Selasa, 23 September 2014

Revolusi Diam-diam Sulawesi Utara

Revolusi Diam-diam Sulawesi Utara

Ninuk M Pambudy dkk. ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

MENEMPUH  jarak antara Manado dan Bitung sekitar 40 kilometer dalam waktu satu jam adalah sebuah kemustahilan. Kepadatan arus lintas dengan mobil aneka rupa di jalan menjadikan jarak tempuh satu kota ke kota lain di Sulawesi Utara kini bertambah lama. Tak hanya ke Bitung, waktu tempuh dari Manado ke Tomohon pun kini menjadi dua jam. Padahal, jika tak padat, jarak keduanya dicapai 40 menit.

Ahli ekonomi regional di Manado, Noldy Tuerah, menyebutkan, pertambahan kendaraan di Sulut bagai deret ukur, menjadi salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu daerah. ”Pada musim panen cengkeh, dealer mobil ramai pembeli,” ujarnya.

Transformasi ekonomi Sulut di usia 50 tahun berlangsung cepat, terutama pada satu dasawarsa belakangan. Sektor pertanian dan perkebunan dahulu menjadi penopang perekonomian Sulut kini bersaing dengan sektor jasa dan pariwisata.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010 di Manado menyatakan, Sulut di bawah kepemimpinan Sinyo H Sarundajang melakukan revolusi ekonomi secara diam-diam. Pembangunan infrastruktur dan banyak modal investasi membuat Sulut menjadi magnet baru di wilayah utara Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi provinsi ini mencapai 7-8 persen dalam enam tahun terakhir. Ini di atas angka nasional dan meningkatkan kemajuan ekonomi di berbagai bidang. Pertumbuhan ekonomi tinggi berkorelasi dengan turunnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut melansir data kemiskinan tahun 2014 sebesar 7,8 persen dengan jumlah penduduk miskin sekitar 208.000 jiwa. Angka ini tergolong kecil dibandingkan jumlah penduduk Sulut sebanyak 2,4 juta jiwa. Angka kemiskinan terbesar terjadi di pedesaan daerah kepulauan.

Gubernur Sulut SH Sarundajang pun bergembira karena angka melek huruf di daerahnya mencapai 99,4 persen, mengalahkan DKI Jakarta yang baru 99,1 persen. Modal sumber daya manusia Sulut cukup baik.

”Orang Sulut biasa membaca dan tak mudah dibodohi dan diprovokasi. Masyarakat pintar menjadi modal untuk pembangunan. Singapura, misalnya, negara kecil tetapi memiliki potensi manusia luar biasa. Potensi Sulut lebih besar dari Singapura, yaitu memiliki sumber daya manusia dan kekayaan alam dan laut,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Sarundajang, nilai pekerja di provinsi itu jauh lebih mahal dibandingkan daerah lain. Rata-rata upah minimum provinsi sekitar Rp 1,9 juta per bulan membuat Sulut menarik pekerja dari luar.

Ribuan tenaga kerja masuk ke Sulut bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, dan sektor perkebunan. Mereka mengisi kesenjangan tenaga kerja, terutama di sektor pertanian dan perkebunan. Petani di Minahasa dan sejumlah daerah penghasil cengkeh dan kelapa kesulitan mencari tenaga pemetik dan pemanjat kelapa.

Masalah tenaga kerja menajam manakala harga cengkeh, kopra, dan pala turun. Daniel Karundeng, petani kopra di Minahasa Utara, memilih menggadaikan lahan kebun kelapanya ketimbang harus mengurus sendiri. ”Sekarang tak ada orang suka kerja di kopra, semua lari ke Manado bekerja di pertokoan,” katanya. Kesulitan juga terasa di Manado karena tenaga kerja tersedot di sejumlah pertokoan, mal, dan hotel yang tumbuh di Bitung dan Tomohon.

Sektor jasa

Gebrakan Sarundajang, yang memelopori pertemuan internasional kelautan di Manado tahun 2009, memicu kenaikan signifikan di sektor jasa. Arus kedatangan orang ke Manado yang mencapai 1 juta orang lebih setiap tahun, setengah dari jumlah penduduk, menjadikan Sulut sebagai 10 daerah kunjungan wisata nasional.

Dalam lima tahun terakhir, hotel berbintang bertumbuh dengan aneka fasilitas hiburan dan prasarana kota memadai. Penerbangan dari Manado ke Jakarta (PP) 15 kali dalam sehari tak cukup menampung arus orang ke Kota Kawanua itu.

Asisten II Bidang Ekonomi Pemerintah Provinsi Sulut, Sanny Parengkuan, mencatat, setiap tahun lebih dari 50 kali Manado menjadi tuan rumah berbagai pertemuan nasional dan internasional. Seminggu dalam sebulan penerbangan ke Manado dari Jakarta mengalami puncak permintaan.

Kemajuan sektor jasa, pariwisata, dan perkebunan mendongkrak angka PDRB Sulut mencapai Rp 49 triliun tahun 2013. Namun, hal itu tak membuat Pemprov Sulut puas.

Sarundajang mengatakan, daerahnya sangat prospektif sebagai provinsi poros maritim dengan berbagai potensi perikanan laut dan pelabuhan Bitung yang aman. Laut adalah masa depan dunia yang harus digarap.

Perairan Sulut menyimpan potensi 2.000 jenis ikan atau sekitar 60 persen spesies ikan dunia. Jumlah spesies itu menandakan perairan Sulut kaya dengan ikan. Produksi ikan hasil tangkapan tahun 2013 mencapai 350.543 ton dengan potensi lestari mencapai 1.884.900 ton setiap tahun. Angka itu sangat kecil dari apa yang diperoleh nelayan asing di Laut Sulawesi. Sebut saja Filipina yang berani mengukuhkan diri sebagai negara ikan tuna, padahal produksi mereka berasal dari Laut Sulawesi. ”Seandainya ikan memiliki KTP, dapat dipastikan ikan tuna produksi Filipina dari Sulut,” ujarnya.

Sulut pada Selasa (23/9) ini berusia 50 tahun. Inilah salah satu daerah di Tanah Air yang prospektif karena memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan. Posisi ini akan semakin terbuka pada era Joko Widodo dan M Jusuf Kalla, yang memiliki visi kelautan yang nyata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar