Jumat, 19 September 2014

Legalisasi Nikah Beda Agama

Legalisasi Nikah Beda Agama

Heru Susetyo  ;   Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Permohonan uji material oleh sekelompok alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia terhadap Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan pada Agustus 2014 seperti membuka kotak pandora yang telah lama terkunci rapat. Sudah 40 tahun pasal itu eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari UU Perkawinan. Lebih sedikit lagi yang berpikir dan berani mengajukan pembatalan pasal itu ke hadapan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini bermakna hukum agama lebih superior dalam mengatur urusan perkawinan daripada hukum negara. Sah atau tidaknya perkawinan bukan datang dari otoritas negara, tapi ditentukan institusi agama masing-masing.

Sedangkan, tugas negara memberikan kekuatan hukum terhadap pernikahan melalui pencatatan perkawinan. Konsekuensinya, perkawinan yang tidak tercatat pada institusi negara tidak bisa dikatakan tidak sah. Namun, pastinya tidak berkekuatan hukum. Seperti yang termaktub pada Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan.

Ihwal pencatatan perkawinan ini, Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan dari UU Perkawinan menyebutkan, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA). Bagi selain Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Kembali pada asal permohonan uji material tersebut, para pemohon mengajukan dalil, dengan tetap tercantumnya Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, menutup kemungkinan pernikahan di antara pasangan berbeda agama. Karena, beberapa agama menutup kemungkinan pernikahan antara pasangan berbeda agama.

Akibatnya, pasangan berbeda agama yang ingin menikah tidak memperoleh kepastian hukum. Sebagian menikah di yurisdiksi lain (negara lain yang memungkinkan), sebagian lagi melakukan ‘penyelundupan hukum’ alias untuk kebutuhan pencatatan perkawinan saja berpindah sementara ke agama salah satu pasangannya, tapi berbalik ke agama semula setelah proses pencatatan selesai.

Larangan nikah beda agama dijumpai pada beberapa agama. Dalam Alquran surah al-Baqarah: 221 dan al-Maidah: 5, terpampang hukum yang tidak membuka kemungkinan wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim. Apakah pria Muslim dapat menikah dengan wanita non-Muslim dari golongan ahlul kitab, ulama berbeda pendapat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1980 yang ditandatangani Buya Hamka memilih menyatakan haram pernikahan beda agama, baik Muslimah yang menikahi pria non-Muslim maupun pria Muslim dengan wanita non-Muslim (ahlul kitab). Ketentuan ini dipertegas Fatwa MUI tahun 2005 pada Munas VII tanggal 29 Juli 2005 yang menyatakan, nikah beda agama adalah haram dan tidak sah. Lalu, perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad (pendapat yang disepakati) adalah haram dan tidak sah.

Senada dengan fatwa MUI, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebarluaskan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 juga menyatakan secara eksplisit pada Pasal 40 dan 44 bahwa pernikahan beda agama adalah dilarang.

Masalahnya, seberapa jauh kekuatan fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam itu dalam mengikat dan memaksa warga Muslim Indonesia tidak menikah beda agama? Ketaatan terhadap kedua produk hukum ini membutuhkan tak sekadar ketaatan sebagai warga negara, tapi juga ketundukan pada ajaran Islam.

Larangan menikah beda agama, menurut Islam, dan dikukuhkan antara lain oleh Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam memberi batu pijakan kepada petugas pencatat nikah di KUA untuk tidak mencatatkan pernikahan pasangan yang berbeda agama.

Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan menyatakan, salah satu jenis perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku adalah dilarang. Pasal 20 UU yang sama menyebutkan, pegawai pencatat perkawinan tidak dibolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila mengetahui pelanggaran dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9, 10, dan Pasal 12 UU ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Di sinilah pangkal masalahnya. UU Perkawinan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa nikah beda agama itu dilarang. Sahnya perkawinan disebutkan bukan urusan negara melainkan urusan institusi agama dan kepercayaan seperti yang tersurat pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, "Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU ini."

Larangan menikah beda agama ada pada institusi agama. Untuk perkawinan Islam paling tidak ditemui pada Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk hukum itu tidak dapat disebut sebagai hukum negara yang bersifat mengatur, mengikat, dan memaksa. Walaupun suatu hukum yang hidup dalam masyarakat dan menjadi rujukan bagi masyarakat maupun petugas KUA dan hakim di pengadilan agama.

Larangan itu membuat petugas pencatat nikah di KUA tak dapat mencatatkan pernikahan beda agama. Akibat nikah yang tidak tercatat, pernikahan itu tidak berkekuatan hukum di hadapan hukum negara.

Sejatinya bukan hanya pernikahan beda agama yang tidak dapat dicatatkan di hadapan petugas pencatat nikah KUA. Pernikahan dengan mempelai di bawah umur, pernikahan poligami yang tidak dilakukan dengan izin pengadilan agama (sesuai Pasal 3 dan Pasal 5 UU Perkawinan), dan pernikahan yang melanggar larangan perkawinan pada Pasal 8, 9, dan 10 UU Perkawinan tak dapat dicatatkan oleh petugas KUA maupun Kantor Catatan Sipil.

Unifikasi hukum perkawinan

UU Perkawinan adalah salah satu karya agung bangsa Indonesia di bidang unifikasi hukum perkawinan. Tidak mudah melakukan unifikasi di bidang hukum privat seperti hukum perkawinan. Karena harus mengakurkan dan mengharmonisasikan sejumlah aturan agama, kepercayaan, dan budaya yang hidup dan eksis di Indonesia, yang bahkan telah eksis sebelum Indonesia lahir. Ketika akhirnya UU ini diketok palu pada 22 Desember 1973, sejatinya ia telah menjalani perjuangan panjang.

UU inipun dilahirkan, antara lain, untuk menjamin penghormatan terhadap HAM di bidang perkawinan, utamanya hak kaum perempuan. Karena, sebelum UU ini lahir, begitu mudah terjadi perceraian di luar pengadilan yang berdampak serius pada kaum perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan. Juga begitu mudah pernikahan poligami yang mengabaikan hak-hak istri/istri-istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan sebelumnya.

Kemudian, perkawinan pada UU No 1 Tahun 1974 tidak dapat dipandang sebagai perbuatan perdata yang sifatnya kontraktual. Tapi, lebih dari itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan lain perkataan, pernikahan sesuatu yang sakral dan bernilai ibadah serta dilakukan dalam rangka ketaatan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sakralnya pernikahan dan ketundukan pada hukum agama adalah pengejawantahan ideologi bangsa ini. Para founding fathers sejak 1945 telah menyepakati Pancasila sebagai landasan hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menghormati agama, walaupun tidak berbentuk negara agama pun bukan pula negara sekuler. Pengejawantahan lanjutan posisi ini adalah pada Pasal 29 UUD 45.

Perlu dipertahankan

UU Perkawinan memang belum sempurna. Ada beberapa pasal yang patut direvisi. Namun, hingga saat ini ia tetap produk sejarah dan produk hukum yang patut dirujuk dalam memberikan pedoman bagi perkawinan masyarakat Indonesia.

Dan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan patut dipertahankan karena merupakan kristalisasi nilai-nilai ideal bangsa Indonesia dan wujud penghormatan serta akomodasi terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang terumuskan dalam ideologi Pancasila.

Menundukkan diri pada hukum agama dan kepercayaan adalah manifestasi HAM sesuai yang tercantum pada Pasal 29 UUD 45. Tugas negara adalah menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi pelaksanaan hak tersebut.

Perkawinan adalah bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Hak beragama dan beribadah juga bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Menjalankan perkawinan sesuai hukum agama adalah manifestasi hak asasi dalam beragama.

Maka, di atas segala kekurangan dan kelebihan UU Perkawinan, Pasal 2 ayat 1 patut dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan persoalan akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat 1 sepatutnya diselesaikan secara arif oleh masyarakat dan negara tanpa harus membatalkan pasal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar