Kamis, 18 September 2014

Menggenggam Gunung Es

Menggenggam Gunung Es

Reza Indragiri Amriel  ;   Associate Trainer Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
SINAR HARAPAN, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pengetahuan, keterampilan, sikap. Itulah tiga unsur induk dalam Kurikulum 2013. Mudah diingat. Namun, seberapa mudah menempa peserta didik dengan ketiga elemen tersebut, bisa lain perkaranya.

Penulis tidak begitu berminat membicarakan berbagai kompleksitas dan tentangan terhadap Kurikulum 2013. Penulis justru terpukau karena tiga istilah yang dulu dibahas hingga berbusa-busa oleh saya dan rekan-rekan semasa bekerja di sebuah lembaga pengembangan sumber daya manusia, kini tidak hanya hidup di arena korporasi, tetapi juga sudah dicobaterapkan di dunia pendidikan.

Ada sebuah kiasan jitu yang kerap dipakai untuk menjelaskan duduk perkara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sebutlah ketiganya sebagai kompetensi, dan kiasan dimaksud dinamai metafora gunung es. Bayangkan Titanic! Titanic disebut-sebut sebagai kapal pesiar tercanggih sekaligus termewah pada masanya.

Dengan julukan sedemikian rupa, kenyamanan dan keamanan tentu menjadi jaminan bagi setiap penumpang. Alhasil, ringkas cerita, berbondong-bondong manusia mengantre agar dapat merealisasikan impian mereka untuk bertamasya dari Eropa ke Amerika, pergi-pulang, dengan sejuta pesta surgawi di atas ombak samudra.

Namun, siapa sangka, mujur tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Titanic yang dielu-elu ternyata tak sanggup menahan ombak yang menderu-deru. Terseret ombak, tersapu angin, Titanic menghantam gunung es.

Sekarang, mari kita pakai redaksional yang lebih benderang. Setelah menyelam ke dasar laut, kita jadi tahu kedahsyatan massa dan energi yang tersimpan dalam bongkahan raksasa gunung es itu. Andai massa dan energi itu bisa dikelola untuk segala suatu yang produktif, hasilnya akan sangat luar biasa.

Menguasai leher hingga telapak kaki gunung es itu, sama artinya dengan menguasai porsi terbesar dari keseluruhan tubuh monster diam tersebut. Sayangnya, itu tadi, bagian itu tak terlihat. Dia tersembunyi dalam gelap, dalam dingin, dalam—seolah—diam.

Gunung es itu adalah “saya, aku”. Dari dasar hingga pucuk gunung es, itulah keutuhan diri saya, diriku, diri manusia. Kembali ke tiga elemen yang disasar lewat Kurikulum 2013, bagian yang menyembul di atas permukaan laut adalah pengetahuan dan keterampilan.

Membangun serta mengelola pengetahuan dan keterampilan relatif mudah. Berikan waktu beberapa menit kepada seorang pelajar kelas II SD untuk mempelajari naskah satu halaman tentang aksi makar pasukan Abrahah ke kota Mekah. Asalkan ia membaca sungguh-sungguh, ia akan peroleh sebuah pengayaan kognitif mengenai sejarah kota kelahiran nabi junjungannya, Muhammad Saw.

Pembelajar

Demikian pula dengan keterampilan. Berikan waktu beberapa hari kepada anak balita untuk belajar mengenakan celana sendiri. Sepanjang tetap disemangati, ia akan temukan kefasihan motoriknya.

Lalu uji pengetahuan si siswa dengan soal sejarah, dan tes keterampilan dengan memberikan celana. Siapa yang telah sukses belajar dan siapa pula yang gagal, bisa langsung terlihat saat itu juga. Dengan penguasaan yang baik atas pengetahuan dan keterampilan, seorang individu akan mampu menjadi pekerja atau pembelajar efektif.

Diberikan tugas A, ia akan tuntaskan tugas tersebut. Dikasih tugas B, ia akan selesaikan tugas itu. Begitu seterusnya. Namun sayangnya, gunung es di permukaan laut, yaitu pengetahuan dan keterampilan, hanya sekitar 30 persen dari seluruh modal yang individu perlukan untuk menjadi pekerja atau pun pembelajar luar biasa. Itu berarti, ada kurang lebih 70 persen amunisi yang ternyata belum ia miliki. Jadi, banting tulang menguasai pengetahuan dan keterampilan saja masih jauh dari cukup.

Implikasinya bagi pendidik, bila ia adalah guru yang hanya hirau pada proses transfer pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, betapa pun tulusnya ia, sesungguhnya hanya mempersiapkan sedikit saja dari apa-apa yang secara keseluruhan dibutuhkan peserta didik untuk menjadi sosok istimewa.

Pengetahuan dan keterampilan memang penting. Tidak ada yang salah dengan mempelajarinya. Namun, itu baru sebatas tanda koma. Agar paripurna atau—setidaknya—agar proses pembelajaran lebih tepat guna, peserta didik perlu didorong agar lebih bernyali mengembara ke dasar gunung es.

Fobia akan kegelapan, cemas akan suhu beku, dan waswas akan perjalanan yang seakan tak berujung dihadapi lebih hebat dalam kegiatan menyelam itu. Jelas, peserta didik akan gemilang mengarungi dasar samudera jika ia didampingi oleh pendidik yang juga punya pengalaman otentik sukses menjelajahi teritori misterius itu.

Sikap. Itulah kawasan gunung es di bawah arus. Guru yang berfokus pada penguasaan sikap hidup peserta didik adalah seorang suhu yang sungguh-sungguh tengah menyiapkan siswa-siswinya untuk menjadi ksatria sejati.

Ksatria semacam itu tak ubahnya dengan Mei Shin atau Mei Xin, tokoh fiksi yang merupakan isteri Arya Kamandanu dalam sandiwara Tutur Tinular. Mei Shin sejatinya memiliki pedang Nagapuspa. Hanya dengan melihat warangka pedang itu pun, orang-orang langsung bergidik tanpa pernah mencicipi sabetannya.

Walau tidak memegang Nagapuspa, Mei Shin ternyata jauh lebih perkasa. Ia menguasai ilmu kanuragan bernama kabegjan. Dengan jurus-jurus sepenuhnya bertahan, Mei Shin tidak akan bisa ditaklukkan selama ia menjaga keharmonisan antara niat lurus, lisan, dan perbuatan. Sah sudah mengapa ia bernama Shin maupun Xin yang bermakna akal budi. Jadi, bukan senjata di tangan dan kuda-kuda menyerang yang membuat Mei Shin digdaya.

Senjata utamanya adalah budi pekerti, tabiat, karakter, akhlak. Persoalannya, kelemahan pada aspek sikap itulah yang membuat ruang tahanan KPK penuh sesak sampai-sampai harus menitipkan pesakitan ke sejumlah penjara lainnya. Para koruptor pasti orang pintar, sehingga bisa menutup rapat-rapat aksi busuk mereka.

Jadi, semakin nyata bukan pengetahuan dan keterampilan, melainkan sikap yang paling menentukan! Kurikulum 2013, insya Allah, membuka jalan bagi lahirnya kstaria-ksatria hebat. Guru berikut orang tua—kita semua—berkesempatan menjadi pemandu mereka untuk menguasai gunung es itu! Allahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar