Reformulasi
Demokrasi
Ahmad Najib Qodratullah ;
Anggota
DPR RI Terpilih 2014-2019 dari PAN
|
REPUBLIKA,
18 September 2014
Di
antara pemahaman demokrasi yang ada, terselip fakta yang tidak bisa dibantah,
demokrasi yang kini berjalan begitu liberal. Negara Indonesia yang sudah
berkiblat ke Barat, kini justru lebih bebas dari Barat itu sendiri. Kita
dihadapkan pada pilihan pelik yang tidak mudah dijawab karena pemilihan
langsung atau perwakilan dua-duanya memiliki argumentasi masing-masing.
Jika
kita mau merenung sejanak, perjalanan demokrasi yang sudah lama berjalan dan
menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat kita, maka ada temuan yang
menarik, walaupun mungkin bagi sebagian orang menjadi kontroversial.
Pancasila yang dalam catatan sejarah merupakan cerminan dari khazanah
kekayaan budaya nusantara, tentu menjadi final sebab menjadi rujukan UU
berikutnya.
Apa
yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Papua, misalnya, sistem
noken, yang baru terungkap secara terbuka dan terpublikasi secara luas di
pilpres tahun ini, tidak ada yang berani mempermasalahkan. Itu merupakan
budaya demokrasi yang sudah berjalan lama. Sistem itu dianggap sebagai
kekayaan budaya politik nusantara yang patut dihargai. Bahkan, jika ada
keinginan serius, maka kita akan menemukan puluhan bahkan mungkin ratusan
fakta menarik tentang praktik demokrasi ala Indonesia yang bersumber dari
kekayaan budaya kita yang dapat dijadikan acuan dalam sistem demokrasi.
Adat
ketimuran yang kita kenal sangat menjunjung tinggi musyawarah. Dengan
musyawarah semua persoalan bisa diselesaikan, termasuk dalam melakukan
pemilihan pemimpin. Apa yang dilakukan di Papua, mengapa seseorang bisa
mewakili orang banyak dalam proses pemilihan karena sebelumnya sudah diberi
kepercayaan untuk mewakili masyarakat yang lain melalui forum musyawarah atau
rembuk warga. Mekanisme itu dianggap lebih aman dan demokratis, terbukti
ampuh dalam mempertahankan keindonesiaan kita hingga kini.
Di
luar konteks politik, masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya gotong
royong patut dijadikan pelajaran penting dalam melakukan proses pembangunan.
Pada taraf yang paling teknis, gotong royong bukan hanya dapat mempercepat
proses pembangunan, juga dapat menyelesaikan masalah sosial kemasyarakat
secara bersama-sama. Di sana juga ada nilai kebersamaan dan saling bantu yang
kini kondisinya sudah tergerus bahkan asing bagi sebagian warga kita.
Jika
Pancasila yang kita yakini sebagai dasar dari semua aturan di negara ini,
kita pun mengenalnya sebagai fondasi negara yang diangkat dari kekayaan
budaya sendiri. Jika sila keempat Pancasila menginformasikan tentang
musyawarah, itu artinya musyawarah untuk mufakat merupakan praktik demokrasi
yang benar-benar lahir dari kekayaan budaya kita, tanpa campur tangan pihak
lain.
Di
sinilah kita mencatat bagaimana sebuah sistem demokrasi yang memiliki nilai
kebangsaan ini benar-benar bersumber dari kearifan lokal kita. Kearifan lokal
ini menjadi kata kunci untuk kemudian digali dan dirumuskan menjadi sebuah
nilai bersama untuk menyatukan keindonesiaan kita. Catatannya adalah tidak
meninggalkan aspek kearifan lokal tadi dengan berdalih demi modernisasi dan
apalagi jika yang dipertimbangkan adalah intervensi pihak luar.
Sebelum
reformasi, bangsa kita juga selalu mempertahankan sistem musyawarah untuk
mufakat ini. Nilai-nilai budaya dan kearifan lokal begitu menyatu dalam
sistem politik yang berjalan dalam pemerintahan dari daerah hingga pusat.
Masyarakat menjalankan melalui mekanisme yang memadukan antara kekinian dan
nilai-nilai tradisi yang luhur.
Apa
yang menjadi persoalan kini terkait dengan polemik RUU Pilkada apakah harus
kembali ke DPRD yang kemudian mendapat penentangan dari pihak yang
berseberangan (pilkada oleh rakyat) patut dicermati dalam konteks
keindonesiaan yang genuine ini. Terlepas dari konteks politis dan dari sisi timing yang mungkin kurang tepat,
membicarakan masalah ini tentu saat ini menjadi sensitif. Disebut sensitif
sebab pembicaraan ini selalu dikaitkan dengan pilpres dan kekalahan pihak
Prabowo-Hatta.
Jika
jernih melihat, wacana kembalinya pilkada oleh DPRD bukan hal baru. Bebarapa
tahun lalu wacana ini sampat mencuat. Bahkan, pada 2012 Mahkamah Konstitusi
(MK), Mendagri, perwakilan parpol, penyelenggara pemilu telah melakukan
diskusi mendalam, bahkan sampai dibuatkan neraca antara manfaat madharat
pilkada langsung. Kesimpulan dari diskusi tersebut menerangkan bahwa pilkada
langsung lebih banyak madharatnya ketimbang manfaatnya.
Hasil
itulah yang dipakai rujukan Menteri Dalam Negeri untuk membuat RUU Pilkada
dikembalikan kepada DPRD. Ormas-ormas seperti NU dan lainnya juga
merekomendasikan untuk mengembalikan pilkada oleh DPRD. Selain itu, pakar
hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra hingga tokoh masyarakat pun berbicara
hal yang sama sebelum pilpres digelar. Artinya, tidak ada kaitan dengan
kalah-menang capres-cawapres tertentu.
Waktu
yang kini sangat berimpitan dengan pascapilpres yang masih hangat,
menyebabkan wacana ini menjadi tidak dibaca secara jernih lagi. Tentu saja
hal ini sangat disayangkan, sebab bagaimana diskusi dan perdebatan akan bisa
berjalan ilmiah jika dasar tafsirnya sudah sangat politis. Karenanya sangat
disayangkan, berdiskusi permasalahan yang sangat prinsip dan penting ini pada
waktu yang kurang tepat.
Ke
depan, tentu kita perlu kembali melakukan reformulasi sistem demokrasi ini.
Demokrasi yang sudah sangat liberal perlu dipikirkan ulang agar bisa kembali
menjadi sebuah sistem yang benar-benar murni produk Indonesia. Sistem
demokrasi yang benar-benar bersumber pada kekayaan khazanah budaya dan
kearifan lokal kita.
Kekayaan
yang terbentang di nusantara ini seharusnya yang mesti digali kembali dan
dipertimbangkan ketika berbicara masalah demokrasi. Aspek ini pula yang dapat
dijadikan pisau analisis ketika kita akan mendiskusikan persoalan RUU Pilkada
hari ini, sehingga kita akan menemukan format demokrasi yang lebih baik ke
depannya demi Indonesia yang kita cintai ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar