Legalisasi
Nikah Beda Agama
Heru Susetyo ;
Staf
Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
17 September 2014
Permohonan
uji material oleh sekelompok alumni dan mahasiswa Universitas Indonesia
terhadap Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan
pada Agustus 2014 seperti membuka kotak pandora yang telah lama terkunci
rapat. Sudah 40 tahun pasal itu eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari UU
Perkawinan. Lebih sedikit lagi yang berpikir dan berani mengajukan pembatalan
pasal itu ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
Pasal
2 ayat 1 UU Perkawinan menyebutkan, perkawinan sah bila dilakukan menurut
hukum agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini bermakna hukum agama lebih
superior dalam mengatur urusan perkawinan daripada hukum negara. Sah atau
tidaknya perkawinan bukan datang dari otoritas negara, tapi ditentukan
institusi agama masing-masing.
Sedangkan,
tugas negara memberikan kekuatan hukum terhadap pernikahan melalui pencatatan
perkawinan. Konsekuensinya, perkawinan yang tidak tercatat pada institusi
negara tidak bisa dikatakan tidak sah. Namun, pastinya tidak berkekuatan
hukum. Seperti yang termaktub pada Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan.
Ihwal
pencatatan perkawinan ini, Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan dari UU Perkawinan menyebutkan, pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan
oleh pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA). Bagi selain
Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Kembali
pada asal permohonan uji material tersebut, para pemohon mengajukan dalil,
dengan tetap tercantumnya Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, menutup kemungkinan
pernikahan di antara pasangan berbeda agama. Karena, beberapa agama menutup
kemungkinan pernikahan antara pasangan berbeda agama.
Akibatnya,
pasangan berbeda agama yang ingin menikah tidak memperoleh kepastian hukum.
Sebagian menikah di yurisdiksi lain (negara lain yang memungkinkan), sebagian
lagi melakukan ‘penyelundupan hukum’ alias untuk kebutuhan pencatatan
perkawinan saja berpindah sementara ke agama salah satu pasangannya, tapi
berbalik ke agama semula setelah proses pencatatan selesai.
Larangan
nikah beda agama dijumpai pada beberapa agama. Dalam Alquran surah
al-Baqarah: 221 dan al-Maidah: 5, terpampang hukum yang tidak membuka
kemungkinan wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim. Apakah pria Muslim
dapat menikah dengan wanita non-Muslim dari golongan ahlul kitab, ulama
berbeda pendapat.
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1980 yang ditandatangani Buya Hamka
memilih menyatakan haram pernikahan beda agama, baik Muslimah yang menikahi
pria non-Muslim maupun pria Muslim dengan wanita non-Muslim (ahlul kitab).
Ketentuan ini dipertegas Fatwa MUI tahun 2005 pada Munas VII tanggal 29 Juli
2005 yang menyatakan, nikah beda agama adalah haram dan tidak sah. Lalu,
perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad (pendapat
yang disepakati) adalah haram dan tidak sah.
Senada
dengan fatwa MUI, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebarluaskan dengan
Inpres No 1 Tahun 1991 juga menyatakan secara eksplisit pada Pasal 40 dan 44
bahwa pernikahan beda agama adalah dilarang.
Masalahnya,
seberapa jauh kekuatan fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam itu dalam mengikat
dan memaksa warga Muslim Indonesia tidak menikah beda agama? Ketaatan
terhadap kedua produk hukum ini membutuhkan tak sekadar ketaatan sebagai
warga negara, tapi juga ketundukan pada ajaran Islam.
Larangan
menikah beda agama, menurut Islam, dan dikukuhkan antara lain oleh Fatwa MUI
dan Kompilasi Hukum Islam memberi batu pijakan kepada petugas pencatat nikah
di KUA untuk tidak mencatatkan pernikahan pasangan yang berbeda agama.
Pasal
8 huruf (f) UU Perkawinan menyatakan, salah satu jenis perkawinan yang
dilarang adalah perkawinan yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku adalah dilarang. Pasal 20 UU yang sama
menyebutkan, pegawai pencatat perkawinan tidak dibolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila mengetahui pelanggaran dari ketentuan
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9, 10, dan Pasal 12 UU ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan.
Di
sinilah pangkal masalahnya. UU Perkawinan tidak menyebutkan secara eksplisit
bahwa nikah beda agama itu dilarang. Sahnya perkawinan disebutkan bukan
urusan negara melainkan urusan institusi agama dan kepercayaan seperti yang
tersurat pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, "Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam UU ini."
Larangan
menikah beda agama ada pada institusi agama. Untuk perkawinan Islam paling
tidak ditemui pada Fatwa MUI dan Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk hukum
itu tidak dapat disebut sebagai hukum negara yang bersifat mengatur,
mengikat, dan memaksa. Walaupun suatu hukum yang hidup dalam masyarakat dan
menjadi rujukan bagi masyarakat maupun petugas KUA dan hakim di pengadilan agama.
Larangan
itu membuat petugas pencatat nikah di KUA tak dapat mencatatkan pernikahan
beda agama. Akibat nikah yang tidak tercatat, pernikahan itu tidak
berkekuatan hukum di hadapan hukum negara.
Sejatinya
bukan hanya pernikahan beda agama yang tidak dapat dicatatkan di hadapan
petugas pencatat nikah KUA. Pernikahan dengan mempelai di bawah umur,
pernikahan poligami yang tidak dilakukan dengan izin pengadilan agama (sesuai
Pasal 3 dan Pasal 5 UU Perkawinan), dan pernikahan yang melanggar larangan perkawinan
pada Pasal 8, 9, dan 10 UU Perkawinan tak dapat dicatatkan oleh petugas KUA
maupun Kantor Catatan Sipil.
Unifikasi hukum
perkawinan
UU
Perkawinan adalah salah satu karya agung bangsa Indonesia di bidang unifikasi
hukum perkawinan. Tidak mudah melakukan unifikasi di bidang hukum privat
seperti hukum perkawinan. Karena harus mengakurkan dan mengharmonisasikan
sejumlah aturan agama, kepercayaan, dan budaya yang hidup dan eksis di
Indonesia, yang bahkan telah eksis sebelum Indonesia lahir. Ketika akhirnya
UU ini diketok palu pada 22 Desember 1973, sejatinya ia telah menjalani
perjuangan panjang.
UU
inipun dilahirkan, antara lain, untuk menjamin penghormatan terhadap HAM di
bidang perkawinan, utamanya hak kaum perempuan. Karena, sebelum UU ini lahir,
begitu mudah terjadi perceraian di luar pengadilan yang berdampak serius pada
kaum perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan. Juga begitu mudah pernikahan
poligami yang mengabaikan hak-hak istri/istri-istri dan anak-anak yang lahir
dari perkawinan sebelumnya.
Kemudian,
perkawinan pada UU No 1 Tahun 1974 tidak dapat dipandang sebagai perbuatan
perdata yang sifatnya kontraktual. Tapi, lebih dari itu adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan lain perkataan, pernikahan sesuatu yang sakral dan
bernilai ibadah serta dilakukan dalam rangka ketaatan pada Tuhan Yang Maha
Esa.
Sakralnya
pernikahan dan ketundukan pada hukum agama adalah pengejawantahan ideologi
bangsa ini. Para founding fathers sejak 1945 telah menyepakati Pancasila
sebagai landasan hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama
Pancasila menegaskan posisi Indonesia sebagai negara yang menghormati agama,
walaupun tidak berbentuk negara agama pun bukan pula negara sekuler.
Pengejawantahan lanjutan posisi ini adalah pada Pasal 29 UUD 45.
Perlu dipertahankan
UU Perkawinan memang belum
sempurna. Ada beberapa pasal yang patut direvisi. Namun, hingga saat ini ia
tetap produk sejarah dan produk hukum yang patut dirujuk dalam memberikan
pedoman bagi perkawinan masyarakat Indonesia.
Dan
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan patut dipertahankan karena merupakan
kristalisasi nilai-nilai ideal bangsa Indonesia dan wujud penghormatan serta
akomodasi terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang terumuskan dalam
ideologi Pancasila.
Menundukkan
diri pada hukum agama dan kepercayaan adalah manifestasi HAM sesuai yang
tercantum pada Pasal 29 UUD 45. Tugas negara adalah menghormati, memajukan,
memenuhi, dan melindungi pelaksanaan hak tersebut.
Perkawinan
adalah bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Hak beragama dan
beribadah juga bagian dari hak asasi dan hak sipil warga negara. Menjalankan
perkawinan sesuai hukum agama adalah manifestasi hak asasi dalam beragama.
Maka,
di atas segala kekurangan dan kelebihan UU Perkawinan,
Pasal 2 ayat 1 patut dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
persoalan akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat 1 sepatutnya diselesaikan secara
arif oleh masyarakat dan negara tanpa harus membatalkan pasal tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar