Korupsi
dan Ruang Fiskal
Ibrahim Fahmy Badoh ; Koordinator
Program Transparency International Indonesia; Anggota Komisi Anggaran
Independen
|
KOMPAS,
22 September 2014
SEMPITNYA
ruang fiskal di dalam APBN menjadi ancaman bagi pemerintahan baru Joko
Widodo-Jusuf Kalla untuk segera bekerja efektif di awal transisi
pemerintahan. Sebenarnya, memangkas korupsi dan meningkatkan integritas
anggaran dapat menjadi pilihan prioritas untuk meluaskan sempitnya ruang
fiskal.
Ancaman
korupsi anggaran adalah bahaya laten dan terbesar menggerogoti anggaran.
Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan semester II-2013 menemukan total 10.996
kasus kelemahan sistem pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap
aturan. Potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 13,96 triliun.
Sepanjang
2003-2013, BPK telah menemukan dan melaporkan 432 kasus indikasi pidana
dengan nilai kerugian Rp 42,714 triliun. Ini termasuk 48 temuan senilai Rp
4,5 triliun yang disampaikan kepada penegak hukum di tahun 2013.
Potensi
korupsi terbesar terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ).
Praktiknya dalam bentuk perjalanan dinas fiktif, pengadaan fiktif, kekurangan
volume pekerjaan, dan penggelembungan (mark
up) anggaran.
Semua
modus ini menggambarkan praktik korupsi konvensional masih terjadi. Korupsi
PBJ erat kaitannya dengan permainan kuasa pengguna anggaran (mafia birokrasi)
dengan kroni bisnis rekanan pemerintah. Mereka menggunakan aktor bisnis kroni
birokrasi dan kroni politik untuk merencanakan proyek koruptif.
Tren
aktor korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2004-Juni 2014,
menunjukkan hal senada dengan dominasi aktor yang sama, yaitu dari
kementerian dan lembaga (168 orang) termasuk kepala kementerian dan lembaga
(17), diikuti kepala daerah (60) dan DPR/DPRD (74), serta aktor bisnis (100).
Dari 70 kasus korupsi yang ditindaklanjuti KPK tahun 2013, 50 kasus adalah
suap terkait anggaran terutama PBJ publik.
Maraknya
korupsi memperburuk pelayanan dan menurunkan berbagai indikator penilaian
publik. Indeks persepsi korupsi (IPK)
Indonesia, misalnya, stagnan. Selama Susilo Bambang Yudhoyono memerintah, IPK
Indonesia hanya terdongkrak 1 basis poin dari 2,0 tahun 2004 menjadi 3,0
tahun 2011. Tahun 2012 dan 2013, IPK Indonesia stagnan di angka skor 32 dari
total 100 basis poin, jauh dari target pemerintah, yaitu 5 atau 50.
Posisi
Indonesia dalam survei Global Integrity juga menurun. Dari skor 81 (strong)
tahun 2011 turun menjadi 77 (moderate)
tahun 2013.
Survei
ini menyebutkan beberapa indikator penting, seperti transparansi pendanaan
politik 58 (very weak), transparansi dan pengawasan proses anggaran 63 (weak), whistle-blowing protection 63 (weak), Civil Service 63
(weak), perizinan bisnis 64 (weak), dan perlindungan terhadap
pemantau korupsi 33 (very weak).
Ruang fiskal
Fakta
masih besar dan latennya potensi korupsi anggaran di Indonesia meniscayakan
disiapkannya program kerja yang efektif, konsisten, dan dampaknya terukur.
Adanya keluasan ruang fiskal sebagai dampak dari penghematan anggaran dapat
menjadi salah satu alat ukur utama pemberantasan korupsi. Ruang fiskal
terutama dapat diupayakan dari penghematan belanja, juga efektivitas
pengelolaan penerimaan negara.
Di
sisi belanja anggaran, program pemangkasan sendiri belanja (self block) dapat dikaji untuk
diterapkan kembali. Kebijakan ini pernah diterapkan pemerintahan SBY lewat
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2014.
Lewat
instruksi ini dapat dipangkas belanja Rp 100 triliun, terdiri dari perjalanan
dinas, biaya rapat dan konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, dan
pengadaan kendaraan operasional.
Pemangkasan
belanja pegawai juga bisa dilakukan jika moratorium perekrutan baru pegawai
negeri sipil dilanjutkan seperti yang pernah diterapkan di tahun 2010-2013.
Potensi
penghematan lain adalah menghentikan ”budaya” menghabis-habiskan anggaran di
akhir tahun. Praktik aji mumpung ini disebabkan lemahnya evaluasi di setiap
termin anggaran.
Faktanya,
daya serap pemerintah pusat saja selama 2012 dan 2013 rata-rata hanya terpaut
89,3 persen (2012) dan 93,7 persen (2013). Jika diambil angka moderat 6
persen untuk pemangkasan, akan ada keluasan fiskal Rp 36,034 triliun dari
total belanja K/L 2015 sebesar Rp 600,58 triliun.
Terkait
korupsi di sektor pengadaan, pemerintah dapat menerapkan e-catalogue sebagai pelengkap e-procurement
untuk menekan penggelembungan harga.
Menurut kajian BPKP, tahun 2013, nilai
rata-rata proyek belanja modal yang ”menguap” oleh setiap proyek anggaran
adalah minimal 20 persen. Pemangkasan belanja modal minimum 20 persen dapat
menghemat anggaran minimal Rp 80 triliun dengan asumsi alokasi total belanja
modal 20 persen dari total APBN 2015 sebesar 2.000 triliun.
Dari
perhitungan di atas, dengan penerapan penghematan di sisi belanja saja,
potensi kebocoran secara kasar yang bisa ditambal minimum Rp 216 triliun.
Potensi ini belum termasuk potensi yang belum tergali secara optimal di
sektor penerimaan terutama pajak dan potensi sumber daya alam.
Diperlukan
kepemimpinan (leadership) yang kuat
untuk menghadang ancaman kebocoran di sektor fiskal. Pemerintahan ke depan
harus lebih berani menghemat sekaligus memberantas korupsi.
Dengan
penghematan, dapat dilakukan realokasi untuk memperbaiki fasilitas dan
pelayanan publik. Upaya ini dapat berjalan beriringan dengan peningkatan
kinerja dan profesionalitas aparatur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar