Melepas
Belenggu Oligarki Politik
Anita Yossihara ;
Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
21 September 2014
Reformasi politik tahun 1998 diyakini
sebagai tonggak awal demokratisasi di Indonesia. Oligarki politik diharapkan
runtuh bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru di bawah Soeharto.
Tumbangnya Orde Baru juga menjadi awal
perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi dimulai dengan penetapan otonomi daerah tahun 1999. Otonomi
daerah menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor penting dalam pembangunan.
Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah.
Untuk mewujudkan tujuan itu, dibutuhkan
pemimpin daerah yang kuat. Kebutuhan itu dijawab dengan penerapan pemilihan
kepala daerah langsung oleh rakyat. Pilkada langsung yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diputuskan
karena pilkada oleh DPRD dianggap gagal menghasilkan pemimpin daerah
berkualitas.
Pemilihan langsung diterapkan untuk
mendekatkan kepala daerah dengan rakyat dan sebaliknya. Rakyat terlibat
langsung dalam menentukan kepala daerah. Kenyataannya, oligarki justru tumbuh
subur di daerah. Kekuasaan di daerah dikuasai oleh kelompok masyarakat
tertentu. Termasuk penguasaan pemerintahan oleh kelompok keluarga atau
politik dinasti.
Kementerian Dalam Negeri mencatat, politik
kekerabatan terjadi di 11 persen daerah. ”Data terbaru kami, politik
kekerabatan terjadi di 63 dari 524 daerah di Indonesia,” kata Direktur
Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan,
beberapa waktu lalu.
Salah satu modusnya, sebuah keluarga
menguasai pimpinan daerah dalam satu provinsi yang sama. Fenomena itu terjadi
di beberapa daerah, seperti Banten, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, dan Sumatera Utara.
Di Banten, setidaknya ada tiga kerabat
Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah yang menjadi pemimpin daerah. Adik
kandungnya, Tatu Chasanah, menjadi Wakil Bupati Serang. Haerul Jaman, adik
tiri Atut, menjabat Wali Kota Serang. Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut,
adalah Wali Kota Tangerang Selatan.
Gubernur Lampung periode 2009-2014
Sjachroedin ZP adalah ayah kandung Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Anak
kandung Sjachroedin lainnya, Handitya Narapati, menjabat Wakil Bupati
Pringsewu.
Modus politik dinasti adalah menguasai
jabatan kepala daerah secara turun-temurun, dari ayah ke anak, kakak ke adik,
dan mertua ke menantu. Fenomena itu terjadi di banyak daerah, seperti
Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon (Banten); Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung, dan Indramayu (Jawa Barat); Kendal dan Klaten (Jawa
Tengah); serta Probolinggo, Bangkalan, dan Kediri (Jawa Timur).
Meski hanya 11 persen, fenomena politik
dinasti cukup mengkhawatirkan. Politik dinasti dianggap merusak demokrasi dan
menghambat kesempatan warga negara lainnya untuk maju sebagai calon kepala
daerah.
Adanya politik dinasti menunjukkan pola
perekrutan calon pemimpin daerah yang dilakukan parpol masih bermasalah.
Peneliti senior LIPI, Siti R Zuhro, mengungkapkan, pemimpin berkualitas akan
muncul jika parpol melakukan perekrutan secara transparan. Misalnya, dengan
melaksanakan pemilihan permulaan atau semacam konvensi untuk menjaring calon
kepala daerah.
Menurut anggota Panitia Kerja RUU Pilkada
Komisi II DPR, Agoes Poernomo, Tim Perumus sudah merumuskan pasal tentang uji
publik untuk menjaring bakal calon kepala daerah. Keikutsertaan dalam uji
publik menjadi salah satu persyaratan menjadi calon kepala daerah, baik untuk
mekanisme pemilihan langsung maupun pemilihan oleh DPRD.
Dalam draf RUU Pilkada oleh DPRD, uji
publik diatur dalam Pasal 16. Dalam draf RUU Pilkada secara langsung, uji
publik diatur di Pasal 36. Keduanya sama-sama mengatur kewajiban semua bakal
calon gubernur dan bupati/wali kota mengikuti uji publik kompetensi dan
integritas. Itu berlaku bagi bakal calon kepala daerah yang diajukan parpol,
gabungan parpol, ataupun perseorangan.
Parpol atau gabungan parpol dapat mengusulkan
satu atau lebih bakal calon kepala daerah untuk mengikuti uji publik yang
digelar paling lambat tiga bulan sebelum pendaftaran.
Untuk pilkada oleh DPRD, panel
beranggotakan 3 dari unsur akademisi dan 2 dari tokoh masyarakat. Untuk
pilkada langsung, anggota panel terdiri dari 2 akademisi, 2 tokoh masyarakat,
dan 1 perwakilan Komisi Pemilihan Umum. ”Uji publik ini wajib sehingga parpol
tidak boleh mencalonkan sosok yang tidak mengantongi uji publik,” tutur
Djohermansyah.
Ketua Tim Kerja RUU Pilkada Dewan
Perwakilan Daerah Farouk Muhammad sependapat dengan pemberlakuan uji publik.
”Kami mau ada proses penjaringan bakal calon sehingga sudah bisa dinilai mana
calon yang berkualitas,” tuturnya.
Selain uji publik, pemerintah juga
mengusulkan pembatasan ruang gerak politik dinasti. Menurut Djohermansyah,
calon tidak boleh memiliki hubungan darah dan hubungan perkawinan ke atas, ke
bawah, dan ke samping dengan petahana.
Berhasil atau tidak upaya melepas belenggu
oligarki politik, itu akan sangat tergantung dari itikad baik parpol sebagai
salah satu penyedia calon pemimpin daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar