Menggenggam
Gunung Es
Reza Indragiri Amriel ;
Associate
Trainer Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
|
SINAR
HARAPAN, 17 September 2014
Pengetahuan,
keterampilan, sikap. Itulah tiga unsur induk dalam Kurikulum 2013. Mudah
diingat. Namun, seberapa mudah menempa peserta didik dengan ketiga elemen
tersebut, bisa lain perkaranya.
Penulis
tidak begitu berminat membicarakan berbagai kompleksitas dan tentangan
terhadap Kurikulum 2013. Penulis justru terpukau karena tiga istilah yang
dulu dibahas hingga berbusa-busa oleh saya dan rekan-rekan semasa bekerja di
sebuah lembaga pengembangan sumber daya manusia, kini tidak hanya hidup di
arena korporasi, tetapi juga sudah dicobaterapkan di dunia pendidikan.
Ada
sebuah kiasan jitu yang kerap dipakai untuk menjelaskan duduk perkara
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sebutlah ketiganya sebagai kompetensi,
dan kiasan dimaksud dinamai metafora gunung es. Bayangkan Titanic! Titanic
disebut-sebut sebagai kapal pesiar tercanggih sekaligus termewah pada
masanya.
Dengan
julukan sedemikian rupa, kenyamanan dan keamanan tentu menjadi jaminan bagi
setiap penumpang. Alhasil, ringkas cerita, berbondong-bondong manusia
mengantre agar dapat merealisasikan impian mereka untuk bertamasya dari Eropa
ke Amerika, pergi-pulang, dengan sejuta pesta surgawi di atas ombak samudra.
Namun,
siapa sangka, mujur tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Titanic yang
dielu-elu ternyata tak sanggup menahan ombak yang menderu-deru. Terseret
ombak, tersapu angin, Titanic menghantam gunung es.
Sekarang,
mari kita pakai redaksional yang lebih benderang. Setelah menyelam ke dasar
laut, kita jadi tahu kedahsyatan massa dan energi yang tersimpan dalam
bongkahan raksasa gunung es itu. Andai massa dan energi itu bisa dikelola
untuk segala suatu yang produktif, hasilnya akan sangat luar biasa.
Menguasai
leher hingga telapak kaki gunung es itu, sama artinya dengan menguasai porsi
terbesar dari keseluruhan tubuh monster diam tersebut. Sayangnya, itu tadi,
bagian itu tak terlihat. Dia tersembunyi dalam gelap, dalam dingin,
dalam—seolah—diam.
Gunung
es itu adalah “saya, aku”. Dari dasar hingga pucuk gunung es, itulah keutuhan
diri saya, diriku, diri manusia. Kembali ke tiga elemen yang disasar lewat
Kurikulum 2013, bagian yang menyembul di atas permukaan laut adalah
pengetahuan dan keterampilan.
Membangun
serta mengelola pengetahuan dan keterampilan relatif mudah. Berikan waktu
beberapa menit kepada seorang pelajar kelas II SD untuk mempelajari naskah
satu halaman tentang aksi makar pasukan Abrahah ke kota Mekah. Asalkan ia
membaca sungguh-sungguh, ia akan peroleh sebuah pengayaan kognitif mengenai
sejarah kota kelahiran nabi junjungannya, Muhammad Saw.
Pembelajar
Demikian
pula dengan keterampilan. Berikan waktu beberapa hari kepada anak balita
untuk belajar mengenakan celana sendiri. Sepanjang tetap disemangati, ia akan
temukan kefasihan motoriknya.
Lalu
uji pengetahuan si siswa dengan soal sejarah, dan tes keterampilan dengan
memberikan celana. Siapa yang telah sukses belajar dan siapa pula yang gagal,
bisa langsung terlihat saat itu juga. Dengan penguasaan yang baik atas
pengetahuan dan keterampilan, seorang individu akan mampu menjadi pekerja
atau pembelajar efektif.
Diberikan
tugas A, ia akan tuntaskan tugas tersebut. Dikasih tugas B, ia akan
selesaikan tugas itu. Begitu seterusnya. Namun sayangnya, gunung es di
permukaan laut, yaitu pengetahuan dan keterampilan, hanya sekitar 30 persen
dari seluruh modal yang individu perlukan untuk menjadi pekerja atau pun
pembelajar luar biasa. Itu berarti, ada kurang lebih 70 persen amunisi yang
ternyata belum ia miliki. Jadi, banting tulang menguasai pengetahuan dan
keterampilan saja masih jauh dari cukup.
Implikasinya
bagi pendidik, bila ia adalah guru yang hanya hirau pada proses transfer
pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, betapa pun tulusnya ia,
sesungguhnya hanya mempersiapkan sedikit saja dari apa-apa yang secara
keseluruhan dibutuhkan peserta didik untuk menjadi sosok istimewa.
Pengetahuan
dan keterampilan memang penting. Tidak ada yang salah dengan mempelajarinya.
Namun, itu baru sebatas tanda koma. Agar paripurna atau—setidaknya—agar
proses pembelajaran lebih tepat guna, peserta didik perlu didorong agar lebih
bernyali mengembara ke dasar gunung es.
Fobia
akan kegelapan, cemas akan suhu beku, dan waswas akan perjalanan yang seakan
tak berujung dihadapi lebih hebat dalam kegiatan menyelam itu. Jelas, peserta
didik akan gemilang mengarungi dasar samudera jika ia didampingi oleh
pendidik yang juga punya pengalaman otentik sukses menjelajahi teritori
misterius itu.
Sikap.
Itulah kawasan gunung es di bawah arus. Guru yang berfokus pada penguasaan
sikap hidup peserta didik adalah seorang suhu yang sungguh-sungguh tengah
menyiapkan siswa-siswinya untuk menjadi ksatria sejati.
Ksatria
semacam itu tak ubahnya dengan Mei Shin atau Mei Xin, tokoh fiksi yang
merupakan isteri Arya Kamandanu dalam sandiwara Tutur Tinular. Mei Shin
sejatinya memiliki pedang Nagapuspa. Hanya dengan melihat warangka pedang itu
pun, orang-orang langsung bergidik tanpa pernah mencicipi sabetannya.
Walau
tidak memegang Nagapuspa, Mei Shin ternyata jauh lebih perkasa. Ia menguasai
ilmu kanuragan bernama kabegjan. Dengan jurus-jurus sepenuhnya bertahan, Mei
Shin tidak akan bisa ditaklukkan selama ia menjaga keharmonisan antara niat
lurus, lisan, dan perbuatan. Sah sudah mengapa ia bernama Shin maupun Xin
yang bermakna akal budi. Jadi, bukan senjata di tangan dan kuda-kuda
menyerang yang membuat Mei Shin digdaya.
Senjata
utamanya adalah budi pekerti, tabiat, karakter, akhlak. Persoalannya,
kelemahan pada aspek sikap itulah yang membuat ruang tahanan KPK penuh sesak
sampai-sampai harus menitipkan pesakitan ke sejumlah penjara lainnya. Para
koruptor pasti orang pintar, sehingga bisa menutup rapat-rapat aksi busuk
mereka.
Jadi,
semakin nyata bukan pengetahuan dan keterampilan, melainkan sikap yang paling
menentukan! Kurikulum 2013, insya Allah, membuka jalan bagi lahirnya
kstaria-ksatria hebat. Guru berikut orang tua—kita semua—berkesempatan
menjadi pemandu mereka untuk menguasai gunung es itu! Allahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar