komisi di DPR,
boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas politik dan masih
dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat.
Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi- konvensi
ketatanegaraan yang seperti itu.
Dalam HUT
ke-48 ini, Presidium Majelis Nasional KAHMI juga telah menyelenggarakan
simposium tentang “Cetak Biru Indonesia
Masa Depan” dan seminar tentang “Kedaulatan
Pangan dan Ketahanan Energi”. Kita bersyukur ternyata warga KAHMI
mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan
yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan bangsa ini
melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan ahli yang
pernah ditempa di kawah candradimuka HMI dan KAHMI.
Melalui
simposium dan seminar tersebut, kita menjadi tahu bahwa para ahli yang kita
miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam
setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para
ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea
atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu
berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta
cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.
Keruwetan dan
ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan)
korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika
kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah
tokoh KAHMI Prof Anwar Arifin, adalah cetak buram. Salah satu kesimpulan
penting dari simposium dan seminar itu, kita memerlukan kepemimpinan yang
kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara tegas melakukan
pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan yang telah
dipilih.
Saat ini kita
berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu visi
yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu
karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. Seluruh warga KAHMI
harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan yang baru, baik di
eksekutif maupun di legislatif serta di cabangcabang dan ranting pemerintahan
lainnya. Dirgahayulah Korps Alumni
Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar