Kamis, 25 September 2014

Khidzmah KAHMI, Bersatu Demi Indonesia (Bag 2 dari 2)

Khidzmah KAHMI, Bersatu Demi Indonesia

(Bag 2 dari 2)

Moh Mahfud MD  ;   Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI
KORAN SINDO, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang mengharuskan orang selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari satu pengendalian yang hegemonis.

Persatuan harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap memungkinkan perbedaan posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak harus disusun seperti setusuk sate. Dalam konteks inilah, KAHMI mengajak untuk memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik.

Bagi KAHMI, demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum, Pemilu dan sebagainya hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya, kedua koalisi ini harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang berbeda. Sungguh akan baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati melalui kerja sama atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus, secara paralel dan tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama atau gotong royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang berbeda tetap bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni membangun kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi.

Memang polarisasi perkubuan koalisi, dari satu sisi bisa dilihat sebagai negatif karena berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil atau penuh hambatan. Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan hal yang positif dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita bisa menjadikan situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal yang positif dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks and balances) secara sehat dalam sistem ketatanegaraan.

Yang satu bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa berkonsentrasi untuk mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga legislatif. Warga KAHMI yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu dapat berperan aktif untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik yang berbeda itu melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang didukungnya.

Kalau ini bisa dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan kita ke depan bisa semakin sehat dengan hadirnya checks and balances yang bukan untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk kesejahteraan rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem presidensial tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem parlementer. Saya selalu mengatakan bahwa hukum tata negara di suatu negara itu tidak tunduk pada teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di negara lain.

Tidak ada teori hukum tata negara yang universal asli, karena setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan kebutuhan domestiknya masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah apa yang tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi- konvensi ketatanegaraan yang seperti itu.

Dalam HUT ke-48 ini, Presidium Majelis Nasional KAHMI juga telah menyelenggarakan simposium tentang “Cetak Biru Indonesia Masa Depan” dan seminar tentang “Kedaulatan Pangan dan Ketahanan Energi”. Kita bersyukur ternyata warga KAHMI mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka HMI dan KAHMI.

Melalui simposium dan seminar tersebut, kita menjadi tahu bahwa para ahli yang kita miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang kita hadapi dalam setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya. Ibarat dokter, para ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan menentukan panasea atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan terapi itu berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan baik serta cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.

Keruwetan dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab (dan cara melakukan) korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan. Itulah sebabnya, ketika kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang ditemukan, meminjam istilah tokoh KAHMI Prof Anwar Arifin, adalah cetak buram. Salah satu kesimpulan penting dari simposium dan seminar itu, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan yang telah dipilih.

Saat ini kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan langkah di bawah satu visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan terapi yang terpadu karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru. Seluruh warga KAHMI harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif serta di cabangcabang dan ranting pemerintahan lainnya. Dirgahayulah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar