Partai
Islam Setelah Pilpres
Mirawati Uniang ;
Mahasiswa
Universitas Eka Sakti
|
HALUAN,
18 September 2014
Kisruh internal di tubuh
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ternyata berbuntut panjang. Surya
Darma Ali (SDA) yang dilengserkan dari kursi ketua umum, tidak menerima
begitu saja keputusan partai berlambang ka’bah tersebut. SDA tetap
bersikukuh, pemecatan dirinya hanya bisa dilakukan melalui muktamar atau
muktamar luar biasa.
Konflik PPP memang sudah
lama bergema. Terlebih semenjak SDA menjadi tersangka dalam kasus korupsi
dana haji. Pecat memecat, silang sengketa dan konflik berkepanjangan di PPP
yang notabene Partai Islam memunculkan persepsi publik, betapa rapuhnya
pondasi partai tersebut dalam menghadapi berbagai persoalan internal maupun
lintas partai.
PPP yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih (KMP), memang bukan satu-satunya partai yang terlilit
konflik internal. Pasca pemilu presiden, sejumlah partai politik seperti
Golkar dan PAN juga sempat diterpa berbagai masalah. Terjadi tarik menarik
kepentingan di antara personal maupun gerbong orang-orang yang terlibat di
partai tersebut.
Pecahnya kongsi KMP,
kurang lebih juga disebabkan keinginan sebagian kader atau pengurus partai
yang ingin menyeberang dan merapat ke kubu Jokowi-JK. Lalu, akankah konflik
akut yang terjadi di tubuh PPP bisa diketagorikan sebagai warning
terhadap keberlangsungan Partai Islam di masa yang akan datang?
Menarik memang untuk
mengevaluasi keberadaan atau eksistensi Partai Islam khususnya pasca pilpres
lalu. Sedikit menoleh ke belakang, tadinya Saya - mungkin juga pembaca
– mengira, partai-partai Islam akan membentuk koalisi sendiri dan mengusung
pasangan capres-cawapres pada pilpres Juli lalu. Hitung-hitunganya, bila
digabung perolehan suara, maka sangat memungkinkan koalisi partai Islam
ini untuk mengusung paslon sendiri. Sayang, hal tersebut tidak
terjadi. Partai-partai Islam yang berada di papan tengah ini lebih memilih merapat
pada kubu Prabowo-Hatta.
Keengganan membentuk
koalisi sendiri atau poros tengah tersebut, tentu lebih didasari pada pertimbangan
tertentu. Salah satunya, tidak tampil atau munculya figur yang dapat
menyatukan partai-partai Islam yang terpecah belah tersebut. Faktanya memang
sangat rumit, partai Islam seperti kehilangan sosok panutan yang bisa mengakomodir
kepentingan, konflik dan strategi partai-partai Islam. Selain itu, partai
Islam terlihat pesimistis mengusung calon yang bisa mengimbangi Jokowi dan
Prabowo baik dari sisi elektabilitas, popularitas maupun faktor financial.
Bisa jadi juga, kondisi
itu diperparah pula oleh prediksi sejumlah pengamat politik. Pasalnya, jauh
sebelum pemilu legislatif (pileg) dan pilpres digelar, banyak pihak – pengamat
– memprediksi bahwa partai berbasis massa dan berideologikan Islam akan
mengalami keterpurukan. Diperkirakan sejumlah partai Islam tidak akan sanggup
mendulang suara. Tanpa melalui riset lembaga survey pun, sebenarnya fenomena
tersebut bisa diraba secara kasat mata.
Alasannya, partai-partai
Islam terus menunjukkan pelemahan, baik secara internal maupun eksternal. Di
tingkat internal, partai Islam menunjukkan beberapa indikator seperti
kurangnya pengkaderan, konflik vertikal, keterbatasan dana, sumber daya dan
kekuatan sosial. Sementara pada tataran eksternal, skandal korupsi yang
menghantam sejumlah petinggi elit partai Islam menjadikan kepercayaan (trust) publik melorot drastis.
Seperti gayung bersambut,
faktanya, pada pilpres yang digelar 9 Juli lalu, perolehan suara
partai-partai Islam memang tidak berbeda jauh dari prediksi para pengamat
maupun lembaga survey. PKS yang menukar jargonnya dari “bersih dan peduli”
menjadi “cinta, kerja dan harmoni” hanya mampu meraup suara 6,79 persen.
Padahal partai yang kini dinakhodai Anies Matta itu mengincar posisi tiga
besar.
Demikian juga Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang bertengger pada 6,53 persen. Sementara Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) lebih beruntung dibanding saudaranya dengan perolehan
9,04 persen. Menyusul di belakangnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang
berhasil mendulang 7,59 persen suara nasional.
Kini, apa daya, nasi sudah
menjadi bubur. Enak atau tidak, suka atau bukan, terima atau tidak, tak ada
cara selain menghadapi dan menerima kenyataan pahit tersebut. Konflik yang
terjadi di tubuh PPP maupun kasus korupsi yang melilit sejumlah elit partai
Islam, sejatinya bisa menjadi momentum berbenah atau melakukan konsolidasi.
Bagaimanapun, kehadiran
partai Islam sebagai penyeimbang, baik di dalam maupun luar parlemen masih
sangat dibutuhkan pada masa yang akan datang. Tapi tentu saja dengan catatan,
partai Islam harus menanggalkan semua prilaku minus yang menyertai kader
maupun partai secara kelembagaan. Jika Partai Islam masih memperebutkan kekuasaan
dengan memaksakan diri berada di pemerintahan, kemudian melakukan manuver
sana-sini dan massifnya prilaku korup, sementara persoalan umat terus
terbengkalai, maka hasilnya juga nihil.
Bukan tidak mungkin,
rakyat – khususnya umat Islam – semakin alergi dengan Partai Islam. Karena
acapkali partai Islam melegitimasi agama untuk kepentingan politik meraih
kekuasan. Kalau sekedar berprilaku agamis atau religius, sejumlah partai
nasionalis juga mengusung jargon tersebut. Selain itu juga dibutuhkan figure
kharismatik yang mampu menyatukan berbagai silang sengketa dan menjadi
mediator menyelesaikan persoalan tersebut. Semoga saja!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar