Selasa, 23 September 2014

Korupsi dan Ruang Fiskal

Korupsi dan Ruang Fiskal

Ibrahim Fahmy Badoh ;   Koordinator Program Transparency International Indonesia; Anggota Komisi Anggaran Independen
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEMPITNYA ruang fiskal di dalam APBN menjadi ancaman bagi pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk segera bekerja efektif di awal transisi pemerintahan. Sebenarnya, memangkas korupsi dan meningkatkan integritas anggaran dapat menjadi pilihan prioritas untuk meluaskan sempitnya ruang fiskal.

Ancaman korupsi anggaran adalah bahaya laten dan terbesar menggerogoti anggaran. Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan semester II-2013 menemukan total 10.996 kasus kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap aturan. Potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 13,96 triliun.

Sepanjang 2003-2013, BPK telah menemukan dan melaporkan 432 kasus indikasi pidana dengan nilai kerugian Rp 42,714 triliun. Ini termasuk 48 temuan senilai Rp 4,5 triliun yang disampaikan kepada penegak hukum di tahun 2013.
Potensi korupsi terbesar terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ). Praktiknya dalam bentuk perjalanan dinas fiktif, pengadaan fiktif, kekurangan volume pekerjaan, dan penggelembungan (mark up) anggaran.

Semua modus ini menggambarkan praktik korupsi konvensional masih terjadi. Korupsi PBJ erat kaitannya dengan permainan kuasa pengguna anggaran (mafia birokrasi) dengan kroni bisnis rekanan pemerintah. Mereka menggunakan aktor bisnis kroni birokrasi dan kroni politik untuk merencanakan proyek koruptif.

Tren aktor korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2004-Juni 2014, menunjukkan hal senada dengan dominasi aktor yang sama, yaitu dari kementerian dan lembaga (168 orang) termasuk kepala kementerian dan lembaga (17), diikuti kepala daerah (60) dan DPR/DPRD (74), serta aktor bisnis (100). Dari 70 kasus korupsi yang ditindaklanjuti KPK tahun 2013, 50 kasus adalah suap terkait anggaran terutama PBJ publik.

Maraknya korupsi memperburuk pelayanan dan menurunkan berbagai indikator penilaian publik. Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia, misalnya, stagnan. Selama Susilo Bambang Yudhoyono memerintah, IPK Indonesia hanya terdongkrak 1 basis poin dari 2,0 tahun 2004 menjadi 3,0 tahun 2011. Tahun 2012 dan 2013, IPK Indonesia stagnan di angka skor 32 dari total 100 basis poin, jauh dari target pemerintah, yaitu 5 atau 50.

Posisi Indonesia dalam survei Global Integrity juga menurun. Dari skor 81 (strong) tahun 2011 turun menjadi 77 (moderate) tahun 2013.

Survei ini menyebutkan beberapa indikator penting, seperti transparansi pendanaan politik 58 (very weak), transparansi dan pengawasan proses anggaran 63 (weak), whistle-blowing protection 63 (weak), Civil Service 63 (weak), perizinan bisnis 64 (weak), dan perlindungan terhadap pemantau korupsi 33 (very weak).

Ruang fiskal

Fakta masih besar dan latennya potensi korupsi anggaran di Indonesia meniscayakan disiapkannya program kerja yang efektif, konsisten, dan dampaknya terukur. Adanya keluasan ruang fiskal sebagai dampak dari penghematan anggaran dapat menjadi salah satu alat ukur utama pemberantasan korupsi. Ruang fiskal terutama dapat diupayakan dari penghematan belanja, juga efektivitas pengelolaan penerimaan negara.

Di sisi belanja anggaran, program pemangkasan sendiri belanja (self block) dapat dikaji untuk diterapkan kembali. Kebijakan ini pernah diterapkan pemerintahan SBY lewat Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2014.

Lewat instruksi ini dapat dipangkas belanja Rp 100 triliun, terdiri dari perjalanan dinas, biaya rapat dan konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, dan pengadaan kendaraan operasional.

Pemangkasan belanja pegawai juga bisa dilakukan jika moratorium perekrutan baru pegawai negeri sipil dilanjutkan seperti yang pernah diterapkan di tahun 2010-2013.

Potensi penghematan lain adalah menghentikan ”budaya” menghabis-habiskan anggaran di akhir tahun. Praktik aji mumpung ini disebabkan lemahnya evaluasi di setiap termin anggaran.

Faktanya, daya serap pemerintah pusat saja selama 2012 dan 2013 rata-rata hanya terpaut 89,3 persen (2012) dan 93,7 persen (2013). Jika diambil angka moderat 6 persen untuk pemangkasan, akan ada keluasan fiskal Rp 36,034 triliun dari total belanja K/L 2015 sebesar Rp 600,58 triliun.

Terkait korupsi di sektor pengadaan, pemerintah dapat menerapkan e-catalogue sebagai pelengkap e-procurement untuk menekan penggelembungan harga. 

Menurut kajian BPKP, tahun 2013, nilai rata-rata proyek belanja modal yang ”menguap” oleh setiap proyek anggaran adalah minimal 20 persen. Pemangkasan belanja modal minimum 20 persen dapat menghemat anggaran minimal Rp 80 triliun dengan asumsi alokasi total belanja modal 20 persen dari total APBN 2015 sebesar 2.000 triliun.

Dari perhitungan di atas, dengan penerapan penghematan di sisi belanja saja, potensi kebocoran secara kasar yang bisa ditambal minimum Rp 216 triliun. Potensi ini belum termasuk potensi yang belum tergali secara optimal di sektor penerimaan terutama pajak dan potensi sumber daya alam.

Diperlukan kepemimpinan (leadership) yang kuat untuk menghadang ancaman kebocoran di sektor fiskal. Pemerintahan ke depan harus lebih berani menghemat sekaligus memberantas korupsi.

Dengan penghematan, dapat dilakukan realokasi untuk memperbaiki fasilitas dan pelayanan publik. Upaya ini dapat berjalan beriringan dengan peningkatan kinerja dan profesionalitas aparatur. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar