Kitab
Kuning dan Tantangan Radikalisme
Khamami Zada ; Dosen
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 05 September 2014
Islam
di Indonesia kini dihadapkan pada situasi pelik dan mengkhawatirkan. Aksi
kekerasan dan terorisme yang dimotori sebagian kelompok Islam masih menjadi
permasalahan serius.
Ironisnya,
setelah sekian lama kita disibukkan dengan fenomena gerakan dan jaringan
terorisme, kini kita juga disibukkan oleh fenomena gerakan kekhalifahan Islam
yang mengancam kedaulatan bangsa seperti yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Padahal, Indonesia adalah
yang dikenal memiliki paham keagamaan yang toleran sejak berabad-abad lalu.
Paham
keagamaan yang lama dibentuk oleh para ulama pesantren kini mulai terkoyak
oleh paham baru yang berasal dari Timur Tengah. Paham keagamaan masyarakat
pun mulai bergeser ke arah yang militan dan radikal. Fenomena ini telah
menjadi tantangan baru bagi masyarakat Islam yang memiliki paham keagamaan
moderat.
Dari Moderat ke
Radikal
Maraknya
aksi radikalisme dan terorisme di Tanah Air sejatinya bentuk dari perubahan
gerakan Islam di Indonesia. Muslim Indonesia yang dulunya dikenal sebagai
muslim yang toleran, moderat, dan damai, sekarang ini telah berubah menjadi
radikal dan militan. Ini terlihat dari aksi kekerasan dan terorisme yang
menghiasi gerakan Islam di Indonesia. Tak henti-hentinya Detasemen Khusus
(Densus) 88 Mabes Polri menangkap para pelaku terorisme. Kini situasi
bertambah sulit seiring perkembangan gerakan Islam.
Radikalisme
di Indonesia telah bertransformasi dalam sejumlah gerakan. Radikalisme tidak
hanya bertransformasi ke dalam gerakan terorisme, tetapi juga telah mengarah
pada gerakan radikal yang berorientasi pada kekhalifahan Islam. Sebut saja
ISIS yang berhasil merebut sejumlah kota dengan jalan kekerasan. Setelah ISIS
mulai berkembang di Tanah Air, perhatian serius dari pemerintah dan
masyarakat Indonesia pun bermunculan. Pemerintah dengan cepat melarang
gerakan ISIS berkembang di Tanah Air. Masyarakat pun ramai-ramai menolak
gerakan ISIS.
Baru
saja muncul di ruang publik, ISIS langsung dilarang dan ditolak oleh
pemerintah dan masyarakat. Fenomena berkembang gerakan radikalisme ini
semakin mengukuhkan pandangan sebagian besar orang betapa gerakan
transnasional Islam mudah masuk ke dalam wilayah Indonesia. Tampaknya,
Indonesia tempat yang subur bagi perkembangan gerakan Islam transnasional.
Masyarakat muslim Indonesia mudah sekali terpengaruh oleh gerakan Islam yang
datang dari Timur Tengah. Tak heran jika ISIS di Indonesia mudah menyebar ke
sejumlah wilayah di Tanah Air.
Kecenderungan
ini mirip dengan perkembangan gerakan radikal Islam lain seperti Al-Qaeda
dalam bentuk Jamaah Islamiyah yang berhasil melancarkan aksi terorisme.
Keterkaitan kelompok- kelompok Islam dengan jaringan terorisme telah menjadi
ancaman serius bagi perkembangan Islam di Indonesia. Hal yang paling
disayangkan dari tipikal organisasi radikal ini adalah pandangannya yang
ekstrem terhadap negara Indonesia.
Mereka
berpandangan negara Indonesia dipimpin oleh thaghut yang pantas diperangi.
Pada gilirannya, paham ini menyebar luas di kalangan umat Islam. Tak heran
jika aksi terorisme dalam dua dekadeterakhirterusterjadi. Aksiterorismenya
pun telah dikembangkan sasarannya dari tempat-tempat yang berhubungan dengan
Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Kini sasarannya diarahkan ke aparat
kepolisian negara. Ini semua menunjukkan bahwa radikalisme Islam di Indonesia
mengalami transformasi dan metamorfosis sesuai perkembangan nasional dan
global.
Transformasi Kitab
Kuning
Berkembangluas
gerakan radikal-transnasional di Tanah Air tak lepas dari perubahan orientasi
umat Islam terhadap sumber pengetahuannya setelah menurunnya minat umat Islam
terhadap kitab kuning. Padahal kitab kuning sejak berabad-abad yang lalu
telah menjadi sumber rujukan pengetahuan Islam. Kitab kuning adalah sumber
utama umat Islam setelah Alquran dan Sunnah. Para ulama telah menumpahkan
seluruh pengetahuannya dalam kitab kuning sehingga umat Islam dapat memahami
ajaran Islam dengan baik.
Tapi,
pada zaman seperti sekarang ini umat Islam mulai meninggalkan kitab kuning.
Ini karena sulitnya mereka mengakses pengetahuan dalam kitab kuning akibat
tidak memiliki seperangkat ilmu pengetahuan yang memadai. Di samping itu,
mudahnya umat Islam mengakses pengetahuan keagamaan melalui internet juga
menjadikan mereka lebih sering menggunakan internet. Akibat itu, pengetahuan
mereka sangat instan dan tidak memiliki fondasi yang kuat. Anakanak muda
zaman sekarang mencari pengetahuan Islam dengan jalan mengakses di internet.
Pada
gilirannya mereka tidak mampu memfilter mana pengetahuan yang sesuai ajaran
dasar Islam. Mereka pun mudah dipengaruhi ajakan untuk berbuat kekerasan atas
nama agama. Di sinilah ruang yang terbuka bagi pembentukan pemahaman
keagamaan yang radikal. Aksi terorisme juga banyak dipengaruhi oleh paham
keagamaan yang tersebar di internet.
Dalam
konteks inilah diperlukan kontra radikalisme (counter radicalism) dalam bentuk respons terhadap wacana,
pemikiran, dan gagasan yang disebarkan oleh para pelaku jaringan terorisme di
ruang publik. Tujuan utama counter
radicalism adalah menyediakan informasi dan pengetahuan yang qualified
tentang tafsir-tafsir keagamaan kepada masyarakat (Angel Rabasa dkk., Deradicalizing Islamist Extremist, 2010).
Media
yang efektif untuk melakukan counter radicalism adalah media publik yang
dapat diakses oleh masyarakat secara luas dan media komunitas yang dapat
diakses secara spesifik oleh komunitas tertentu. Daya jangkau yang sangat
luas dari media publik seperti televisi, radio, surat kabar, dan internet
dapat meng-cover seluruh
masyarakat. Jika dilakukan secara masif dan intensif, daya pengaruhnya akan
sangat besar sekali. Namun, pilihan ini memerlukan budget yang sangat besar
sehingga seringkali dilakukan secara sporadis dan tidak membawa dampak yang
signifikan.
Paul
Pendleton (2008) justru berpendapat lain bahwa counter ideologies efektif jika mampu memperlemah ideologi
teroris, bukan pada besarnya populasi. Karena itulah, penguatan kitab kuning
sebagai sumber rujukan umat Islam mesti terus dilakukan. Kitab kuning tidak
hanya diajarkan di pesantren-pesantren, tapi juga ditransformasikan ke dalam
wacana publik yang mudah dipahami dan mudah diakses oleh publik.
Kitab
kuning tidak hanya menjadi buku yang dibaca di pesantren, tapi juga menjadi
aplikasi teknologi informatika yang sekarang ini digemari generasi muda. Ini
dilakukan agar generasi muda memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat
sehingga dapat membentengi diri dari ajakan dan pengaruh gerakan radikal apa
pun. Dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat, mereka mampu memfilter paham
keagamaan yang datang sehingga mereka tidak mudah terjebak terlibat dalam
jaringan radikalisme dan terorisme.
Di
sinilah transformasi kitab kuning menemukan elan vitalnya dalam membentuk
paham keagamaan masyarakat secara kontekstual sesuai zamannya. Karena itulah,
Kementerian Agama sudah sepatutnya mengembangkan kontekstualisasi kitab
kuning yang sesuai zamannya dalam perangkat teknologi informasi sehingga
mudah diakses oleh masyarakat. Dengan kondisi yang demikian ini, generasi
muda Islam tidak mudah terjebak dalam jaringan radikalisme dan terorisme.
Dengan
begitu, kitab kuning akan selalu diakses sebagai bagian dari pembentukan
paham keagamaan yang sejalan dengan nilai-nilai keindonesiaan sehingga Islam
di Indonesia tampil dengan karakternya yang adaptif dan kontekstual. Dengan
kata lain, Islam tidak tampil dengan wajah yang keras dan cenderung melakukan
aksi kekerasan, tapi tampil dengan wajah yang moderat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar