Jumat, 19 September 2014

Partai Islam Setelah Pilpres

Partai Islam Setelah Pilpres

Mirawati Uniang  ;   Mahasiswa Universitas Eka Sakti
HALUAN, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kisruh internal di tu­buh Partai Per­satuan Pem­ba­ngu­nan (PPP) ternyata berbuntut panjang. Surya Darma Ali (SDA) yang dileng­serkan dari kursi ketua umum, tidak menerima begitu saja keputusan partai berlambang ka’bah tersebut. SDA tetap bersikukuh, pemecatan dirinya hanya bisa dilakukan melalui muktamar atau muktamar luar biasa.

Konflik PPP memang sudah lama bergema. Terlebih semen­jak SDA menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana haji. Pecat memecat, silang sengketa dan konflik berkepanjangan di PPP yang notabene Partai Islam memunculkan persepsi publik, betapa rapuhnya pondasi partai tersebut dalam meng­hadapi berbagai persoalan internal maupun lintas partai.

PPP yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), memang bukan satu-satunya partai yang terlilit konflik internal. Pasca pemilu presiden, sejumlah partai politik seperti Golkar dan PAN juga sempat diterpa berbagai masalah. Terjadi tarik menarik kepen­tingan di antara personal maupun gerbong orang-orang yang terlibat di partai tersebut.

Pecahnya kongsi KMP, kurang lebih juga disebabkan keinginan sebagian kader atau pengurus partai yang ingin menyeberang dan merapat ke kubu Jokowi-JK. Lalu, akankah konflik akut yang terjadi di tubuh PPP bisa diketagorikan sebagai warning  terhadap keberlangsungan Partai Islam di masa yang akan datang?

Menarik memang untuk mengevaluasi keberadaan atau eksistensi Partai Islam khusus­nya pasca pilpres lalu.  Sedikit menoleh ke belakang, tadinya Saya - mungkin juga pembaca – mengira, partai-partai Islam akan membentuk koalisi sendiri dan mengusung pasangan capres-cawapres pada pilpres Juli lalu. Hitung-hitunganya, bila digabung pe­rolehan suara, maka sangat me­­mungkinkan koalisi partai Islam ini un­tuk me­ngusung paslon sen­­­diri. Sa­­yang, hal tersebut tidak terjadi. Partai-partai Islam yang berada di pa­pan tengah ini lebih memilih merapat pada kubu Prabowo-Hatta.

Keengganan mem­­bentuk koalisi sendiri atau poros te­ngah tersebut, tentu lebih didasari pada per­tim­bangan tertentu. Salah satunya, tidak tampil atau munculya figur yang dapat menyatukan partai-partai Islam yang terpecah belah tersebut. Faktanya memang sangat rumit, partai Islam seperti kehilangan sosok panutan yang bisa meng­akomodir kepentingan, konflik dan strategi partai-partai Islam. Selain itu, partai Islam terlihat pesimistis mengusung calon yang bisa mengimbangi Jokowi dan Prabowo baik dari sisi elektabilitas, popularitas maupun faktor financial.

Bisa jadi juga, kondisi itu diperparah pula oleh prediksi sejumlah pengamat politik. Pasalnya, jauh sebelum pemilu legislatif (pileg) dan pilpres digelar, banyak pihak – penga­mat – memprediksi bahwa partai berbasis massa dan berideologikan Islam akan mengalami keterpurukan. Diperkirakan sejumlah partai Islam tidak akan sanggup mendulang suara. Tanpa melalui riset lembaga sur­vey pun, sebe­narnya fe­no­me­na tersebut bisa diraba secara kasat mata.

Alasannya, partai-partai Islam terus menunjukkan pelemahan, baik secara internal mau­pun eksternal. Di tingkat internal, partai Islam me­nun­juk­kan beberapa indikator se­perti kurangnya peng­­kaderan, konflik vertikal, keterbatasan dana, sumber daya dan kekua­tan sosial. Se­mentara pada tataran eks­ternal, skandal korupsi yang menghantam sejumlah pe­ting­gi elit partai Islam menjadikan kepercayaan (trust) publik melorot drastis.

Seperti gayung bersambut, faktanya, pada pilpres yang digelar 9 Juli lalu, perolehan suara partai-partai Islam memang tidak berbeda jauh dari prediksi para pengamat maupun lembaga survey. PKS yang menukar jargonnya dari “bersih dan peduli” menjadi “cinta, kerja dan harmoni” hanya mampu meraup suara 6,79 persen. Padahal partai yang kini dinakhodai Anies Matta itu mengincar posisi tiga besar.

Demikian juga Partai Per­sa­tuan Pembangunan (PPP) yang bertengger pada 6,53 persen. Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lebih beruntung dibanding saudaranya dengan perolehan 9,04 persen. Menyusul di belakangnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang berhasil mendulang 7,59 persen suara nasional.
Kini, apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Enak atau tidak, suka atau bukan, terima atau tidak, tak ada cara selain menghadapi dan menerima kenyataan pahit tersebut. Konflik yang terjadi di tubuh PPP maupun kasus korupsi yang melilit sejumlah elit partai Islam, sejatinya bisa menjadi momentum berbenah atau melakukan konsolidasi.

Bagaimanapun, kehadiran partai Islam sebagai penyeim­bang, baik di dalam maupun luar parlemen masih sangat dibutuhkan pada masa yang akan datang. Tapi tentu saja dengan catatan, partai Islam harus menanggalkan semua prilaku minus yang menyertai kader maupun partai secara kelembagaan. Jika Partai Islam masih memperebutkan kekua­saan dengan memaksakan diri berada di pemerintahan, kemudian melakukan manuver sana-sini dan massifnya prilaku korup, sementara persoalan umat terus terbengkalai, maka hasilnya juga nihil.

Bukan tidak mungkin, rakyat – khususnya umat Islam – semakin alergi dengan Partai Islam. Karena acapkali partai Islam melegitimasi agama untuk kepentingan politik meraih kekuasan. Kalau sekedar berprilaku agamis atau religius, sejumlah partai nasionalis juga mengusung jargon tersebut. Selain itu juga dibutuhkan figure kharismatik yang mam­pu menyatukan berbagai silang sengketa dan menjadi mediator menyelesaikan persoalan ter­sebut. Semoga saja! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar