Jumat, 19 September 2014

Reformulasi Demokrasi

Reformulasi Demokrasi

Ahmad Najib Qodratullah  ;   Anggota DPR RI Terpilih 2014-2019 dari PAN
REPUBLIKA, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Di antara pemahaman demokrasi yang ada, terselip fakta yang tidak bisa dibantah, demokrasi yang kini berjalan begitu liberal. Negara Indonesia yang sudah berkiblat ke Barat, kini justru lebih bebas dari Barat itu sendiri. Kita dihadapkan pada pilihan pelik yang tidak mudah dijawab karena pemilihan langsung atau perwakilan dua-duanya memiliki argumentasi masing-masing.

Jika kita mau merenung sejanak, perjalanan demokrasi yang sudah lama berjalan dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat kita, maka ada temuan yang menarik, walaupun mungkin bagi sebagian orang menjadi kontroversial. Pancasila yang dalam catatan sejarah merupakan cerminan dari khazanah kekayaan budaya nusantara, tentu menjadi final sebab menjadi rujukan UU berikutnya.

Apa yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Papua, misalnya, sistem noken, yang baru terungkap secara terbuka dan terpublikasi secara luas di pilpres tahun ini, tidak ada yang berani mempermasalahkan. Itu merupakan budaya demokrasi yang sudah berjalan lama. Sistem itu dianggap sebagai kekayaan budaya politik nusantara yang patut dihargai. Bahkan, jika ada keinginan serius, maka kita akan menemukan puluhan bahkan mungkin ratusan fakta menarik tentang praktik demokrasi ala Indonesia yang bersumber dari kekayaan budaya kita yang dapat dijadikan acuan dalam sistem demokrasi.

Adat ketimuran yang kita kenal sangat menjunjung tinggi musyawarah. Dengan musyawarah semua persoalan bisa diselesaikan, termasuk dalam melakukan pemilihan pemimpin. Apa yang dilakukan di Papua, mengapa seseorang bisa mewakili orang banyak dalam proses pemilihan karena sebelumnya sudah diberi kepercayaan untuk mewakili masyarakat yang lain melalui forum musyawarah atau rembuk warga. Mekanisme itu dianggap lebih aman dan demokratis, terbukti ampuh dalam mempertahankan keindonesiaan kita hingga kini.

Di luar konteks politik, masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya gotong royong patut dijadikan pelajaran penting dalam melakukan proses pembangunan. Pada taraf yang paling teknis, gotong royong bukan hanya dapat mempercepat proses pembangunan, juga dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakat secara bersama-sama. Di sana juga ada nilai kebersamaan dan saling bantu yang kini kondisinya sudah tergerus bahkan asing bagi sebagian warga kita.

Jika Pancasila yang kita yakini sebagai dasar dari semua aturan di negara ini, kita pun mengenalnya sebagai fondasi negara yang diangkat dari kekayaan budaya sendiri. Jika sila keempat Pancasila menginformasikan tentang musyawarah, itu artinya musyawarah untuk mufakat merupakan praktik demokrasi yang benar-benar lahir dari kekayaan budaya kita, tanpa campur tangan pihak lain.

Di sinilah kita mencatat bagaimana sebuah sistem demokrasi yang memiliki nilai kebangsaan ini benar-benar bersumber dari kearifan lokal kita. Kearifan lokal ini menjadi kata kunci untuk kemudian digali dan dirumuskan menjadi sebuah nilai bersama untuk menyatukan keindonesiaan kita. Catatannya adalah tidak meninggalkan aspek kearifan lokal tadi dengan berdalih demi modernisasi dan apalagi jika yang dipertimbangkan adalah intervensi pihak luar.

Sebelum reformasi, bangsa kita juga selalu mempertahankan sistem musyawarah untuk mufakat ini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal begitu menyatu dalam sistem politik yang berjalan dalam pemerintahan dari daerah hingga pusat. Masyarakat menjalankan melalui mekanisme yang memadukan antara kekinian dan nilai-nilai tradisi yang luhur.

Apa yang menjadi persoalan kini terkait dengan polemik RUU Pilkada apakah harus kembali ke DPRD yang kemudian mendapat penentangan dari pihak yang berseberangan (pilkada oleh rakyat) patut dicermati dalam konteks keindonesiaan yang genuine ini. Terlepas dari konteks politis dan dari sisi timing yang mungkin kurang tepat, membicarakan masalah ini tentu saat ini menjadi sensitif. Disebut sensitif sebab pembicaraan ini selalu dikaitkan dengan pilpres dan kekalahan pihak Prabowo-Hatta.

Jika jernih melihat, wacana kembalinya pilkada oleh DPRD bukan hal baru. Bebarapa tahun lalu wacana ini sampat mencuat. Bahkan, pada 2012 Mahkamah Konstitusi (MK), Mendagri, perwakilan parpol, penyelenggara pemilu telah melakukan diskusi mendalam, bahkan sampai dibuatkan neraca antara manfaat madharat pilkada langsung. Kesimpulan dari diskusi tersebut menerangkan bahwa pilkada langsung lebih banyak madharatnya ketimbang manfaatnya.

Hasil itulah yang dipakai rujukan Menteri Dalam Negeri untuk membuat RUU Pilkada dikembalikan kepada DPRD. Ormas-ormas seperti NU dan lainnya juga merekomendasikan untuk mengembalikan pilkada oleh DPRD. Selain itu, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra hingga tokoh masyarakat pun berbicara hal yang sama sebelum pilpres digelar. Artinya, tidak ada kaitan dengan kalah-menang capres-cawapres tertentu.

Waktu yang kini sangat berimpitan dengan pascapilpres yang masih hangat, menyebabkan wacana ini menjadi tidak dibaca secara jernih lagi. Tentu saja hal ini sangat disayangkan, sebab bagaimana diskusi dan perdebatan akan bisa berjalan ilmiah jika dasar tafsirnya sudah sangat politis. Karenanya sangat disayangkan, berdiskusi permasalahan yang sangat prinsip dan penting ini pada waktu yang kurang tepat.

Ke depan, tentu kita perlu kembali melakukan reformulasi sistem demokrasi ini. Demokrasi yang sudah sangat liberal perlu dipikirkan ulang agar bisa kembali menjadi sebuah sistem yang benar-benar murni produk Indonesia. Sistem demokrasi yang benar-benar bersumber pada kekayaan khazanah budaya dan kearifan lokal kita.

Kekayaan yang terbentang di nusantara ini seharusnya yang mesti digali kembali dan dipertimbangkan ketika berbicara masalah demokrasi. Aspek ini pula yang dapat dijadikan pisau analisis ketika kita akan mendiskusikan persoalan RUU Pilkada hari ini, sehingga kita akan menemukan format demokrasi yang lebih baik ke depannya demi Indonesia yang kita cintai ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar