Peran
BPK dalam Pemberantasan Korupsi
Adnan Pandu Praja ;
Komisioner
KPK
|
JAWAPOS,
19 September 2014
DALAM pemberantasan korupsi, sejatinya
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa berperan sebagai lembaga yang disegani
dan ikut memberantas korupsi seperti KPK atau sebaliknya hanya berfungsi
sebagai alat pencitraan belaka. Dalam debat capres dan cawapres pada
pemilihan presiden lalu, kita hampir tidak pernah mendengar hasil audit BPK
menjadi referensi debat. Sangat disayangkan. Padahal, sebagai lembaga tinggi
negara yang memonopoli audit tata kelola keuangan negara, semestinya temuan
BPK menjadi topik hangat perdebatan kebijakan tata kelola negara lima tahun
mendatang. Tampaknya, itu terjadi karena masyarakat tidak merasakan
kontribusi BPK yang signifikan dalam memperbaiki berbagai kebijakan negara.
Hal tersebut senada dengan dua kali hasil review lima tahunan 2009 dan 2014 oleh
lembaga setingkat BPK di luar negeri. Lembaga tersebut belum beranjak dari
persoalan mikro yang selama ini menyandera. BPK lebih disibukkan oleh
monopoli audit instansi pemerintah, khususnya pada kepatuhan tata kelola
anggaran. Akibatnya, kesalahan tata kelola yang sudah menahun tidak pernah
bisa diperbaiki. Misalnya, mafia migas, tata kelola haji, bantuan sosial, dan
tata kelola minerba.
Revisi UU BPK yang akan
memonopoli kewenangan menghitung kerugian negara, hal terpenting dalam
penanganan perkara korupsi di pengadilan, adalah bentuk kemunduran yang patut
disesali. Seyogianya BPK hanya memonopoli pembuatan pedoman perhitungan
kerugian negara agar lembaga lain dapat melakukannya.
Misalnya, BPKP maupun Inspektorat Jenderal yang dalam RUU sistem pengendalian
internal pemerintah akan memiliki kewenangan audit. Sebagai perbandingan, GAO
(Government Audit Office), lembaga
sejenis BPK di Amerika, hanya mengaudit persoalan makro antarinstansi. Urusan
mikro audit instansi diserahkan kepada inspektorat jenderal di setiap
instansi.
Salah satu hal yang menjadi
penyebab suburnya korupsi selama ini adalah kewenangan diskresi BPK untuk
tidak menyerahkan temuan potensi kerugian negara kepada aparat penegak hukum
bila telah dapat dikembalikan. Padahal, temuan audit BPK
jauh lebih berkualitas daripada pengaduan masyarakat pada umumnya. Temuan
audit hasil deteksi fraud akan
memudahkan penetapan tersangka. Secara normatif, BPK semestinya mengetahui
sejak dini kasus-kasus korupsi.
Bila BPK tidak memiliki diskresi tersebut
sehingga temuan audit langsung dilimpahkan kepada penegak hukum, seperti yang
berlaku di negara-negara yang tidak toleran terhadap korupsi, hasil audit BPK
akan lebih tegas dan tidak multitafsir. Salah satu contoh yang sedang marak
diberitakan adalah laporan hasil audit (LHA) BPK terhadap pemerintah Provinsi
Jawa Barat yang memperoleh predikat teratas WTP (wajar tanpa pengecualian),
padahal ditengarai banyak penyimpangan. Kontribusi BPK dalam melaporkan kasus
korupsi ke KPK masih minim dan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sejak
2004 hingga 2013 hanya 20 kasus (5,65 persen).
Salah satu rekomendasi peer review yang akhir-akhir ini
menjadi sangat relevan untuk diperhatikan BPK adalah LHA BPK sebaiknya
menggunakan bahasa yang mudah dipahami publik. Hal itu sangat
penting karena BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara), salah satu alat
kelengkapan dewan yang berfungsi antara lain menerjemahkan LHA BPK agar mudah
dipahami anggota dewan, telah dibubarkan oleh UU MD3 yang baru disahkan.
Padahal, jumlah anggota dewan yang berlatar belakang akuntansi sangat
terbatas. LHA BPK sangat berperan bagi dewan dalam menjalankan fungsi
pengawasan.
Dalam merevisi UU BPK, ada
tiga hal penting yang perlu ditelaah. Pertama,
jumlah anggota BPK yang terlalu banyak,
apalagi partisan dan tidak memiliki latar belakang auditor, diyakini berkorelasi kuat dengan kualitas LHA.
Argumennya, BPK adalah lembaga profesi audit yang output-nya bukan produk
politik. Sebagai perbandingan, GAO di Amerika hanya dipimpin seorang ketua.
Kedua, transparansi seleksi anggota BPK sangat vital
dalam memilih anggota yang berintegritas dan berkompeten. Peran partisipasi
publik terkait dengan rekam jejak calon seharusnya menjadi pertimbangan
dominan. Anggota BPK harus lebih mengutamakan dukungan serta kepercayaan
publik ketimbang berdekat-dekatan dengan legislatif. Salah satu faktor
penting yang memengaruhi independensi anggota BPK adalah syahwat politik agar
dipilih kembali pada seleksi berikutnya.
Ketiga, kemandirian BPK dalam merekrut personel yang
selama ini bergantung pada pemerintah serta kebijakan promosi dan mutasi yang
transparan. Ada kesan, independensi BPK baru sekadar wacana. Politik
kepentingan selama ini telah sukses mereduksi kinerja BPK.
Presiden
Baru
Sesuai dengan rekomendasi peer review, BPK
semestinya dapat bersinergi dengan presiden secara sistemik sejak RPJMN
disusun di ranah penindakan maupun pencegahan. Di bidang penindakan, aparat
penegak hukum perlu dipersiapkan untuk bisa menindaklanjuti temuan fraud oleh BPK. KPK telah mendidik
ratusan penyidik Polri dan jaksa penuntut walaupun hasilnya belum optimal.
Setiap kasus tipikor yang telah inkracht semestinya ditindaklanjuti setiap
instansi terkait dengan penegakan aturan disiplin terhadap mereka yang secara
tidak langsung turut menimbulkan terjadinya kasus korupsi.
Di bidang pencegahan, presiden perlu
memonitor secara ketat agar rekomendasi perbaikan governance oleh BPK dipatuhi. Undang-undang bahkan memberikan
sanksi pidana bila rekomendasi BPK diabaikan. Rasanya, presiden tidak perlu
mubazir membentuk lembaga baru. Di samping itu, presiden perlu meminimalkan
hal-hal yang dapat menggerogoti independensi BPK. Khususnya di bidang
anggaran dan sumber daya manusia.
Pemberdayaan peran BPK untuk dapat memperbaiki
negeri sangat ditentukan political will
DPR dalam merevisi UU BPK maupun dalam memilih anggota BPK. Namun, tanpa
harus menunggu revisi UU BPK, presiden baru memiliki peran strategis agar BPK
bisa disegani masyarakat seperti KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar