Senin, 22 September 2014

Kabinet Transaksional?

Kabinet Transaksional?

Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Unair,
Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SEJENAK setelah postur kabinet pemerintahan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diumumkan, berbagai reaksi bermunculan. Respons negatif berupa tuduhan kabinet transaksional dilontarkan sehubungan dengan postur kabinet yang dianggap sarat kepentingan partai politik. Persoalannya, dapatkah kita memberikan penilaian peyoratif terhadap kabinet Jokowi-JK sebagai kabinet transaksional hanya karena melihat postur kabinet yang tidak ramping dan tampilnya orang-orang partai di kabinet? Tampaknya, agak berlebihan kritik terhadap pemerintahan Jokowi mendatang tanpa mengolaborasikan secara mendalam detail argumen yang telah diuraikan Jokowi.

Ketika kita mencermati detail pernyataan yang disampaikan Jokowi seputar pengumuman postur kabinet, penilaian sementara yang dapat diberikan adalah kabinet mendatang tidak sempurna, namun tidaklah buruk untuk menjawab tantangan pemerintahan dan statecraft (bina negara) ke depan. Dikatakan tidak sempurna (not perfect) karena postur kabinet Jokowi-JK ternyata tidak ramping, tidak merekrut kalangan ahli maupun teknokrat (zaken kabinet), dan meminggirkan orang-orang partai di dalamnya seperti yang menjadi gambaran ideal tentang kabinet berbasis experts (kaum ahli). Namun, politik dalam pusaran bumi manusia dibatasi dan dimungkinkan oleh kondisi-kondisi empiris yang kerap mengharuskan kita menerima kenyataan bahwa tidak semua hal yang baik datang bersamaan.

Sehubungan dengan pemahaman atas kondisi politik empiris seperti, pertama, kebutuhan untuk mengonsolidasikan dukungan politik elite berhadapan dengan tekanan politik oposisional mayoritas di parlemen. Kedua, apabila dihadapkan kepada dilema menata pemerintahan yang efektif di tengah desakan membangun keseimbangan politik, postur kabinet pemerintahan Jokowi dapat dikatakan tidaklah buruk dan masih memiliki harapan. Setidaknya, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk tidak terburu-buru menyatakan postur kabinet pemerintahan Jokowi-JK kali ini mengingkari janji politiknya untuk membangun pemerintahan tanpa syarat.

Ada beberapa alasan kuat yang dapat menjernihkan duduk perkara dari karakter kabinet mendatang. Pertama, kita dapat membandingkan postur kabinet Jokowi-JK dengan postur kabinet sebelumnya (kabinet SBY-Boediono). Dari perbandingan di antara dua kabinet tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa komposisi kabinet Jokowi-JK adalah 18 orang (52 persen) dari non parpol dan 16 orang (48 persen) dari parpol, sedangkan kabinet SBY-Boediono terdiri atas 16 orang (43 persen) dari non parpol dan 21 orang (57 persen) dari parpol. Dari perbandingan dua kabinet itu, kita menyaksikan peningkatan persentase orang-orang non parpol jika dibandingkan dengan orang-orang dari parpol dalam rencana postur kabinet Jokowi-JK. Apabila kalkulasi kuantitatif elite parpol yang masuk kabinet dibandingkan dengan kalangan teknokrat nonpartai dianggap sebagai ukuran karakter transaksional, kabinet Jokowi memperlihatkan lebih banyaknya kalangan ahli dan profesional nonpartai daripada kalangan partai politik dalam kabinet Jokowi-JK.

Kedua, yang patut dipertimbangkan dalam pernyataan presiden terpilih Joko Widodo adalah komitmennya untuk tidak menempatkan para petinggi partai politik, khususnya para ketua partai politik, dalam jajaran kabinet. Pernyataan tersebut sudah semestinya diapresiasi untuk membangun tradisi pemerintahan baru. Selama ini kita menyaksikan kerap kali jabatan ketua partai diperebutkan dalam kerangka orientasi kekuasaan sempit dari segelintir elite politik. Jabatan ketua partai politik sering dipandang sebagai jembatan mengejar jabatan publik atau sarana negosiasi kekuasaan belaka.

Ketika elite partai dimaknai semata-mata sebagai sarana kekuasaan orang per orang, peran-peran kelembagaan parpol, misalnya ideologisasi partai maupun kemampuan agregasi politik kader partai, melemah. Komitmen Jokowi menolak ketua partai menduduki jabatan menteri diharapkan dapat menata kualitas politik sekaligus karakter parpol di negeri kita. Kebijakan di atas diharapkan membantu terbangunnya pembagian peran di partai bahwa ketua dan jajaran elite pengurus partai terfokus kepada pembenahan kelembagaan dan memproduksi kader-kader yang andal ketika menduduki jabatan publik.

Tradisi Riset

Ketiga, meskipun postur kabinet pemerintahan pasangan Jokowi-JK terlihat tidak ramping, kita patut mengapresiasi inovasi-inovasi penting dalam pelembagaan pemerintahan. Misalnya, kelahiran Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset yang merupakan penggabungan antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kemenristek adalah sebuah inovasi kelembagaan pemerintahan yang penting. Problem yang dihadapi oleh pendidikan tinggi kita selama ini adalah masih belum kuatnya tradisi riset/penelitian di universitas-universitas kita. Padahal, fokus kepada research and development yang berbasis di universitas adalah kunci kemajuan bangsa di era globalisasi.

Seperti diutarakan Professor Jeffrey Sachs (2011) dalam The Price of Civilization bahwa salah satu strategi yang harus dilakukan negara untuk menyelamatkan peradabannya pada masa krisis adalah kemampuan negara memobilisasi tenaga-tenaga ahli (experts) untuk memberikan kontribusi pengetahuan yang sinergis dengan tujuan dan orientasi pembangunan negara. Kebutuhan negara untuk mengonsolidasikan para peneliti menjadi begitu penting selama ini. Ide pengintegrasian Dirjen Dikti dengan Kemenristek itu kita harapkan menjadi awal dari orientasi menempatkan peneliti dan kaum inteligensia untuk berkontribusi kepada strategi pembangunan nasional dan memperkuat sektor-sektor produktif masyarakat sipil, alih-alih sering hanya dimanfaatkan oleh sektor privat maupun korporasi. 

Tiga hal di atas semestinya menjadi pertimbangan sebelum kita tergesa-gesa memberikan penilaian pendek bahwa kabinet ke depan tidak lebih dari kabinet transaksional belaka. Adalah benar bahwa postur kabinet ke depan bukanlah kabinet ideal yang kita impikan. Namun, bukankah politik sendiri adalah menata kemajuan secara bertahap, fase demi fase, langkah demi langkah dengan mempertimbangkan setiap hambatan, dan kesempatannya tidak dalam waktu semalam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar