Senin, 22 September 2014

Melepas Belenggu Oligarki Politik

Melepas Belenggu Oligarki Politik

Anita Yossihara  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 21 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Reformasi politik tahun 1998 diyakini sebagai tonggak awal demokratisasi di Indonesia. Oligarki politik diharapkan runtuh bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru di bawah Soeharto.

Tumbangnya Orde Baru juga menjadi awal perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Desentralisasi dimulai dengan penetapan otonomi daerah tahun 1999. Otonomi daerah menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor penting dalam pembangunan. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Untuk mewujudkan tujuan itu, dibutuhkan pemimpin daerah yang kuat. Kebutuhan itu dijawab dengan penerapan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Pilkada langsung yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diputuskan karena pilkada oleh DPRD dianggap gagal menghasilkan pemimpin daerah berkualitas.

Pemilihan langsung diterapkan untuk mendekatkan kepala daerah dengan rakyat dan sebaliknya. Rakyat terlibat langsung dalam menentukan kepala daerah. Kenyataannya, oligarki justru tumbuh subur di daerah. Kekuasaan di daerah dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Termasuk penguasaan pemerintahan oleh kelompok keluarga atau politik dinasti.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, politik kekerabatan terjadi di 11 persen daerah. ”Data terbaru kami, politik kekerabatan terjadi di 63 dari 524 daerah di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, beberapa waktu lalu.

Salah satu modusnya, sebuah keluarga menguasai pimpinan daerah dalam satu provinsi yang sama. Fenomena itu terjadi di beberapa daerah, seperti Banten, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara.

Di Banten, setidaknya ada tiga kerabat Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah yang menjadi pemimpin daerah. Adik kandungnya, Tatu Chasanah, menjadi Wakil Bupati Serang. Haerul Jaman, adik tiri Atut, menjabat Wali Kota Serang. Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, adalah Wali Kota Tangerang Selatan.

Gubernur Lampung periode 2009-2014 Sjachroedin ZP adalah ayah kandung Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Anak kandung Sjachroedin lainnya, Handitya Narapati, menjabat Wakil Bupati Pringsewu.

Modus politik dinasti adalah menguasai jabatan kepala daerah secara turun-temurun, dari ayah ke anak, kakak ke adik, dan mertua ke menantu. Fenomena itu terjadi di banyak daerah, seperti Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon (Banten); Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Indramayu (Jawa Barat); Kendal dan Klaten (Jawa Tengah); serta Probolinggo, Bangkalan, dan Kediri (Jawa Timur).

Meski hanya 11 persen, fenomena politik dinasti cukup mengkhawatirkan. Politik dinasti dianggap merusak demokrasi dan menghambat kesempatan warga negara lainnya untuk maju sebagai calon kepala daerah.

Adanya politik dinasti menunjukkan pola perekrutan calon pemimpin daerah yang dilakukan parpol masih bermasalah. Peneliti senior LIPI, Siti R Zuhro, mengungkapkan, pemimpin berkualitas akan muncul jika parpol melakukan perekrutan secara transparan. Misalnya, dengan melaksanakan pemilihan permulaan atau semacam konvensi untuk menjaring calon kepala daerah.

Menurut anggota Panitia Kerja RUU Pilkada Komisi II DPR, Agoes Poernomo, Tim Perumus sudah merumuskan pasal tentang uji publik untuk menjaring bakal calon kepala daerah. Keikutsertaan dalam uji publik menjadi salah satu persyaratan menjadi calon kepala daerah, baik untuk mekanisme pemilihan langsung maupun pemilihan oleh DPRD.

Dalam draf RUU Pilkada oleh DPRD, uji publik diatur dalam Pasal 16. Dalam draf RUU Pilkada secara langsung, uji publik diatur di Pasal 36. Keduanya sama-sama mengatur kewajiban semua bakal calon gubernur dan bupati/wali kota mengikuti uji publik kompetensi dan integritas. Itu berlaku bagi bakal calon kepala daerah yang diajukan parpol, gabungan parpol, ataupun perseorangan.

Parpol atau gabungan parpol dapat mengusulkan satu atau lebih bakal calon kepala daerah untuk mengikuti uji publik yang digelar paling lambat tiga bulan sebelum pendaftaran.

Untuk pilkada oleh DPRD, panel beranggotakan 3 dari unsur akademisi dan 2 dari tokoh masyarakat. Untuk pilkada langsung, anggota panel terdiri dari 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat, dan 1 perwakilan Komisi Pemilihan Umum. ”Uji publik ini wajib sehingga parpol tidak boleh mencalonkan sosok yang tidak mengantongi uji publik,” tutur Djohermansyah.

Ketua Tim Kerja RUU Pilkada Dewan Perwakilan Daerah Farouk Muhammad sependapat dengan pemberlakuan uji publik. ”Kami mau ada proses penjaringan bakal calon sehingga sudah bisa dinilai mana calon yang berkualitas,” tuturnya.

Selain uji publik, pemerintah juga mengusulkan pembatasan ruang gerak politik dinasti. Menurut Djohermansyah, calon tidak boleh memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana.

Berhasil atau tidak upaya melepas belenggu oligarki politik, itu akan sangat tergantung dari itikad baik parpol sebagai salah satu penyedia calon pemimpin daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar