Kabinet
Transaksional?
Airlangga Pribadi Kusman ;
Pengajar Departemen Politik FISIP
Unair,
Kandidat PhD Asia Research Center
Murdoch University
|
JAWA
POS, 22 September 2014
SEJENAK setelah postur kabinet pemerintahan
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diumumkan, berbagai reaksi bermunculan.
Respons negatif berupa tuduhan kabinet transaksional dilontarkan sehubungan
dengan postur kabinet yang dianggap sarat kepentingan partai politik.
Persoalannya, dapatkah kita memberikan penilaian peyoratif terhadap kabinet
Jokowi-JK sebagai kabinet transaksional hanya karena melihat postur kabinet
yang tidak ramping dan tampilnya orang-orang partai di kabinet? Tampaknya,
agak berlebihan kritik terhadap pemerintahan Jokowi mendatang tanpa
mengolaborasikan secara mendalam detail argumen yang telah diuraikan Jokowi.
Ketika kita mencermati detail pernyataan
yang disampaikan Jokowi seputar pengumuman postur kabinet, penilaian
sementara yang dapat diberikan adalah kabinet mendatang tidak sempurna, namun
tidaklah buruk untuk menjawab tantangan pemerintahan dan statecraft (bina negara) ke depan. Dikatakan tidak sempurna (not perfect) karena postur kabinet
Jokowi-JK ternyata tidak ramping, tidak merekrut kalangan ahli maupun
teknokrat (zaken kabinet), dan meminggirkan orang-orang partai di dalamnya
seperti yang menjadi gambaran ideal tentang kabinet berbasis experts (kaum ahli). Namun, politik
dalam pusaran bumi manusia dibatasi dan dimungkinkan oleh kondisi-kondisi
empiris yang kerap mengharuskan kita menerima kenyataan bahwa tidak semua hal
yang baik datang bersamaan.
Sehubungan dengan pemahaman atas kondisi
politik empiris seperti, pertama, kebutuhan untuk mengonsolidasikan dukungan
politik elite berhadapan dengan tekanan politik oposisional mayoritas di
parlemen. Kedua, apabila dihadapkan kepada dilema menata pemerintahan yang
efektif di tengah desakan membangun keseimbangan politik, postur kabinet
pemerintahan Jokowi dapat dikatakan tidaklah buruk dan masih memiliki
harapan. Setidaknya, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk tidak
terburu-buru menyatakan postur kabinet pemerintahan Jokowi-JK kali ini
mengingkari janji politiknya untuk membangun pemerintahan tanpa syarat.
Ada beberapa alasan kuat yang
dapat menjernihkan duduk perkara dari karakter kabinet mendatang. Pertama,
kita dapat membandingkan postur kabinet Jokowi-JK dengan postur kabinet
sebelumnya (kabinet SBY-Boediono). Dari perbandingan di
antara dua kabinet tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa komposisi kabinet
Jokowi-JK adalah 18 orang (52 persen) dari non parpol dan 16 orang (48
persen) dari parpol, sedangkan kabinet SBY-Boediono terdiri atas 16 orang (43
persen) dari non parpol dan 21 orang (57 persen) dari parpol. Dari perbandingan
dua kabinet itu, kita menyaksikan peningkatan persentase orang-orang non
parpol jika dibandingkan dengan orang-orang dari parpol dalam rencana postur
kabinet Jokowi-JK. Apabila kalkulasi kuantitatif elite parpol yang masuk
kabinet dibandingkan dengan kalangan teknokrat nonpartai dianggap sebagai
ukuran karakter transaksional, kabinet Jokowi memperlihatkan lebih banyaknya
kalangan ahli dan profesional nonpartai daripada kalangan partai politik
dalam kabinet Jokowi-JK.
Kedua,
yang patut dipertimbangkan dalam pernyataan
presiden terpilih Joko Widodo adalah komitmennya untuk tidak menempatkan para petinggi partai politik,
khususnya para ketua partai politik, dalam jajaran kabinet. Pernyataan
tersebut sudah semestinya diapresiasi untuk membangun tradisi pemerintahan
baru. Selama ini kita menyaksikan kerap kali jabatan ketua partai
diperebutkan dalam kerangka orientasi kekuasaan sempit dari segelintir elite
politik. Jabatan ketua partai politik sering dipandang sebagai jembatan
mengejar jabatan publik atau sarana negosiasi kekuasaan belaka.
Ketika elite partai dimaknai semata-mata
sebagai sarana kekuasaan orang per orang, peran-peran kelembagaan parpol,
misalnya ideologisasi partai maupun kemampuan agregasi politik kader partai,
melemah. Komitmen Jokowi menolak ketua partai menduduki jabatan menteri
diharapkan dapat menata kualitas politik sekaligus karakter parpol di negeri
kita. Kebijakan di atas diharapkan membantu terbangunnya pembagian peran di
partai bahwa ketua dan jajaran elite pengurus partai terfokus kepada
pembenahan kelembagaan dan memproduksi kader-kader yang andal ketika
menduduki jabatan publik.
Tradisi
Riset
Ketiga,
meskipun postur kabinet pemerintahan pasangan Jokowi-JK terlihat tidak
ramping, kita patut mengapresiasi inovasi-inovasi
penting dalam pelembagaan pemerintahan. Misalnya, kelahiran
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset yang merupakan penggabungan antara
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kemenristek adalah sebuah inovasi
kelembagaan pemerintahan yang penting. Problem yang dihadapi oleh pendidikan
tinggi kita selama ini adalah masih belum kuatnya tradisi riset/penelitian di
universitas-universitas kita. Padahal, fokus kepada research and development
yang berbasis di universitas adalah kunci kemajuan bangsa di era globalisasi.
Seperti diutarakan Professor Jeffrey Sachs
(2011) dalam The Price of Civilization
bahwa salah satu strategi yang harus dilakukan negara untuk menyelamatkan
peradabannya pada masa krisis adalah kemampuan negara memobilisasi
tenaga-tenaga ahli (experts) untuk
memberikan kontribusi pengetahuan yang sinergis dengan tujuan dan orientasi
pembangunan negara. Kebutuhan negara untuk mengonsolidasikan para peneliti
menjadi begitu penting selama ini. Ide pengintegrasian Dirjen Dikti dengan
Kemenristek itu kita harapkan menjadi awal dari orientasi menempatkan
peneliti dan kaum inteligensia untuk berkontribusi kepada strategi
pembangunan nasional dan memperkuat sektor-sektor produktif masyarakat sipil,
alih-alih sering hanya dimanfaatkan oleh sektor privat maupun korporasi.
Tiga hal di atas semestinya
menjadi pertimbangan sebelum kita tergesa-gesa memberikan penilaian pendek
bahwa kabinet ke depan tidak lebih dari kabinet transaksional belaka.
Adalah benar bahwa postur kabinet ke depan bukanlah kabinet ideal yang kita
impikan. Namun, bukankah politik sendiri adalah menata kemajuan secara
bertahap, fase demi fase, langkah demi langkah dengan mempertimbangkan setiap
hambatan, dan kesempatannya tidak dalam waktu semalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar