Layu
Sebelum Berkembang
Febri Hendri AA ;
Badan
Pekerja ICW
|
KOMPAS,
19 September 2014
AWAL
September 2014, tiba-tiba Wakil Mendikbud beserta jajarannya
mendatangi kantor Indonesia Corruption Watch di Jakarta Selatan. Tujuan
kedatangan, untuk berdiskusi dengan aktivis pendidikan terkait dengan
implementasi Kurikulum 2013. Kurikulum baru ini sedang bermasalah karena buku
tak kunjung sampai ke sekolah dan guru juga belum menguasai materi dan metode
pengajaran baru. Diskusi berlangsung singkat dan menyisakan banyak pertanyaan
yang belum terjawab.
Isu
kritis
Berikut sebagian dari pertanyaan,
klarifikasi, kritik, dan catatan atas Kurikulum 2013 yang belum mengemuka
dalam diskusi. Pertama, Kurikulum 2013 menuai kontroversi sejak 2012. Muncul
pertanyaan, mengapa harus mengganti kurikulum lama (Kurikulum 2006)?
Pertanyaan ini muncul karena pemerintah tak punya rencana sedikit pun
mengganti kurikulum. Sesuai Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, pemerintah mengagendakan aksi terkait
kurikulum berupa penataan dan penyempurnaan kurikulum yang ada. Perpres ini
tak sedikit pun menyinggung aksi mengubah kurikulum.
Perubahan tiba-tiba ini memicu spekulasi
adanya intervensi politik atas kurikulum ini. Spekulasi diperkuat oleh tak
adanya dokumen riset, kajian, atau evaluasi mendalam dan komprehensif atas
implementasi kurikulum yang sedang diberlakukan saat itu. Sampai kini,
Kemdikbud belum mampu menunjukkan satu pun dokumen kajian dan evaluasi atas
kelemahan dan kekuatan serta relevansi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) kepada publik. Kalaupun ada evaluasi, hanya sebatas poin-poin yang
dipresentasikan oleh pejabat Kemdikbud dalam berbagai sosialisasi Kurikulum
2013.
Perubahan kurikulum diduga juga sarat
kepentingan pihak yang ingin dapat keuntungan dari penjualan buku. Perubahan
kurikulum akan berdampak terhadap perubahan buku pegangan murid. Murid tak
lagi dapat menggunakan buku yang digunakan murid tahun ajaran sebelumnya.
Oleh karena itu, pengadaan buku menjadi lahan bagi berbagai pihak seperti
birokrasi, politisi, broker, penerbit, sampai kepala sekolah untuk mendapat
keuntungan.
Bagi birokrasi, perubahan kurikulum
merupakan proyek baru dan tentu anggaran yang sangat besar. Kurikulum baru,
misalnya, mensyaratkan pelatihan bagi guru yang jumlahnya dua juta lebih di
seluruh Indonesia. Selain dana pelatihan guru, anggaran pembiayaan birokrasi
untuk mendukung dan memfasilitasi pelatihan bagi guru juga cukup besar. Belum
lagi biaya untuk menyusun konsep dan materi Kurikulum 2013 yang melibatkan
berbagai ahli dan guru. Untuk 2014, anggaran yang tersedot untuk Kurikulum
2013 mencapai triliunan rupiah.
Kedua, Kemdikbud terkesan memaksakan
Kurikulum 2013 melalui serangkaian uji publik dan sosialisasi di seluruh
Indonesia. Ini menuai kritik dan penolakan luas dari kalangan masyarakat
serta perguruan tinggi yang menilai substansi dan metode Kurikulum 2013 patut
dipertanyakan. Kritik terutama ditujukan pada pendekatan integratif yang
digunakan dalam kurikulum yang memadukan materi tentang spiritual, sikap
sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Dalam pengetahuan memang dimungkinkan
penyisipan materi tentang sikap dan karakter. Misalnya sikap jujur dikaitkan
dengan pelajaran berhitung. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi soal
berhitung dalam bentuk narasi yang di dalamnya murid mendapat pengetahuan
tentang kejujuran. Namun, konsep dan kemampuan berhitung terkait kemampuan
bernalar siswa tentu sulit diharapkan membentuk sikap dan perilaku anak.
Kalaupun ada perubahan sikap dan perilaku anak, itu mungkin karena adanya
penyisipan materi sikap sosial dan spiritual.
Masalah akan muncul ketika anak belajar
tentang konsep pengetahuan lebih tinggi seperti pelajaran persamaan linier di
tingkat SMA/SMK. Bagaimana mungkin mengetahui konsep dan persamaan linier
matematika akan mengubah perilaku dan spiritual anak? Oleh karena itu, kurang
tepat Kurikulum 2013 dinamakan sebagai kurikulum dengan pendekatan integratif.
Lebih tepat jika dinamakan ”kurikulum sisip-sisipan”. Semua materi pelajaran
disisipkan sehingga tiada lagi kejelasan dan fokus tentang apa yang sedang
dipelajari siswa bersama guru di dalam atau di luar ruangan kelas.
Ketiga, perubahan tiba-tiba juga diikuti
oleh ketidaksiapan pemerintah menyediakan infrastruktur implementasi
kurikulum. Sampai kini masih banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas
belum mendapat pelatihan Kurikulum 2013. Padahal, salah satu indikator
keberhasilan kurikulum ini semua guru telah dilatih Kurikulum 2013 dan mampu
mengimplementasikannya. Dari pemantauan ICW atas implementasi Kurikulum 2013
pada awal tahun pelajaran 2014/2015 di berbagai sekolah ditemukan bahwa guru
cukup percaya diri menjalankan Kurikulum 2013. Namun, itu bukan karena
pengaruh pelatihan kurikulum atau kurikulum ini sederhana, melainkan karena
guru terbiasa mengelola kelas dan tidak terlalu memikirkan materi kurikulum
terbaru.
Salah satu yang dikhawatirkan guru adalah
metode penilaian siswa. Sebelumnya, nilai siswa diberikan dalam bentuk angka
untuk setiap mata pelajaran. Saat ini siswa tak lagi dinilai dalam bentuk
angka, tetapi penilaian narasi dengan empat kriteria: sikap spiritual, sikap
sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Guru harus memberikan nilai narasi
untuk empat kriteria untuk setiap siswa.
Jadi, jika guru—terutama guru SMP/MTs dan
SMA/SMK/MA—mengelola enam kelas dan setiap kelas memiliki 35 murid, ia harus
memberikan nilai narasi bagi 210 siswa. Hal ini menjadi masalah bagi guru
karena menghafal ratusan nama siswa saja sulit, apalagi memberikan penilaian
narasi murid satu per satu. Hampir dipastikan waktu interaksi guru habis
untuk mengamati murid satu per satu sehingga fokus terhadap materi pelajaran
kian berkurang. Apalagi guru juga disibukkan kegiatan lain seperti mengejar
pemenuhan syarat sertifikasi.
Keempat, indikator keberhasilan lain
Kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid dan guru di sekolah pada
awal tahun pelajaran 2014/2015. Faktanya, murid dan guru sampai kini belum
kunjung memegang buku Kurikulum 2013. Satu bulan tahun ajaran baru, buku
masih dalam proses percetakan oleh penerbit. Berbagai pihak terkait pengadaan
dan distribusi buku saling lempar tanggung jawab. Proses tender
dipermasalahkan karena meloloskan penerbit berkapasitas cetak rendah sebagai
pemenang tender. Perusahaan kecil bisa lolos tender karena panitia lelang
kurang melakukan visitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya
didasarkan penawaran terendah tanpa memperhatikan kapasitas produksi.
Akibatnya, perusahaan tak mampu memproduksi buku yang menjadi kewajibannya
dan mengalihkannya pada percetakan berkapasitas lebih besar.
Selain kapasitas produksi, kontrak payung
pengadaan buku antara pemerintah dan penerbit juga bermasalah. Ketika
penerbit gagal memenuhi kewajiban, pemerintah sulit menjatuhkan sanksi karena
ini tak diatur dalam kontrak payung.
Di sisi lain, beberapa pihak menuding
sekolah dan dinas pendidikan terlambat mengajukan permintaan buku serta
pembayarannya. Kemdikbud menilai sekolah dan pemda kurang berinisiatif
memesan buku kepada penerbit. Pesanan baru datang menjelang tahun ajaran baru
sehingga penerbit tak punya waktu cukup menyelesaikan pencetakan dan
pendistribusian buku. Akibat ketia-
daan buku, murid dan orangtua murid
berinisiatif mencari buku Kurikulum 2013 dengan berbagai cara. Mereka
mengunduh buku melalui situs resmi Kemdikbud, menggandakan cetakan dokumen
yang terdapat melalui cakram padat yang dikirim Kemdikbud ke sekolah, atau
membeli melalui toko buku. Orangtua harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk
mendapatkan bahan itu. Sayangnya, biaya yang telah dikeluarkan ini tidak
dapat dibayar oleh pihak sekolah.
Ketiadaan buku juga memicu pihak tertentu
mengambil keuntungan. Buku Kurikulum 2013 seharusnya tidak untuk
diperdagangkan, tetapi dijual bebas di berbagai tempat, terutama toko buku,
secara terang-terangan. Harganya jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan
pemerintah pada penerbit. Label tak boleh diperdagangkan ditutupi. Sayangnya,
belum ada upaya penegakan hukum atas penjualan buku ilegal ini. Buku
Kurikulum 2013 juga sekali pakai sehingga tak efisien dan boros anggaran.
Murid pada tahun ajaran berikutnya tak dapat menggunakan buku ini lagi.
Berapa anggaran untuk pengadaan buku setiap tahun?
Kelima, Kurikulum 2013 diprediksi akan layu
sebelum berkembang. Hal ini karena pemerintahan SBY-Boediono segera berakhir
Oktober 2014, diikuti pergantian Mendikbud. Perubahan politik pemerintahan
akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemdikbud terhadap Kurikulum
2013. Konsentrasi pejabat Kemdikbud akan terpecah antara tetap mendukung atau
tidak atas implementasi kurikulum ini karena adanya kemungkinan rotasi dan
mutasi pejabat.
Keberlangsungan implementasi kurikulum
tematik integratif akhirnya akan ditentukan oleh pemerintah baru. Apakah
pemerintah baru akan tetap melanjutkan kurikulum ini atau tidak, ditentukan
relevansi dan kesesuaian antara kurikulum ini dan visi dan misi yang
disampaikan saat kampanye pilpres. Presiden dan wakil presiden terpilih belum
menyinggung sedikit pun soal Kurikulum 2013. Dalam kampanyenya, mereka selalu
menyampaikan revolusi mental bagi bangsa Indonesia. Apakah kurikulum 2014
akan sejalan dengan revolusi mental yang digaungkan? Pertanyaan ini tentu
hanya bisa dijawab oleh pemerintah baru.
Rekomendasi
Kurikulum 2013 telah menuai kontroversi,
penolakan luas, serta mengakibatkan kerugian bagi pemerintah dan publik,
terutama orangtua dan murid. Negara dirugikan karena sejumlah penerbit tak
dapat memenuhi target pencetakan dan distribusi buku. Kerugian kian meningkat
jika pemerintah baru tak melanjutkan program ini. Anggaran Rp 6 triliun lebih
telah dihabiskan guna membiayai penyusunan materi, pelatihan guru, pengadaan
buku, pembayaran pengarang buku, serta pembiayaan birokrasi untuk menyusun
dan mengimplementasikan kurikulum.
Orangtua dan murid juga dirugikan karena
semrawutnya manajemen pemerintah dalam implementasi kurikulum ini. Orangtua
telah mengalami kerugian materiil berupa pengeluaran sejumlah dana untuk
menggandakan dan membeli buku Kurikulum 2013. Murid juga telah dirugikan
secara imaterial karena belajar tanpa buku sehingga proses belajar tak
optimal. Guna mencegah kerugian lebih lanjut, pemerintah baru mendatang wajib
mengkaji dua kurikulum ini. Tujuannya untuk melihat kekuatan, kelemahan,
relevansi, efektivitas, dan efisiensi setiap kurikulum. Kajian ini harus
didasarkan pada fakta lapangan dan masukan dari ahli pendidikan, terutama
ahli kurikulum. Kajian dan hasil evaluasi selanjutnya disampaikan kepada
publik guna mendapatkan masukan lebih lanjut.
Setelah mengkaji dan mendengar masukan
publik, terdapat tiga opsi bagi pemerintah baru. Pertama, Kurikulum 2013
dihentikan pada saat ini dan kembali menggunakan KTSP. Opsi ini cukup
memungkinkan mengingat guru sudah terbiasa menjalankan kurikulum ini. Buku
Kurikulum 2006 juga masih tersedia di sekolah dan dijual di sebagian toko
buku. Kurikulum baru disusun berdasarkan riset atas kajian terhadap dua
kurikulum tersebut dan langsung dimulai ketika kajian atas dua kurikulum
selesai dilaksanakan.
Opsi kedua, Kurikulum 2013 tetap berjalan
sampai maksimal dua tahun setelah berhasilnya disusun kurikulum baru
berdasarkan sintesis atas dua kurikulum itu atau tidak sama sekali.
Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum selesai
dilaksanakan. Opsi ketiga, merevisi sebagian Kurikulum 2013, menyiapkan guru
lebih matang, dan mencetak kembali buku berdasarkan hasil revisi. Opsi ini
memang menimbulkan kerugian lebih kecil, tetapi permasalahan substansi
kurikulum tidak akan berubah. Padahal, salah satu inti penolakan dan kritik
adalah pada substansi dan metode pengajaran dalam Kurikulum 2013.
Akhirnya, semua ini bergantung pada
pemerintah mendatang. Apakah melihat Kurikulum 2013 memang relevan terhadap
kebutuhan bangsa Indonesia ke depan. Atau, apakah mereka tunduk pada
keinginan elite politik dan birokrasi yang memiliki kepentingan besar atas
dana pengadaan buku dan pelatihan guru.
Kesemrawutan kurikulum ini
telah memberikan pelajaran berharga bagi pemimpin negeri ini untuk tidak
sembarang mengubah kurikulum. Apalagi kalau mengubah
didorong oleh motif kepentingan politik dan mencari keuntungan dari pengadaan
buku. Pendidikan bukanlah sektor yang tepat untuk dua hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar